8. Anak yang Baik

Hestia masih tersenyum kecil setelah kepergian Dayan dari kediaman Narendra. Pengawalnya yang melihat senyum Hestia datang membawa secangkir teh berry, diletakkan di meja depan Hestia.

"Kenapa Nona membantu istri Dayan?" tanya pria itu.

"Memang aku terlihat membantu?"

"Pada kenyataannya itu terlihat seperti bantuan." Tapi mustahil Hestia membantu seseorang apalagi seseorang yang dia tidak kenal juga tidak penting baginya.

Malah jauh lebih masuk akal kalau dia membantu Dayan.

"Dayan bukan pria kejam seperti yang berusaha dia lakukan." Hestia mengangkat cangkirnya seolah tengah bersulang dengan seseorang. "Aku hanya mau melihat sejauh apa dia bisa menyimpan dendam pada orang tidak bersalah."

*

Runa tak mempercayai pesan itu sepenuhnya, namun ia memang harus melakukan sesuatu untuk lari dari cengkraman Dayan. Sekarang segalanya telah hancur jadi tak buruk mencobanya bahkan kalau setelah itu ia akan semakin hancur.

Apalagi, kamar Runa benar-benar terasa berbeda dari biasanya. Ketika jam makan siang, mereka mengantarkan makanan padahal biasanya sama sekali tidak, kecuali Dayan yang datang sambil menyiksanya. Bahkan makanan Runa dibuat sangat teliti seperti dipertimbangkan.

Lalu di sore hari, mendadak AC ruangan mati. Dayan ternyata pulang dan seolah Runa tak habis diperlukan sedikit lebih baik, ia duduk menunggu pria itu masuk ke dalam rumah.

"Dayan."

Mata pria itu menatapnya kemudian berlalu.

"A-aku memasak." Runa akan berpura-pura jadi istrinya. "Aku memasak untuk kamu jadi ayo makan bersama."

Dayan yang hendak pergi ke kamarnya membersihkan diri mau tak mau terkejut.

Kenapa tiba-tiba wanita ini berusaha bersikap baik? Bukanlah dia hanya tahu meringkuk dan tertindas?

"Kamu mau meracuni aku, Istriku?" Dayan berjalan mendekatinya, tersenyum penuh kesan curiga. "Apa itu caramu kabur dariku?"

Runa menelan ludah takut, tapi berusaha keras melawannya. "Tidak." Runa menjawab lemah dan membiarkan dirinya terkesan sangat bersalah. "A-aku hanya ingin minta maaf."

"Hah?"

"Maaf karena menyusahkan." Runa meremas tangannya. "J-juga, aku ingin berdamai."

"Berdamai?" Dayan melangkah lebih dekat. "Jadi karena aku diam saja setelah kamu menangis, kamu berpikir aku mau berdamai? Berdamai, hah? Berdamai denganmu, begitu?"

Siapa juga yang mau berdamai!

Runa menahan gemetar di tangannya. Ia ingin lari, ingin pergi ke kamar dan meringkuk di sana saja karena takut menghadapi ini. Tapi jika ia tak berbuat sesuatu, Runa hanya akan terus meringkuk ketakutan.

Ayo lakukan. Ia bukan orang bodoh jadi seharusnya mudah melakukan ini!

"Aku lelah dengan ini, Dayan." Runa menatapnya seolah ia bersungguh-sungguh. "Tolong, hentikan saja—"

"Katakan." Tangan Dayan sudah berada di lehernya, tapi tak mencekik. Dia mengancam. "Katakan dengan jelas sekali lagi. Ayo apa?"

Runa menahan gigil di tangannya. "Maaf," gumamnya. "Maaf."

"...."

Dayan menarik tangannya dari leher Runa, berlalu dengan wajah dingin yang biasa. Ketika Runa pikir itu sudah berakhir, ternyata Dayan kembali datang, lengkap dengan setelan santainya.

"Ayo makan, Istriku." Dia tersenyum lembut. "Agar kamu punya tenaga melayaniku."

Runa menahan napas. Nampaknya Dayan justru menangkap itu. Menangkap bahwa Runa trauma pada sentuhannya dan dia justru ingin semakin memperdalamnya.

Dia berbicara lembut tapi tak sedikitpun mau mengendurkan penyiksaan mentalnta.

Runa hanya terdiam kosong memikirkan bagaimana Dayan akan menyentuhnya lagi. Perasaan menjijikan di tubuh Runa membuatnya ingin gila. Ia tak mau lagi. Ia tak mau lagi merasakannya.

Tapi saat itu Dayan justru sudah selesai makan.

