[Sara]
Setelah yang terjadi kemarin di kantor NFC, Agam hari ini kembali bekerja seperti biasanya. Tidak ada yang berubah.
Setelah sarapan, dia akan kembali ke ruang kerjanya, dan tidak akan keluar sebelum dia puas ‘bermain’ di dalam sana. Bahkan Mbok Jami juga tidak berani mendekati ruang kerjanya itu hanya untuk sekedar mengantarkan makanan. Agam sepertinya benar-benar menikmati sekali berada di dalam sana.
“Dulu saya suka penasaran. Den Agam kalau wis (sudah) nikah, kayak apa ya? Opo yo sik seneng nang kamar ae? (Apa ya masih suka di kamar saja?),” kata Mbok Jami ketika Sara membantunya di dapur sembari menyiapkan makan siang. “Ternyata masih sama.”
Mbok Jami tertawa cekikikan saat membicarakan kebiasaan Agam yang dianggapnya cukup aneh.
“Senengane yo meneeenngg ae (Sukanya diam saja). Ternyata ya masih sama,” lanjutnya lagi.
Sara pun ikut tertawa bersamanya.
“Riyen ya ngoten, Mbok? (Dulu ya begitu, Mbok?),” tanya Sara seraya membereskan cucian piring yang tinggal sedikit lagi.
“Ndak (tidak), Non. Cilikane (waktu kecilnya) Den Agam ya ndak bisa diem. Onnnoo ae sing digawe. Mreteli mainanne, terus digawe mainan anyar, mari ngono nang lapangan nyobai mainan anyar. Wis pokoke ora iso meneng. (Addaa aja yang dikerjakan. Bongkar mainannya, terus dibikin mainan baru, habis gitu ke lapangan mencobai mainan baru. Pokoknya nggak bisa diem),” kenang Mbok Jami dalam ceritanya. Tawanya tidak bisa lepas setiap kali dia bercerita.
"Tapi sakniki dolanane tambah kathah ya, Mbok? (Tapi sekarang mainannya tambah banyak ya, Mbok?),” timpal Sara turut tertawa bersama Mbok Jami.
Sara baru saja selesai dengan piring-piring kotor dan berniat membantu Mbok Jami mengupas bawang putih, saat kemudian Pak Pardi masuk ke dapur.
"Permisi, Non ...," panggil Pak Pardi, suami Mbok Jami yang tiba-tiba masuk ke dapur.
"Anu, Non ... ada tamu di depan. Katanya mau ketemu sama istrinya Den Agam."
"Saya, pak?" Sara bertanya balik dengan penuh keheranan.
Meski sudah seminggu lebih Sara tinggal di rumah Agam, tapi dia tidak mengenal siapa pun yang tinggal di sekitar lingkungan rumah itu. Bahkan Agam juga tidak pernah memperkenalkannya dengan teman atau pun kolega-koleganya. Dan sekarang, siapa yang sedang mencarinya?
"Selamat siang, Ibu Ashara, ya?," sapa seorang wanita dengan penampilan kelas atasnya. Dari pakaian hingga kotak kue yang sedang dibawanya, Sara bisa melihat semahal apa itu.
Seharusnya sudah tidak heran lagi, kan? Rumah Agam berada di kompleks perumahan elite. Dan yang seperti ini pasti ada berceceran di sekitar sini. Tapi, itu belum menjelaskan tujuan kedatangan wanita itu.
"Aduh, masih muda dan cantik ternyata," lanjutnya lagi dengan nada genit menggoda.
"I-ibu cari saya?," tanya Sara begitu dia melihat wanita itu dalam jarak yang dekat.
Tapi begitu Sara sudah sangat dekat dengan wanita itu, tubuhnya tiba-tiba ditarik mendekat, lalu dipeluknya. Dengan gerakan cepat dan agresif, wanita itu sudah menempelkan pipinya ke pipi Sara. Kanan dan kiri.
