14

"Mbak Runa." Amanda mengetuk pintu ruangan Runa dan menemukan wanita itu ternyata sibuk mengompres lututnya. "Ada apa, Mbak? Lututnya kenapa?" tanya Amanda khawatir karena Runa tampak meringis.

"Aku terjatuh," jawab Runa singkat. "Kamu sendiri, ada apa?"

"Ohiya, Mbak, ini pesanan makanannya sudah sampai." Amanda meletakkan makanan di atas meja, membuat Runa berkerut bingung.

Dirinya tidak pernah memesan makanan dari restoran mana pun. Lagipula Runa sedang merasa mual sekarang jadi ia berpikir makan nanti siang saja saat benar-benar sudah lapar. Runa tak punya mag jadi ia baik-baik saja bahkan jika tidak sarapan.

"Atas nama saya? Mungkin anak-anak yang pesan soalnya saya tidak pesan."

"Loh? Kata kurirnya itu pesanan Mbak Runa."

Runa memicing sebelum ia memikirkan seseorang yang cukup mungkin.

Dayan? Tidak, mustahil itu Dayan kan? Mustahil monster bertingkah baik. Kalaupun dia bertingkah baik, karena dia monster, maka dia cuma memancing untuk Runa mendekat dan dia memakannya sampai habis.

"Saya tidak pesan," tegas Runa. "Buang saja. Mungkin ada racun di dalamnya."

"Haduh, Mbak Runa kenapa malah jadi horor gitu? Mungkin dari Paksu, Mbak, soalnya Mbak kan lagi ehem." Amanda tidak mengucapkannya sebab Runa bilang rahasia.

"Tidak lucu." Runa mengangkat tangan sebagai isyarat. "Keluar. Saya mau lanjut kerja."

Amanda cemberut tapi dia tetap beranjak karena Runa memang begitu. Waktu dia meninggalkan makanannya, Runa memanggil dia untuk mengambilnya.

"Saya serius. Buang."

Amanda memiringkan wajah bingung walau akhirnya patuh mengambil makanan itu. Sepertinya Runa sangat yakin ini berbahaya jadi Amanda keluar, pergi membuangnya ke tempat sampah depan agar anak-anak lain tidak meminta, memakan lalu malah berakhir keracunan.

Waktu Amanda keluar membuangnya Dayan jelas melihat. Kantong itu tampak masih sangat utuh seolah tak tersentuh. Apalagi kurir baru keluar dan kantongnya malah sudah dibuang.

Sedangkan di dalam ruangannya, Runa yang masih menderita akibat bengkak lututnya kini merasa cemas.

Entah kenapa ia yakin pengirimnya Dayan. Tapi karena mustahil dia khawatir, maka berarti dia mengincar sesuatu?

Dia mau anakku? Begitu pikir Runa takut. Dia mau bersikap baik, membuat aku melahirkan lalu mengambil anak ini agar jadi miliknya sendiri?

Ya, pasti begitu. Adiknya mati kecelakaan saja dibuat jadi sakit jantung hanya dengan satu kalimat. Kalau sampai Dayan mau mengambil anak ini dari tangan Runa, maka Dayan cuma perlu bicara.

Runa butuh kekuatan. Ia butuh keamanan yang bisa melawan Dayan. Tapi Runa tak punya kenalan yang memiliki cukup kekuatan melawan Dayan. Keluarganya sangat kuat sampai dia bisa mengendalikan hukum.

"Tidak." Runa menggigit kuku jarinya. "Ada satu orang."

Ada satu orang yang mendadak terpikirkan. Tapi orang itu bukan teman. Dia bisa saja menjadi musuh namun dia juga bisa menjadi sekutu sementara.

"Setidaknya ada kemungkinan. Dia tidak membantuku kemarin kalau dia seratus persen berpihak pada Dayan."

Ya, orang itu mungkin bisa membantunya mengamankan anak ini setidaknya dari hukum semena-mena Dayan. Sekali lagi, walau dia belum tentu kawan melainkan lawan.

*

"Aku pikir dia melupakan kebaikanku." Hestia menyeringai begitu mendapat kabar bahwa Amanda, asisten Runa, ingin bertemu dengannya.

Dia memberi alasan ingin berbincang tentang model gaun baru yang terinspirasi dari gaun Narendra, agar pertemuan ini terlihat alami. Tapi begitu Hestia menemui Amanda, terselip kertas di buku model gaun itu, beserta tulisan tangan Runa.

[Tolong bantu saya.]