"Padahal kamu yang mengajakku makan tapi sepertinya kamu malah tidak sabar pada hal lain."

Dayan menarik tangan Runa menuju kamarnya, menghempaskan tubuh itu ke ranjang dan baik menindihnya. Sentuhan demi sentuhan sekali lagi datang ke tubuh Runa, menciptakan kerusakan permanen dalam diri wanita itu.

Sakit.

Tubuhnya sakit.

Kepalanya sakit.

Otaknya bahkan terasa sakit.

Kenapa harus ini lagi? Kenapa harus seperti ini lagi?

Tanpa sadar, Runa menangis terisak-isak. Dadanya naik turun mengikuti irama tangisan itu, membuat Dayan yang hampir meninggalkannya seketika berbalik.

Tapi Runa hanya menangis. Runa hanya melampiaskan rasa frustasi dan sesaknya dalam tangisan itu.

Jika ada Tuhan di atas sana, benarkah Dia melihat? Apa setelah mengalami hal buruk di masa kecilnya, lalu terjebak dalam neraka mikik Zion, sekarang Dia membiarkan Runa terjebak di sini juga?

"Ibu," rintih Runa perih. "Ibu di mana?"

Dayan tak tahu kenapa ia membeku. Kenapa dadanya terasa dirajam oleh ribuan jarum mendengar wanita ini merintih, memanggil ibunya saking tak bisa lagi menahan.

Dia mendadak seperti anak kecil. Anak kecil yang terluka dan berharap jika ibunya datang, maka luka itu bisa disembuhkan.

"Ibu." Runa terus merintih. "Tolong sekali saja, sekali lagi, bantu aku."

Dayan merasa mual. Buru-buru ia pergi dari sana, masuk ke kamarnya sendiri untuk merenung.

Tidak boleh. Ia jelas tidak boleh kasihan pada Runa. Dia wanita tidak tahu diri yang mempecundangi Zion. Dia bukan jenis wanita yang harus Dayan kasihani.

Dayan memutuskan buat pergi dari rumah. Pria itu bertolak ke kediaman orang tuanya, bukan untuk bertemu mereka melainkan untuk melihat banyak kenangan Zion di rumah.

Saat Dayan tengah melihat-lihat foto kecil mereka, William, ayahnya ternyata melihat.

"Kamu sejak dulu selalu peduli pada Zion." Pria itu, yang nampaknya baru pulang entah dari mana, datang ke sisi Dayan. "Tidak peduli semenjengkelkan apa adikmu, biarpun sambil marah-marah, kamu peduli padanya."

"Karena dia adikku."

"Ada banyak orang meninggalkan adik mereka jika wujudnya seperti Zion, Dayan. Tapi kamu tidak pernah memilih meninggalkan."

William datang, menepuk punggung Dayan.

"Jangan terlalu larut dalam kebencian. Mau melakukan apa pun, Zion juga tidak akan kembali."

"Aku tahu." Dayan meletakkan kembali foto itu di meja khusus kenangan mereka. "Semuanya cuma demi diriku sendiri."

Yang membenci itu Dayan jadi ia tidak melakukannya demi Zion. Semua demi dirinya yang tak bisa memaafkan Runa.

Benar. Ia tak bisa memaafkan wanita itu jadi seharusnya tidak kasihan. Peduli setan pada tangisannya. Bukankah wanita memang semuanya tahu cara menggunakan tangisan sebagai senjata untuk memanipulasi?

Jika dikasihani dia akan merasa dia sudah mengontrol segalanya.

"Aku berharap dia kembali hanya semenit saja." Dayan menatap dingin wajah adiknya di foto raksasa di dinding. "Agar aku bisa memukulnya, kalau perlu mengorek isi otaknya itu agar dia sadar seharusnya lebih mementingkan keluarga."

"Berhenti mengumpati adikmu." William mendorong punggung Dayan. "Pulanglah. Bicarakan masalahmu dengan istrimu."

"Tidak ada masalah."

"Jelas ada di antara kalian. Terutama karena Zion ikut di dalamnya."

Dayan hanya mendengkus. Berlalu pergi sesuai kata William karena memang ia datang hanya untuk melihat-lihat sebentar.

Tapi sebelum pergi, William sempat berkata, "Kamu anak baik sejak dulu."

Dayan mengatup mulut.

"Jangan berubah jadi monster untuk orang lain. Apalagi keluargamu."

*

Terpopuler

Comments

mbak akane

mbak akane

iya yan jangan jdi monster

2023-08-11

0

mbak akane

mbak akane

kasian bgt runa 😭😭

2023-08-11

0

mbak akane

mbak akane

racun in aja run😤

2023-08-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!