"Jangan panggil 'Ibu', donk. Body saya memang begini, tapi kalau umur saya belum terlalu tua. Maklum, anak sudah 3," lanjut wanita itu lagi.
"M-maaf ..."
Tiba-tiba, kotak yang sedang dibawanya disodorkan ke Sara begitu saja. Dari bagian atas yang hanya ditutupi kotak berlapis mika bening, Sara bisa melihat, isi kotak itu yang adalah sebuah kue coklat dengan hiasan mewahnya.
"Ini untuk hadiah ucapan selamat ... selamat apa, ya?" Wanita itu sendiri bingung apa yang mau dikatakannya, apalagi Sara yang saat ini sedang terbengong-bengong dengan kelakuan wanita itu.
"Banyak sih, ya. Selamat datang untuk tetangga baru. Soalnya Pak Tirtagama jarang kelihatan, saya jadinya bingung gimana mau ngasih ini," jelasnya.
Lalu, masih berlanjut. "Oh iya, katanya baru menikah ya? Selamat ya." Dan kembali wanita itu bercipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri).
"M-maaf, Bu ... M-maaf, maksud saya ... Mbak ..."
"Melinda, panggil saya Linda saja. Nggak usah pakai Mbak atau Bu. Apalagi Jeng. Aneh ... saya nggak suka," celoteh wanita yang sekarang Sara tahu namanya.
"I-iya, m-maaf ... L-linda. T-terima kasih hadiahnya ... S-saya ... mewakili suami mengucapkan terima kasih ..." Sara sudah mulai merasa gugup. Interaksi macam ini jarang dia lakukan dengan orang yang berbeda kelas sosial dengannya. Dia merasa terlalu jauh di bawah.
"Adududuh ... nggak usah sungkan, kayak sama siapa saja," tangkas Linda dengan cepat. "Rumah saya disitu, tuh. Setelahnya pertigaan itu, yang pagar coklat. Deket, kok."
Linda menunjuk arah kirinya dengan agak tinggi, yang artinya agak kesana lagi dari rumah Agam. Jelas ke arah kiri, karena sebelah kanannya adalah sungai buatan yang berada di ujung jalan. Sungai itu hampir mengelilingi blok kompleks itu dengan taman dan jalan kecil beserta bangku taman di setiap meternya untuk duduk santai di sekitarnya.
"Oh iya, saya lupa. Saya istrinya Soni, Head of Neighborhood di blok sini, eits ow en (HoN). Apa ya namanya? Ya kayak RT gitu lha kalau di kampung-kampung biasanya." Wanita itu ternyata masih melanjutkan celotehnya.
"Waktu suami saya bilang ada warga baru yang katanya istri Pak Tirtagama, saya langsung seneng, lho. Sudah lama pengen nyapa, pengen kenalan gitu, tapi kok sepertinya susah. Eh ada istrinya, kenalan sama istrinya aja nggak apa-apa, ya."
Sara hanya tertawa canggung menanggapi setiap ocehan Linda itu. Dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi. Linda yang super aktif itu terus mengoceh tanpa henti. Sara bahkan tidak diberi kesempatan berpikir untuk membalas semua ucapannya.
"Woah ..."
Belum selesai dengan Linda, kali ini Sara dikagetkan dengan suara seorang anak laki-laki yang usianya mungkin sekitar 7 tahun yang tiba-tiba sudah berada di dalam rumah.
Apa!? Sejak kapan anak itu disitu? Kapan dia masuk?
Mata anak itu tidak berkedip sama sekali saat memandangi seluruh isi ruang depan dan kebetulan sekali robot pelayan setinggi tubuh anak itu baru saja keluar dari dalam rumah. Dan anak itu takjub terpesona karenanya.
"Evan!," bisik Linda dengan sangat keras memanggil bocah kecil itu. "Sini! Nggak sopan!"
Tapi, Evan tidak menggubrisnya. Dia sibuk bermain dengan robot pelayan yang sedang mengikuti gerakan tangan anak itu. Akibatnya, anak itu tertawa cekakakan.
Dan sekarang, panggilan Linda jelas tidak akan terdengar sama sekali.
Dengan tatapan sungkan saat memandangi Sara, Linda ijin masuk rumah untuk menarik Evan keluar.
"Ayo! No, no! Udah dibilangin jangan ngikut mami kesini, kenapa ngikut, sih?," omel Linda pada anaknya.
"Robotnya keren, Mi," timpal anaknya yang masih belum bisa melepaskan pandangannya dari robot pelayan yang sekarang sudah pindah masuk ke dalam rumah.
"Maaf lho ya, Dik Ashara. Saya panggil Dik aja, ya. Kamu panggil saya Ci Linda aja, biar akrab," kata Linda yang lagi-lagi tidak membutuhkan jawaban dari Sara.
"Saya pulang dulu, ya. Mau anterin Evan les piano dulu. Nanti kalau butuh apa-apa, datang aja. Sesama tetangga kan harus saling bantu, ya. Nanti saya ajak kenalan sama tetangga di sini, ya." Dan pergi begitu saja meninggalkan Sara yang masih terbengong-bengong dengan lambaian tangan tak berbalas dan sekotak kue yang sedang dipegangnya.
Akhirnya selesai juga ...
Sara memandangi kue yang dihias sangat bagus yang sedang dipegangnya saat ini. Ada beberapa macam biskuit berlumeran coklat dihias di atasnya, dengan beberapa potongan kertas berwarna keemasan yang katanya orang-orang itu sangat mahal tapi enak. Terlihat sekali sangat disayangkan untuk dimakan, tapi juga membuat penasaran jika tidak dicicipi.
Kalau ini dikasihkan ke Nisa dan Nino, mereka pasti suka sekali, pikir Sara yang sudah merindukan mereka berdua.
"Ada apa? Kenapa berisik sekali?"
Suara Agam tiba-tiba mengagetkan Sara yang masih terbengong di depan pintu saat dia kembali masuk ke dalam dan menutup pintunya. Lamunan Sara jelas buyar sudah saat suara Agam mencapai telinganya.
"Itu, Bu Linda ... istrinya Pak Soni, RT di kompleks sini, ngirim kue untuk ucapan selamat katanya," jawab Sara.
Agam terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Kamu makan saja kalau kamu mau.”
Lalu kemudian tangan Agam bergerak memijat layar yang ada di pegangan kursi rodanya, dan kursi roda itu berputar membelakangi Sara.
Tapi, baru sedikit bergerak maju, kursi rodanya berhenti.
"Atau kamu berikan saja pada 2 keponakan kamu," kata Agam tanpa sedikitpun berbalik menghadap Sara.
"Keponakan?"
Keponakan yang mana?
"Maksudnya ... Nisa sama Nino? Dia anaknya Mbak Mina. Bukan keponakan. Tapi, tahu dari ..."
"Terserah mau kamu kasihkan siapa. Kamu atur sendiri," potong Agam lalu pergi meninggalkan Sara.
"K-kamu tidak ingin mencicipi sedikit?,” tanya Sara menahan kepergian Agam yang semakin menjauh.
Kursi roda Agam berhenti. Tapi, masih sama, Agam tidak berbalik sama sekali menghadap Sara.
"Hanya Mbok Jami yang boleh memasak untukku."
Dan pergi lagi.
Bahkan untuk makanan saja, dia tidak mau menyentuhnya jika dia tidak merasa aman. Pasti rasanya sakit sekali sampai-sampai menjadi seperti itu. Entah apa yang terjadi 2 tahun yang lalu?
“Sini, Non. Saya simpankan di kulkas,” kata Mbok Jami yang tiba-tiba sudah ada di dekatnya, membantunya membawakan kotak kue yang dibawanya.
“Terima kasih, Mbok.”
“Oh iya.” Mbok Jami baru selangkah meninggalkan Sara dan akan ke ruang makan, saat kemudian langkahnya terhenti. “Kata Den Agam, Non disuruh cek im ... i-ima-, i-me ... Aduh, apa ya tadi?”
Email? Oh, Mungkin kerjaan ...
“Email ya, Mbok? Iya, nanti saya cek. Terima kasih ya, Mbok.”
Itu artinya dia harus kembali ke ruang kerjanya, meskipun kepalanya sudah berdenyut karena banyaknya pertanyaan tentang Agam.
......................
16.35
Sara baru keluar dari ruang kerjanya. Pekerjaan yang diminta Agam juga sudah selesai dia kerjakan semua. Berkali-kali dia menarik tangannya ke atas agar otot-otot di pinggangnya juga bisa ikut tertarik ke atas juga. Lima jam duduk di depan laptop memang semelelahkan itu.
Saat Sara menuruni tangga, pemandangan di sisi tangga yang mengarah ke halaman belakang memberikan keindahannya tersendiri. Halaman belakang rumah Agam memang yang paling spesial di antara semua hal yang berbau teknologi. Rasanya cuma bagian itu saja yang dibiarkan alami apa adanya.
Padang rumput yang lumayan luas, taman bunga, beberapa pohon rindang, disinari matahari senja yang akan terbenam, rasanya sungguh menenangkan. Dengan melihatnya saja, hati sudah terasa damai.
Ketika Sara sudah mencapai lantai bawah, dia melihat Agam sudah berada di teras belakang. Kebiasaan Agam setiap sore. Dia biasanya meminta Mbok Jami mengantarkannya ke sana untuk beberapa saat.
Tidak ada kegiatan lain yang dilakukannya di sana. Hanya duduk, menghadap padang rumput hijau seakan-akan sedang memandangi dan menikmati jingganya matahari di sore hari. Dan dia bisa sangat betah di sana hingga berjam-jam, kalau saja Mbok Jami tidak mengingatkannya untuk masuk ke dalam.
Entah apa yang dipikirkannya di sana?
Cukup lama Sara memandangi Agam tanpa ada niatan untuk menyapanya sama sekali. Pada akhirnya, Sara biarkan Agam menikmati sore harinya di sana. Dia berjalan menuju dapur dan mendapati Mbok Jami sedang membuang makanan ke tempat sampah.
“Kok dibuang, Mbok? Sudah basi, ya?,” tanya Sara.
“Anu, Non. Disuruh Den Agam buang. Katanya ndak boleh ada yang makan. Pokoknya harus dibuang.”
Sara mengernyitkan dahinya. “Mbok salah bumbu? Makanannya nggak enak ya, Mbok?”
“Bukan, Non. Ini kiriman dari Nyonya tadi. Saya tanya Den Agam, bilangnya suruh buang. Saya malah dimarah-marahi kalau nggak dibuang, Non.”
Dari Mama Widia. Kenapa dibuang?
Sara tiba-tiba teringat kue yang diberikan Linda tadi. “Kue yang dari Ci Linda juga disuruh buang, Mbok?,” tanya Sara.
Kalau makanan dari mamanya saja disuruh buang, mungkin juga kue itu ...
“Ndak, Non. Malah tadi Den Agam yang suruh simpan untuk Non. Saya ditanyai lagi tadi, katanya mau dibawa Non besok.”
Aneh. Kenapa justru punya Mama Widia yang dibuang? Ada apa ini?
Tapi Sara tidak punya keberanian untuk bertanya pada Agam. Yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah memandangi makanan yang terbuang itu dengan perasaan kecewa. Dia sering membantu ibunya memasak. Melihat hal itu sungguh sangat menyesakkan.
Sayang sekali. Kenapa harus dibuang?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments
ひかる
ngakak
2023-07-02
3