Hanya kalimat sederhana yang nampaknya juga ingin balasan sederhana.

"Beritahu bosmu," ucap Hestia sambil tersenyum misterius, "bahwa aku akan menerima proposal ini asal dia menjual butiknya padaku. Dia boleh bekerja di sana sebagai 'pemilik' tapi butik itu milikku."

Amanda terkejut mendengar syarat dari Hestia. Wanita itu tidak tahu percakapan rahasia di antara Hestia dan Runa jadi Amanda pikir itu adalah syarat keterlaluan untuk izin membuat gaun sedikit mirip.

Begitu pulang, Amanda marah-marah.

"Tidak bisa dipercaya! Bisa-bisanya cuma karena ingin membuat gaun sedikit mirip mereka minta butik Mbak Runa dilepaskan? Butik milik mereka kan sudah banyak!"

Tapi Runa yang mendengar persyaratan itu mengerutkan kening serius.

Tidak buruk. Dia mengambil butik sebagai jaminan, memberi Runa jaminan pekerjaan agar Dayan tidak curiga. Memang berisiko tapi Runa merasa penawaran ini sudah cukup baik hati.

Lagipula kalau dia membeli berarti dia membayar kan? Walau pasti tidak dengan harga normal, setidaknya Runa akan punya simpanan.

Aku juga harus bersiap-siap pergi dari sini jika keadaan memburuk, pikir Runa. Narendra juga terkenal tidak suka mengkhianati kesepakatan jadi Hestia tidak berbohong, setidaknya kemungkinan besar.

Runa memutuskan untuk terima.

Apa saja demi anaknya.

*

Malam hari setelah Runa menerima persetujuan kontrak dengan Hestia, ia memutuskan untuk ke rumah sakit. Lututnya benar-benar bengkak sampai Runa berjalan terpincang. Begitu Faisal melihat Runa datang lagi, pria itu langsung terlihat cemas.

"Hei, kamu baik-baik sa—ada apa dengan lututmu?" Faisal beranjak, membantu Runa duduk karena mengingat dia wanita hamil, walaupun masih trimester awal. "Suamimu yang melakukannya? Dia bertindak kasar lagi padamu?"

"Tidak, aku jatuh." Runa merasa mengakui itu pada semua orang sedikit memalukan dan tidak ada gunanya. "Sudah kukompres tapi masih sakit. Kurasa posisi jatuhku agak buruk tadi."

"Akan kusiapkan rontgen segera. Ayo berdoa ini baik-baik saja."

Runa mengangguk. Merasa lega ketika rumah sakit meminjamkan kursi roda padanya. Karena sekarang sudah malam juga, Faisal cukup mudah meninggalkan ruangannya dan mengantar Runa secara langsung ke ruang radiologi.

Tapi sebelum Runa masuk, Dayan yang entah dari mana muncul.

"Apa yang terjadi?" Pria itu tampak berkeringat dan seperti habis berlari kencang. Napasnya naik turun namun fokus pada lutut Runa. "Ada apa? Kamu terluka? Bayimu baik-baik saja?"

Runa yang didatangi justru spontan membuang muka, memegang jas dokter Faisal. Tindakan Runa membuat Faisal sadar bahwa pria inilah yang menyiksa Runa.

"Maaf, Pak," kata Faisal berusaha sopan, "pasien harus ke ruang radiologi sekarang."

"Ini istri saya!" balas Dayan emosi sampai-sampai lupa bahwa yang di depannya itu dokter.

Balasan Dayan langsung membuat Fasial berkerut jenuh.

"Kalau istri Anda, kenapa membiarkan istri Anda terluka?"

Dayan terpekur. Belakangan ini sangat sering rasanya ia mendengar kalimat semacam itu yang seolah menyuruhnya untuk semakin menyesal dan sadar akan kesalahannya.

Dan part paling buruknya adalah setiap kali mendengar, Dayan memang sangat menyesal.

Matanya tertuju pada lutur Runa. Ingat bahwa tadi pagi ia yang menarik Runa sampai dia terjatuh di bagian lutut.

Sekarang terlihat sangat memar.

"Permisi, Pak, tolong biarkan kami bekerja." Faisal mendorong kursi roda Runa meninggalkan Dayan yang mulutnya terkunci rapat.

Sulit rasanya untuk berkata-kata.

*

Terpopuler

Comments

mbak akane

mbak akane

udh kuduga narendra gak di jdi in vilain biasaa

2023-08-14

0

mbak akane

mbak akane

runa klo kejam nusuk ya😛

2023-08-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!