Sejak hari itu, sikap Dayan jadi berbeda. Tentu saja itu bukan tentang dia menjadi lebih baik, lebih lembut atau lebih perhatian. Namun Dayan diam. Dia tidak melirik Runa, tidak menyiksanya, tidak memedulikan apa pun tentangnya bahkan jika Runa lewat.
Runa masih mencoba peruntungan sesuai saran dari Hestia, bersikap baik dan menjadi korban menyedihkan. Tapi Dayan benar-benar seperti tidak melihatnya. Pria itu seperti sibuk dengan urusannya sendiri dan sepenuhnya sudah bosan pada Runa.
Runa ingin lega, tapi bagaimanapun Dayan bersikap, ia sudah terlanjur trauma. Mau dia diam pun Runa hanya dihantui ketakutan Dayan akan menyakitinya lagi dan lagi.
Bahkan ketika malam Runa merasa sangat sulit tidur karena ia takut Dayan tiba-tiba muncul, melakukan berbagai hal menyakitkan lagi.
Sampai tak sadar waktu berlalu. Runa tak tahu kapan Dayan akan kembali menyiksanya. Jelas dia belum puas atas kematian Zion. Tapi seiring waktu berlalu, Runa akhirnya memberanikan diri untuk meminta sesuatu.
"Bisa aku pergi ke butik?"
Dayan untuk pertama kali melirik.
"Sudah lama aku tidak ke butik. Banyak yang perlu diurus."
Dayan beranjak dari kursi, berlalu pergi tapi juga berkata, "Pulang sebelum jam enam."
Entah apa yang dia pikirkan. Runa hanya merasa lega karena diizinkan.
Runa memang memiliki sebuah butik yang ia bangun dari sejak lama. Itu tak besar dan sangat terkenal tapi juga tak kecil karena sudah cukup lama. Dulu Runa menjadi desainer untuk setiap model gaunnya tapi karena sudah cukup banyak yang bergabung, urusan Runa hanya lebih kepada keuangan dan memantau.
Mereka bisa bergerak sendiri tanpa Runa tapi ia setidaknya bisa mengalihkan pikiran dengan bekerja daripada terus di rumah.
"Mbak Runa." Amanda, orang yang bisa disebut wakilnya langsung menyambut kedatangan Runa. "Lama tidak bertemu, Mbak. Saya pikir Mbak sedang terlalu sibuk berbulan madu."
Runa berusaha tidak tersenyum getir. Tentu saja tidak ada yang berpikir bahwa pernikahan itu dilakukan hanya untuk membuatnya sakit jiwa.
"Kalian sibuk?" tanya Runa, mengalihkan pembicaraan. "Bawa berkas-berkas ke ruangan saya. Saya mau periksa semua langsung."
Amanda tahu bahwa bosnya memang tidak ramah walau juga tidak ketus. Paham Runa tidak mau basa-basi, Amanda langsung menemaninya ke ruang kerja dan menunjukkan semua hal yang perlu Runa lihat sebagai bos.
Setelah itu Amanda pergi, meninggalkan Runa bekerja sendirian di ruangan sementara dia bekerja di luar, mengerjakan baju pernikahan untuk klien mereka.
Lama Runa terfokus pada pekerjaannya, sampai mendadak Runa merasa sakit. Tubuhnya lelah padahal belum setengah hari juga. Kepalanya terasa berat, pandangannya berkunang-kunang dan rasanya mual.
"Amanda, tolong minta buatkan saya teh hangat."
"Oke, Mbak."
Tak lama Amanda kembali, secara langsung mengantarkan teh hangat dan camilan berupa biskuit cokelat. Karena sudah kenal lama tentunya dia tahu Runa paling hobi ngemil biskuit saat bekerja.
"Kenapa, Mbak? Lemas banget kayaknya."
Runa merasa semakin mual. "Tidak tahu. Mendadak rasanya tidak enak badan."
"Mungkin Mbak Runa kelelahan. Yah, wajar saja karena di rumah kan kerja juga." Lalu dia terkikik, berpikir itu lelucon untuk Runa.
Tapi karena bukan Runa cuma mendengkus, meraih teh hangat itu untuk diminum. Jujur saja, perasaannya tidak menjadi lebih baik.
Runa lantas berpindah meraih biskuit, berharap makanan kesukaannya itu paling tidak memperbaiki mood. Sayangnya baru saja sedikit tertelan, Runa mendadak sangat mual, bahkan memuntahkan biskuit itu ke tangannya.
Ugh, kenapa rasanya mendadak tidak enak?
"Mbak." Amanda mengamati Runa serius. "Jangan-jangan Mbak Runa hamil?"
Eh?
"Ya soalnya Mbak Runa kan tipe yang jarang sakit. Muak dengan cokelat juga mana pernah? Sudah periksa ke dokter, Mbak? Siapa tahu Mbak benar-benar hamil."
Semua ocehan Amanda cuma memberi Runa ketakutan yang semakin dan semakin meningkat.
Tidak. Jangan katakan omong kosong semacam itu. Runa hamil? Anak dari monster yang sepertinya cuma sedang beristirahat dari sesi siksaannya itu?
Omong kosong!
"Jangan bicara sembarangan. Saya cuma kecapean." Habis mengatakan itu, Runa beranjak, bergegas pergi meninggalkan butik.
Di luar ia terburu-buru menuju mobilnya, membuka pintu dan menutupnya agar terlalu keras hingga supir sekaligus penjaganya—agar tidak kabur—jadi terkejut.
"Rumah sakit, Pak."
Driver-nya langsung menoleh. "Maaf, Nyonya?"
"Rumah sakit." Runa memperjelas. "Saya mau beli obat sakit kepala."
Agar Dayan tidak curiga, jelas Runa harus punya alasan. Untungnya supir juga tidak banyak bertanya, hanya mengantar. Dia mengawasi Runa sampai ke tempat tunggu tapi Runa pun berusaha keras tidak memperlihatkan kecemasannya.
Begitu gilirannya masuk ke ruangan dokter, Runa akhirnya bisa sendirian dari pengawas.
"Loh, Runa?" Dokter itu adalah temannya. Dokter Faisal yang baru satu tahun menjadi dokter umum. "Hei, kudengar kamu sudah menikah tapi bukan dengan Zion. Itu benar?"
"Benar." Runa mengangguk. "Dengan kakaknya tapi daripada membahas itu, aku ingin minta tolong."
"Minta tolong?"
"Aku ingin memastikan kehamilanku tapi tolong jangan sampai suamiku tahu. Tolong, Sal. Kalau benar aku positif hamil, dia mungkin akan menggugurkan bayiku."
"Kamu menikah dengan orang gila?" Dokter Faisal mengerut marah. "Itu gila, Run. Seharusnya kamu bercerai dari pria seperti itu."
Pria yang bahkan bisa berkata 'Zion serangan jantung' padahal jelas-jelas mati kecelakaan memangnya bisa dilawan dengan apa? Mungkin bisa jika Runa adalah orang besar dengan kekuasaan yang juga sangat besar.
Tapi faktanya ia bukan.
Beruntung Faisal mau membantunya. Pria itu pun mengirim darahnya ke lab dan memastikan akan mendapat hasilnya secepat mungkin.
Begitu hasilnya keluar, walau mereka bilang harus melalui beberapa tes lagi, Runa sudah cukup mendapat jawaban.
"Positif." Dokter Faisal menatap prihatin padanya. "Runa, semua baik-baik saja, kan?"
Tidak. Jelas tidak.
Makanya Runa menunduk, menyentuh perutnya sendiri dan menangis.
Kenapa ia harus hamil dari pria gila itu? Kenapa anaknya harus ada justru dari hasil perbuatan pria sialan itu?
Runa hidup tanpa ayah yang bisa disebut ayah melainkan monster, jadi kenapa anaknya juga harus sama? Kenapa sebenarnya dunia sangat suka melakukan hal ini padanya?
"Runa."
"Aku kasihan," isak Runa. "Aku kasihan padanya. Aku yang sebesar ini pun selalu dibuat menangis oleh takdir tapi sekarang aku harus melahirkan kehidupan baru, memaksa dia ikut merasakan ini?"
Runa sudah mencintai anaknya detik ia menduga dia ada. Karena itulah ia merasa sangat kasihan. Kenapa dia harus ada dan merasakan busuknya dunia ini?
Kenapa?
"Tidak." Runa menghapus air matanya sekalipun ia sebenarnya masih mau menangis. "Aku tidak bisa menjaga anakku kalau hanya terus menangis."
"Tapi bagaimana suamimu? Kamu bilang dia mungkin menolaknya."
"Akan kucari cara. Apa pun." Runa tersenyum lemah. "Terima kasih, Faisal. Aku baru datang tapi sudah merepotkan."
"Jangan khawatir. Selama bisa kubantu, akan kubantu."
Runa beranjak pergi, pulang dengan pikiran kalut tapi juga dengan tekad.
Mungkin jauh lebih baik jika anak ini tidak dilahirkan, tapi Runa bahkan sudah menantikan dia datang.
Keluarganya. Satu-satunya. Jika dia ada, Runa merasa bhwa semua pahit di hidupnya akan hilang.
Jadi ia akan melahirkan bayi ini sekalipun itu membuatnya harus menelan pahit lebih keras.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
mbak akane
apuah???😱😱
2023-08-12
0
mbak akane
apakh ini titik balik perubahan dayan??
2023-08-12
0