[Sara]
Pukul 21.43
Sudah sangat malam. Terlalu malam untuk dirinya yang masih harus menggantikan Mbak Mina yang sedang menjaga Ibu di rumah sakit. Mbak Mina yang memiliki 2 orang putra dan putri seharusnya sudah pulang dari tadi, tapi demi untuk menunggu dirinya benar-benar datang, Mbak Mina rela menunggu hingga semalam ini. Untungnya, suami Mbak Mina hari ini libur. Setidaknya, Mbak Mina bisa cukup tenang meninggalkan anak-anaknya sendirian di rumah.
Dilihatnya sekotak donat yang ada di dalam kantong kresek yang dibawanya. Sara sengaja mampir di toko kue untuk membelinya agar bisa dibawa pulang oleh Mbak Mina untuk anak-anaknya - sebagai penebusan rasa bersalahnya karena menahan mama mereka hingga selarut ini.
Sara tersenyum membayangkan tawa mereka ketika melihat Mbak Mina pulang membawa donat itu.
KRIEK ...
Dibukanya perlahan pintu kamar tempat Ibu dirawat yang justru malah menimbulkan bunyi aneh pada pintunya. Dilihatnya Mbak Mina terbangun karena suara itu.
"Wis teko, Non? (Sudah datang, Non?)," bisik Mbak Mina sembari mengucek matanya yang masih mengantuk.
"Maaf ya, Mbak. Terlalu malam, ya?"
"Nggak apa-apa, Non. Tenang ae, ono bapake arek-arek, kok (Tenang saja, ada bapaknya anak-anak, kok)."
Sara langsung menyerahkan kantong kresek yang berisi donat yang dibawanya. "Buat anak-anak, Mbak."
"Haduh, Non. Nggak usah repot-repot," kata Mbak Mina menolak pemberian Sara itu.
"Nggak, Mbak. Nggak repot, kok. Bagi-bagi rejeki. Mumpung tadi ada rejeki sedikit," jelas Sara sedikit berbohong.
Iya sedikit, tidak sepenuhnya juga itu bohong. Dilamar orang termasuk rejeki juga, kan?
"Suwun ya, Non. (Terima kasih ya, Non)," ucap Mbak Mina yang sekarang terlihat tidak enak menerima bingkisan itu. Tapi Sara sekali lagi menyakinkan Mbak Mina agar tidak perlu khawatir.
Dipandanginya Ibu yang masih tertidur. Mbak Mina bilang, Ibu baru minum obat, karena itu Ibu tertidur saat ini. Kondisi Ibu yang semakin membaik hingga akhirnya diputuskan Ibu sudah boleh pulang besok, begitu laporan dari Mbak Mina yang didapatnya.
##
"Ibu Nona Ashara akan mendapatkan pelayanan kesehatan nomor satu. Tuan juga akan memanggilkan dokter terbaik di bidangnya untuk mengobati Ibu Nona."
##
Bayangan perbincangannya dengan Tuan Tirtagama dan asistennya, Raka kembali memenuhi isi kepalanya. Pengobatan terbaik untuk Ibu, bagaimana Sara bisa menolaknya?
Sebuah tawaran yang menarik selalu diikuti dengan syarat yang tidak mudah. Tapi, jika itu untuk Ibu, bisakah dia tidak peduli?
Lamunan Sara dibuyarkan oleh Mbak Mina yang pamit akan pulang. Suaminya ternyata sudah datang menjemput. Tanpa mengantarkannya hingga ke lobby, Mbak Mina akhirnya pulang dan berpesan bahwa dia akan kembali besok pagi.
Dia merasa beruntung bisa mengenal Mbak Mina. Wanita 30 tahunan itu sudah banyak membantunya terutama di saat dia tidak dapat langsung hadir ketika Ibu membutuhkannya. Kejadian kemarin adalah buktinya. Jika bukan Mbak Mina, siapa lagi yang bisa dengan cepat mengantarkan Ibu ke rumah sakit.
"Mina wis mulih? (Mina sudah pulang?)" Ibu Sara tiba-tiba saja terbangun. Perlahan Ibu membangkitkan tubuhnya untuk duduk. Sara segera membantunya begitu melihat Ibu mulai bergerak.
"Barusan, Bu. Ibu mau minum?," tanya Sara yang dijawab dengan anggukan kepala. Sara mengambilkan sebotol air dengan sedotan di dalamnya, memudahkan Ibu minum apalagi jika harus berbaring.
"Kamu baru datang?," tanya Ibu lagi saat memandangi pakaian yang dikenakan Sara yang masih mengenakan pakaian yang biasanya dikenakan Sara saat bekerja.
"Iya, Bu. Mau tiduran lagi?"
Ibu menggelengkan kepalanya. "Ibu mau ngobrol sebentar sama kamu," katanya.
Sara mengambilkan bangku yang ada di dekatnya, meletakkannya dekat dengan tempat tidur Ibu, sembari memijat kaki Ibu.
"Ibu mau ngobrol apa? Ibu nggak ngantuk?"
"Ibu wis keakehan turu. Pegel (Ibu sudah kebanyakan tidur. Capek)," jawab Ibu seraya tersenyum lembut. Sara tahu Ibu hanya bercanda dengan kalimatnya itu.
"Kabare Vian piye? (Kabarnya Vian bagaimana?) Sekolahnya gimana?"
DEG!
Gerak tangan Sara berhenti seketika di atas pergelangan kaki Ibu. Dia juga terus menatap kedua tangannya tanpa berani menatap Ibu secara langsung. Dari ujung matanya dia bisa melihat Ibu masih terus memandanginya, menunggunya untuk menjawab.
Sara berusaha mengembalikan kesadarannya agar Ibu tidak khawatir melihatnya. Kedua tangannya kembali bergerak memijat pergelangan kaki Ibu.
"Mas Vian baik kok, Bu. Sekarang sedang mengerjakan thesisnya, jadi lebih sibuk," jawab Sara tanpa menatap balik ibunya.
"Pantesan, akhir-akhir ini Ibu jarang lihat kamu video call sama Vian."
Dua minggu. Sara dan Vian tidak melakukan video call selama 2 minggu. Selama itu juga, Vian hampir tidak pernah membalas pesan-pesan yang dikirimkan Sara. Mau tidak mau terkadang perasaan curiga akan muncul.
Tapi Sara berusaha sebaik mungkin menjadi seorang kekasih yang baik. Tidak memaksanya, selalu memahami posisinya, tidak terus menerus mengganggunya, Sara berusaha sebaik mungkin menekan rasa rindunya hingga di titik yang rasanya sudah terlalu sesak di dadanya.
Karena itu, begitu akhirnya Vian mengajaknya untuk online, tapi ternyata malah bukan hal baik yang dia terima. Sara mengeluarkan semua hal-hal buruk yang ada di kepalanya, yang selama ini ditekannya dalam-dalam. Dia sudah tidak tahu lagi, apakah hubungan mereka masih bisa diperbaiki? Apakah ada jalan untuk mereka kembali lagi?
Hingga ... tawaran itu datang. Tawaran dari Tuan Tirtagama.
"Kamu dan Vian sudah lama pacaran. Kapan kalian akan menikah? Umur kamu sudah pantas untuk menikah, lho."
Kedua tangan Sara kembali berhenti. Kepalanya terus tertunduk, menahan air matanya yang sedikit lagi akan meluncur bebas melewati pipi lembutnya.
"Mumpung Ibu masih hidup."
Tidak banyak bicara lagi, Sara langsung memberondong wanita kecil nan kurus itu dengan pelukan. Air matanya kini diijinkannya untuk turun. Sara semakin mengeratkan pelukannya setiap kali dadanya terasa sesak.
"Lho, lho, kok nangis? Ibu cuma nanya, kok malah nangis to." Ibu terus mengusap punggung Sara, menenangkannya.
"Sstt ... jangan keras-keras. Nanti yang di sebelah bangun," bisiknya.
Sara melepaskan pelukannya hingga mengusap pergi air matanya. Lalu berpura-pura memarahi ibunya itu. "Jangan bilang begitu, Bu. Sara jadi sedih.”
Perlahan, Sara meraih kedua tangan Ibu, lalu memeluk keduanya dengan telapak tangannya. Dan kali ini dia berani menatap kedua mata ibunya. Dengan menutup kedua matanya, Sara menyiapkan hatinya.
##
"Ibu Nona Sara akan mendapatkan pelayanan kesehatan nomor satu."
##
Ya, ini demi Ibu.
##
"2 tahun. Hanya untuk 2 tahun. Setelah itu kamu akan bebas."
##
Benar. Hanya untuk 2 tahun. Tidak lebih. Dan pada saat itu, Ibu pasti sudah baik-baik saja.
Sara menghembuskan napasnya sekali lagi, dan kemudian perlahan membuka kedua matanya.
"Sara akan menikah sebentar lagi kok, Bu."
Ibu jelas sekali terlihat terkejut mendengar berita itu. Siapa yang tidak.
"Tenan ta? Vian arep ngelamar? (Beneran? Vian mau melamar?)," sahut Ibu hampir berteriak, tapi kemudian dikurangi volumenya ketika mengingat teman sekamarnya.
Raut wajah Sara berubah lebih lembut. Dia menciumi tangan Ibu, lalu mengusapnya perlahan.
"Aku sama Mas Vian sudah putus, Bu."
Dengan masih tetap menatap tangan Ibu, Sara masih bisa mendengar suara bisikan Ibu yang memanggil namanya. Sara menyiapkan senyum terbaiknya sebelum dia menatap kedua mata Ibu yang pasti sedang memandanginya dengan tatapan iba.
"Putusnya sudah lama kok, Bu," kata Sara terdengar sangat menyakinkan.
"Terus kamu mau nikah sama siapa?" Raut wajah Ibu yang keheranan membuat senyum di wajah Sara semakin mengembang. "Orangnya baik, Bu. Pekerjaannya juga sudah mapan. Namanya Agam. Sara sudah yakin mau nikah sama Mas Agam."
Ibu semakin melongo melihat keyakinan Sara.
Sedangkan Sara masih terus berakting hingga tidak memberikan celah pada Ibu agar ragu padanya. Bahkan di saat hatinya terasa perih di saat dia mengingat Vian ketika dia mengatakan akan menikah dengan orang lain.
"Ibu jangan khawatir. Kalau Ibu ketemu sama Mas Agam, Ibu pasti akan suka sama dia. Orangnya baik, kok," lanjut Sara lagi menyakinkan ibunya.
Raut wajah Ibu kini berubah. Entah apa namanya. Sedih? Bukan. Tapi bahagia sekali juga tidak. Mungkin iya bahagia, tapi bingung masih mendominasi. Siapapun pasti juga akan bingung, harus sedih atau bahagia dengan berita semacam ini.
"Apa kamu bahagia?," tanya Ibu tiba-tiba.
Tidak tahu ...
"Bahagia. Sangat bahagia. Mas Agam tipe suami idaman lho, Bu."
"Kamu yakin, Nak?"
Demi Ibu ...
"Yakin, Bu. Sara yakin sepenuhnya."
Ibu terus menatap kedua mata Sara dalam-dalam, seakan-akan sedang mencari kebenaran yang disembunyikan oleh Sara di dalam sana.
Tapi Sara lebih baik dalam hal bersembunyi. Dia tidak mau kalah dalam hal ini. Bisa dikatakan, tidak boleh. Dia tidak boleh kalah. Atau semuanya akan sia-sia.
Ibu kemudian gantian meraih tangan Sara, menggenggamnya dengan telapak tangannya yang kurus dan kecil, menepuknya perlahan, lalu mengusapnya lembut.
"Ibu nggak tahu siapa yang akan menikah sama kamu. Meskipun bukan Vian, siapa saja boleh asalkan kamu bahagia." Tangan Ibu mendarat di atas kepala Sara. Kemudian membelai lembut surai Sara dari atas turun ke bawah, naik kembali ke atas, begitu seterusnya.
"Ibu akan selalu merestui kalian berdua."
Sara meraih tangan Ibu yang baru saja membelai kepalanya, memeganginya hingga menyentuh wajahnya, lalu menciuminya. Air matanya turun ikut membasahi tangan Ibu.
"Terima kasih, Bu. Terima kasih," bisik Sara.
"Jadi, kapan Mas Agam mu itu akan bertemu Ibu?," tanya Ibu yang tiba-tiba berubah menjadi penuh semangat.
"Soal itu ..."
Ibu menatap keheranan pada Sara yang saat ini terlihat gugup.
"Mas Agam nunggu Ibu keluar dari rumah sakit. Begitu lamaran ... langsung nikah saat itu juga."
"Secepat itu?!?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments