[Sara]
Sebuah cincin berwarna putih mengkilat sedang bermain dengan manis di jari Sara. Sedari tadi dia memainkannya. Berputar, berpindah dari jari yang satu ke jemari yang lain, menggenggamnya, lalu dengan jarinya dia menyentuh sisi tepinya dan mengikuti putarannya.
Mas Vian ...
Sedikit rasa sesal karena dia merasa seperti sedang mengkhianati orang yang dicintainya. Tapi pembicaraannya yang terakhir dengan Vian 5 hari lalu kembali menguatkan tekadnya. Sara kembali yakin pada keputusannya.
Mungkin memang jalannya harus seperti ini.
Sara kemudian mengambil untaian kalung yang ada di dalam laci meja riasnya. Lalu memasukkan kalung itu pada lubang cincin, dan digantungkan pada lehernya.
Dilihatnya kalung yang baru saja dia kenakan melalui bayangan cermin yang ada di hadapannya. Dia memindahkannya di balik leher tinggi kebayanya untuk menyembunyikannya. Kemudian menghela napasnya pelan-pelan.
Demi Ibu ...
......................
"Bagaimana para saksi?"
"Sah!"
"Alhamdulilah ..."
Barisan doa mengakhiri prosesi akad nikah pada hari ini. Semua berjalan normal, tidak ada masalah ataupun kendala meskipun acara hanya disiapkan selama 2 hari. Lancar, seperti sudah direncanakan berbulan-bulan lamanya, seakan-akan akad itu memang diperuntukan untuk mereka berdua, seakan-akan Tuhan pun turut merestui mereka.
Ibu yang sedari tadi tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika melihat calon suami Sara mulai melewati pintu rumah, kini pun sepertinya sudah legawa (menerima dengan lapang dada) pada keputusan putri semata wayangnya.
#flashback_on#
"Kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu, Nak?," tanya Ibu saat masuk ke dalam kamar Sara untuk memberitahunya bahwa pengantin pria sudah datang.
Sara tersenyum pada Ibu. "Kenapa, Bu? Karena Mas Agam buta dan lumpuh? Kurang 1 lagi, Bu. Mas Agam juga tunarungu."
Lidah Ibu seakan tercekat ketika mendengar Sara menjelaskan kondisi Agam. Ibu terdengar akan mengatakan sesuatu, tapi urung dilakukannya.
"Sara benar-benar yakin, Bu. Sara yakin Mas Agam adalah jodoh terbaik yang Tuhan kirimkan untuk Sara," kata Sara lagi meyakinkan Ibu.
"Maafkan Ibu," ujar Ibu kemudian. Tangannya menyentuh lembut wajah Sara yang sudah cantik dipoles. "Ibu hanya khawatir kamu terpaksa melakukannya."
Sara memeluk Ibu, mengusap punggungnya, lalu berkata, "Jangan khawatir, Bu. Ibu doakan Sara saja, ya. Semoga Sara bisa bahagia dengan pernikahan ini."
Maafkan Sara, Bu ...
#flashback_off#
Seperti permintaannya, Agam menemui Ibu begitu dia datang. Ibu bercerita bagaimana Agam berbicara dengan sangat sopan sekali ketika dia datang menemui Ibu untuk meminta restunya.
Terima kasih ..., batin Sara.
Tapi yang tidak habis dipikirnya adalah banyaknya barang seserahan yang diterimanya.
Padahal permintaannya hanya sederhana. Kenapa jadi begitu banyak barang yang datang?
Tidak hanya itu, bahkan Agam mengirimkan tukang jasa dekorasi dan make up untuk Sara. Gaun pengantin yang sudah disewanya juga tidak dia kenakan, karena Agam mengirimkan gaun pengantin untuknya. Tidak tahu kemana harus bertanya, Sara pada akhirnya hanya menerima begitu saja.
Meski bukan pernikahan yang sesungguhnya, setidaknya dinikmati saja seperti nyata terjadi.
"Tante Sara ..."
Sara merasakan kain kebaya yang dikenakannya ditarik berkali-kali ke bawah. Saat Sara berbalik mencari pelakunya, dia tersenyum melihat gadis kecil yang terlihat imut hari ini dengan gaun merah mudanya.
"Nisa ..." Sara mengenali anak itu. Nisa adalah putri bungsu Mbak Mina yang berusia 5 tahun.
Sedikit kesulitan untuk berjongkok dengan pakaiannya, Sara mengangkat Nisa untuk duduk di pangkuannya.
"Kok manggil tante? Kan udah diajarin. Manggil Mbak Sara."
Sara menunjukkan raut wajah kesalnya, meski sebenarnya tidak.
"Nggak mau ah. Nanti dimarahi Mama. Terus nanti aku nggak dibolehin main ke rumah Uti Fira (ibunya Sara)," jawab gadis kecil itu merengut. Raut wajahnya jadi menggemaskan. Bibirnya yang mungil terus mengerucut setiap kali dia berbicara. Ciri khasnya ketika sedang kesal.
