Mereka beranjak pergi dari sana, meninggalkan Runa yang tergolek lemas di atas ranjang basah penuh es batu. Bahkan rasa dingin membuat Runa tak lagi ingin menghindar.
Ia merasa tidak waras.
Kenapa kematian Zion itu salahnya? Kenapa Dayan begitu membencinya? Runa tidak pernah meminta Zion meninggalkan keluarganya. Runa hanya menolak permintaan Zion menikah sebab Runa masih trauma pada hubungan keluarganya dengan sang ayah. Runa butuh waktu untuk bisa yakin bahwa berkeluarga itu tidak menakutkan, tapi Zion seenaknya menganggap dia harus melepas keluarganya juga agar bernasib sama seperti Runa.
Agar dia sama seperti Runa.
Padahal Runa tidak menginginkan itu.
"Aku ingin mati saja," gumam Runa parau. "Aku seharusnya mati saja."
Kenapa sebenarnya Runa masih hidup sampai sekarang? Bagaimana bisa ia berbuat bodoh, membiarkan dirinya hidup setiap hari, padahal jauh lebih baik menenggak racun dulu-dulu sekali?
Kenapa sebenarnya ia tidak mati padahal hidupnya jauh lebih mengerikan daripada kematian?
"Ya, ayo mati." Runa beranjak kosong, menatap sekitarannya untuk menemukan cara agar mati. "Yang tidak sakit. Aku benci rasa sakit. Tapi harus mati."
Racun? Atau mengiris tangannya dengan pisau?
Tidak, pisau itu menakutkan. Runa tak mau merasa sakit lagi.
Ia harus mati dengan racun yang tidak menyakitkan. Itu adalah jalannya menuju surga, bahkan kalau di surga sana itu hampa.
Jauh lebih baik daripada dalam cengkraman Dayan.
Setidaknya itu yang Runa pikirkan sampai kemudian Dayan datang lagi, lengkap bersama senyumnya yang biasa saja.
"Istriku ternyata pemalas. Mandi pun dia tidak mau." Dayan berkomentar melihat Runa masih tampak seperti kucing kehujanan. "Sekarang pergilah mandi dan pulang bersamaku."
"Pulang?" Runa bergumam kosong.
"Ya, pulang." Dayan menyeringai. "Kita akan tinggal bersama jadi tentu saja kita harus pulang, ke rumah kita."
Ketika dia menyebut kata rumah, Runa tahu itu neraka. Neraka khusus untuknya.
Dan seolah-olah Dayan tahu tentang keinginan Runa, kediamannya benar-benar dipasangi keamanan maksimal.
Setiap sudut lantai diberi pengawas, semua benda tajam disingkirkan, dan bahkan kamar Runa tidak diberi bathtub. Tembok kamar Runa dilapisi busa halus seolah-olah dia mencegah jika Runa membenturkan kepala di sana.
"Masuk dan nikmati fasilitas khusus untukmu, istriku." Dayan lagi-lagi bertingkah seperti malaikat. "Ini tempat yang seratus persen aman bagimu."
Runa didorong masuk kemudian Dayan menyusul, membiarkan pintunya tertutup.
"Pintu kamarmu kubuat khusus agar sangat aman." Dayan menunjuk monitor kecil di dekat pintu. "Hanya sidik jariku yang bisa membuka ini jadi kamu hanya bisa keluar dan masuk atas izinku langsung. Bagaimana? Aku suami yang posesif dan menggairahkan, bukan?"
Runa hanya bernapas naik turun menatap iblis itu.
"Runa, aku minta maaf mencekikmu tadi." Dayan datang meraih wajahnya dan menatap Runa seolah dia sungguh-sungguh menyesal. "Maafkan aku, yah? Aku tidak sengaja. Kamu berbuat salah jadi aku terbawa amarah dan melakukannya lagi. Maafkan aku?"
Dayan tiba-tiba mengubah sentuhannya jadi cengkraman.
"Aku sudah minta maaf," bisik pria kejam itu. "Bukankah istri yang baik memaafkan suaminya? Hm? Kamu tidak bisa bersuara karena lidahmu terluka? Atau harus kucabut saja biar kamu bisu selamanya?"
Runa meringis sakit. Ia bahkan tidak sadar kalau ternyata bekas cekikan Dayan tadi melukai lehernya hingga lebam.
Melihat Runa meringis, Dayan justru semakin menguatkan cengkraman itu.
"Aku tahu kamu ingin mati," ucap Dayan di wajahnya. "Kamu tidak akan bisa. Nyawa adikku hilang karena dia terlalu menjagamu, jadi sekalipun Tuhan mau mengambilnya, akan kujaga nyawamu ini. Dengan rasa sakit."
Runa mengerang kesakitan.
"Aku tadi minta maaf dan kamu tidak memaafkan. Sekarang giliranmu. Minta maaf padaku, Runa."
"Maaf." Runa tak bisa menahan sakitnya hingga spontan ia menurut. "Maaf. Aku minta maaf."
"Benarkah? Kamu menyesal?"
Air mata Runa berjatuhan saat ia mengangguk, terdorong mundur bersamaan dengan Dayan melepas cengkramannya.
"Bagus jika kamu menyesal," kata Dayan ceria. Seolah-olah dia dan Runa bisa saling tertawa.
Cara dia tertawa membuat Runa ingin muntah. Sebenarnya bagaimana bisa seseorang menjadi sekejam ini?
Apa dia bahkan tidak bisa berpikir? Semua hal yang dia jadikan alasan melakukan ini, apa dia sungguhan berfikir itu fakta?
Adiknya kecelakaan persis setelah Runa dan Zion habis bertengkar. Pada malam pertengkaran itu, memang benar Runa sampai memukul kepala Zion dengan botol hingga mengeluarkan darah. Tapi itu karena Zion bersikap kasar padanya. Runa melakukannya untuk membela diri dari Zion yang bertingkah gila. Tapi kemudian pria itu malah pergi, kebut-kebutan di jalanan hingga terlempar oleh mobil truk.
Lalu pria ini, pria gila dan tidak waras ini, justru menjadikan Runa sasaran kebenciannya!
"Kamu sepertinya tidak benar-benar menyesal."
Dayan tiba-tiba kembali mendekat, mencengkram wajah Runa. "Aku tahu wajahmu ini," bisik dia, "wajah seseorang yang sedang berpikir dia tidak berbuat salah."
"Dayan—"
"Kamu ingin tahu kenapa aku membencimu? Apa karena kamu membuat adikku memilih pergi dari rumah demi tinggal bersamamu? Atau karena adikku mati setelah bertengkar denganmu? Menurutmu aku benci karena itu?"
"...."
"Aku membencimu, Runa," Dayan menguatkan cengkramannya, "karena adikku mati sambil terus mencintaimu."
"...."
"Akan kubalas dendamku. Ini bukan dendam adikku, tapi milikku. Aku yang dendam padamu. Mengerti itu, Sayang?"
Dayan melepaskannya sekaligus berbalik pergi. "Kamu membuatku sangat kesal hari ini jadi hari ini berpuasalah. Seorang istri harus menebus dosa pada suaminya, kan?"
Pintu itu tertutup dan suaranya terkunci secara otomatis memenuhi kamar Runa. Wanita itu duduk meringkuk di lantai yang bahkan dilapisi busa lembut, sedikitpun tak memberi celah untuk ia melukai diri sendiri.
Dayan benar-benar tak membuka pintunya bahkan sampai esok hari. Tapi bukan itu yang membuat Runa sesak napas.
AC ruangan tidak dinyalakan sedangkan jendela begitu pengap. Lampu pun dibiarkan mati begitu saja hingga Runa kesulitan bernapas.
Di tengah kesadarannya yang hampir hilang, Runa memukul-mukul pintu. Tidak perlu makanan atau air, tapi setidaknya biarkan udara masuk.
Wajah Dayan tiba-tiba muncul di dinding kamar.
"Halo, istriku." Dayan melambaikan tangan tanpa dosa. "Kamu terlihat sangat nyaman beristirahat jadi aku tidak mau mengganggu. Ngomong-ngomong, aku tahu kamu lemah terhadap panas dan fobia gelap. Aku mau datang menyembuhkanmu tapi sayang sekali pekerjaanku banyak jadi tunggu aku besok siang, yah."
"Dayan—"
Pria itu malah tertawa-tawa dan proyeksinya menghilang begitu saja.
Runa benar-benar terkurung di sana, meresapi setiap detik menyiksa yang membuat akal sehatnya pelan-pelan menghilang.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Anonymous
Psikopat
2024-02-19
0
mbak akane
pembukaan kisahx sad benerrr😭
2023-08-07
0
mbak akane
thooorrrrr
2023-08-07
0