"Nggak, lah. Nanti Mbak kasih donat lagi."
Kedua mata Nisa langsung berbinar. Dia memang suka sekali dengan donat.
"Beneran, ya. Donat yang kemarin weenaakk banget."
Tidak hanya memejamkan matanya, dia juga memamerkan kedua jempolnya ke udara, menambah kadar gemasnya. Sara hampir tertawa karenanya.
"Mbak Sara sing ayu (Mbak Sara yang cantik) ...," panggil Nisa dengan nada menggoda. Kedua jari telunjuknya disentuhkan ke pipinya.
Sara tidak tahan lagi untuk tidak mencium gadis centil itu. Dia menggelitiknya dengan hidungnya yang kemudian disambut dengan gelak tawa Nisa yang juga tidak kalah menggemaskan.
Tapi kemudian, tawanya berangsur pudar. Gadis kecil itu menegakkan tubuhnya dan mendekati telinga Sara, lalu berbisik, "Mbak Sara ... kata Bu RT, Om itu buta, ya?"
Mata Sara mengikuti arah jari mungil Nisa yang menunjuk ke arah Agam yang sedang berada di salah satu sudut ruang tamu sedang berbicara dengan Raka.
Sara lalu tersenyum. Dia mengangguk.
"Tapi, Om itu pinter, lho." Sara melanjutkan jawabannya dengan berbisik di telinga Nisa. "Om nya bisa bikin robot."
Mata Nisa langsung berbinar takjub mendengar. Dia berdesah, "Keren ..."
"Eh ..." Raut wajah Nisa seketika berubah. "Kok bisa bikin robot, kan buta?"
"Itulah hebatnya Allah. Di mana ada kekurangan, pasti ada kelebihan." Sara menggoda hidung mungil Nisa dengan jari telunjuknya. "Contohnya Nisa. Awake cilik, tapi mlayune kenceng. Mas Nino ae kalah (Badannya kecil, tapi kalau lari cepat. Mas Nino saja kalah)."
Mereka pun tertawa cekikikan berdua.
"Nggak, yo! Aku nggak kalah, yo."
Yang sedang dibicarakan ternyata muncul.
"Nisa ae curang. Aku dibujuki jare Aliya teko (Nisa yang curang. Aku dibohongi katanya Aliya datang)."
"Ciieee ... Aliya ....”
Anak laki-laki usia 8 tahun yang adalah kakak Nisa itu merengut karena Sara dan Nisa kompak menggodanya. Wajah manisnya menjadi tidak kalah menggemaskan ketika dia mulai bersungut.
Terlalu asyik bercanda dengan anak-anak, Sara bahkan tidak menyadari Ibu sedang ada di dekatnya. Dia hampir terkejut saat tepukan lembut mendarat di bahunya.
"Tolong ajak suamimu ke kamar Ibu sebentar, ya. Ibu mau bicara."
Ada apa?
"I-iya, Bu ..."
Setelah meminta anak-anak untuk bermain di tempat lain, Sara menghampiri Agam yang masih mengobrol dengan Raka. Di kepalanya masih memikirkan alasan Ibu memanggil mereka berdua.
Apakah Ibu mengetahui sesuatu?
"Ibu ingin bicara katanya."
Agam hanya menganggukkan kepalanya.
Sara pun menawarkan dirinya untuk mendorong kursi roda Agam.
"Tolong, berhati-hatilah saat bicara sama Ibu," bisik Sara dalam perjalanan mereka ke kamar Ibu. "Jangan sampai Ibu mencurigai sesuatu."
Sama seperti tadi, Agam tidak mengatakan apapun. Tapi kali ini, dia tidak menjawab ya atau tidak dengan kepalanya. Tapi Sara tahu, Agam akan melakukannya.
Dia cukup baik dari awal hingga sekarang, karena masih mau bersandiwara di depan Ibu.
"Duduklah sini, dekat Ibu," kata Ibu ketika Sara sudah memasuki kamarnya.
Sara menempatkan Agam di depan Ibu. Sedangkan dirinya duduk di samping Ibu di atas tempat tidurnya.
"Ibu minta maaf jika sambutannya tadi tidak berkenan di hati Nak Agam," kata Ibu membuka pembicaraan mereka.
"Tidak ada yang salah, Bu. Semuanya sempurna," Agam menjawab dengan diplomatis.
Dia memang seperti yang diceritakan Ibu tadi. Sangat sopan.
"Ibu tidak melihat orang tua kamu datang kemari. Apakah hubungan kalian ... tidak direstui?"
"Orang tua saya sudah lama meninggal," jawab Agam singkat yang langsung dijawab itu dengan bacaan doa oleh Ibu.
Kedua mata Sara terbelalak lebar. Dia memandangi Agam dengan tatapan tak percayanya. Pria itu bisa semudah itu berbohong tentang ibunya sendiri. Apakah boleh seorang anak menyangkali ibunya seperti itu? Meninggal? Dia jelas-jelas meminta Sara untuk melindunginya dari ibunya.
Agam kemudian melanjutkan, "Tapi, kalaupun mereka masih hidup, saya yakin mereka akan merestui pernikahan ini."
Ibu menghela napasnya seraya menganggukkan kepalanya perlahan.
"Jujur, begitu melihat Nak Agam tadi masuk ke rumah, saya kaget ... maaf ... melihat kondisi Nak Agam. Tapi, ketika Sara bilang, dia ikhlas menerima Nak Agam, saya jadi mengerti perasaan Sara pada Nak Agam."
Ibu tersenyum memandangi Sara dan Agam satu persatu. Perasaan bersalah muncul saat Sara melihat senyum Ibu itu. Dia berhasil membuat Ibu percaya, tapi tidak ada yang bisa dibanggakan dari itu.
Ibu lalu membuka laci nakasnya dan mengeluarkan sebuah kotak perhiasan berwarna merah. Saat kotak itu dibuka, Sara dapat melihat kilauan perhiasan emas yang ada di dalamnya. Dikeluarkannya satu-persatu, lalu memakaikannya secara bergantian pada Sara dan juga Agam. Masing-masing, sebuah cincin dan seuntai kalung.
"Ini hadiah pernikahan dari Ibu dan Ayah untuk kalian. Ini memang disimpan sudah lama oleh kami untuk Sara dan suaminya. Setiap terima gaji, ayahnya selalu menyisihkan sedikit untuk ditabung. Begitu terkumpul, lalu dibelikan itu semua. Suruh Ibu yang simpan, sampai Sara nikah."
Air mata Sara langsung turun dengan derasnya begitu mendengar cerita Ibu. Rasa bersalahnya semakin menumpuk. Apakah kebohongannya ini bisa dimaafkan?
Sejahat itukah aku sebagai anak sampai-sampai membohongi orang tuanya sendiri?, batin Sara.
"Tolong jangan lihat nilainya, ya. Memang bukan barang mahal. Anggap saja sebagai kenang-kenangan."
Sara langsung menghujani Ibu dengan pelukan dan air matanya. Hatinya tidak kuat lagi menerima semua itu. Dia seperti sedang dihukum oleh Ibu saat ini.
"Ini adalah barang berharga milik orang tua Sara. Kami akan selalu menyimpannya," jawab Agam yang masih terlihat tenang, tidak seperti Sara.
Ibu kemudian melepaskan pelukan Sara darinya. Dia mengusap air mata Sara yang hampir menyapu bersih dandanannya. "Wis, wis ... Lha kok malah nangis (Sudah, sudah ... Kok malah nangis)."
Sara berusaha menenangkan dirinya sendiri. Meski tidak kuat, tapi dia harus tetap meneruskannya.
"Ibu titip Sara, ya Nak Agam," lanjut Ibu lagi. "Tolong bimbing Sara kalau dia banyak salah."
"Saya ... janji akan menjaga Sara."
Kalimat Agam sempat terpotong. Terdengar ragu, tapi sedetik kemudian seperti sedang memperbaiki kesalahannya. Bahkan orang seperti Agam juga bisa menjadi ragu.
"Ibu akan selalu mendoakan kalian."
Kalimat terakhir Ibu masih terus terngiang di kepala Sara hingga mereka keluar dari kamar Ibu. Sekarang dia merasa seperti anak durhaka yang sudah membohongi ibunya sendiri.
Ibu mengajarkan padanya untuk selalu menghormati hubungan dalam pernikahan, dan sekarang dia sedang bermain-main dengan itu. Dia merasa dia telah mengkhianati ibunya. Seketika itu juga dia merasa jijik dengan dirinya sendiri.
"Kamu bisa membatalkan semuanya kalau merasa ini begitu berat," kata Agam tiba-tiba ketika mereka berada di luar. "Aku tidak akan mempermasalahkan ganti ruginya."
Benarkah? Bisa begitu saja? Tapi ... semua orang yang datang hari ini hanya tahu seorang Ashara Revalina telah menikah dengan seorang pria bernama Tirtagama Wiryasurya. Mereka sah adalah suami dan istri, di mata Tuhan dan juga hukum. Dan sekarang, bisakah dia mundur?
Sara menghela napasnya perlahan, lalu berkata, "Aku nggak apa-apa, kalau itu maksudmu. Terima kasih karena sudah mau bicara dengan Ibu."
"Sama-sama ... Aku melakukan apa yang harus aku lakukan. Dan aku menantikan kamu melakukan hal yang sama."
Ya, begini saja. Dan 2 tahun akan berakhir dengan hanya dalam satu kejapan mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments