NovelToon NovelToon

Cinta Itu (Tidak) Buta

Part 1 : A Disaster Day

[Sara]

“Kita putus, ya ...”

Satu kalimat yang cukup membuat Sara terkejut dan mengubah seluruh moodnya di hari itu.

Pria bermata coklat yang dikenalnya dalam 2 tahun terakhir ini yang selalu menemaninya, menghiburnya, dan memberinya kekuatan saat dirinya rapuh setelah ayahnya meninggal, setelah 2 minggu mereka tidak bertemu via layar laptop – karena kesibukannya sebagai mahasiswa di sebuah kampus di Melbourne, Australia –, tiba-tiba saja mengajak bersua via online hanya untuk mengatakan kata itu. Putus.

Hati siapa yang tidak tersayat mendengar berita seperti itu.

“M-mas Vian ... A-ada apa? K-kenapa tiba-tiba begini? Apa aku punya salah?” Sara sudah hampir menangis karena keputusan mendadak itu.

“Orang tuaku ... mereka ... mereka ngotot mau menjodohkan aku dengan gadis pilihan mereka,” jawab pria yang dipanggil Mas Vian oleh Sara.

Ini lagi!

Sara sudah berusaha mendekatkan dirinya dengan orang tua Vian, tapi penolakan sepertinya datang dari sang pacar.

Ya, Vian. Dia selalu menghalangi Sara untuk bertemu dengan sang calon mertua. Selalu ada saja alasannya.

Sara minta bertemu, Vian bilang rumahnya jauh di luar kota Surabaya, tempat mereka tinggal. Sara minta alamat mereka, Vian bilang orang tuanya sedang ke luar pulau.

Yang tidak ada sinyal, yang HP rusak, yang inilah, yang itulah, entah sudah berapa alasan yang diberikan Vian untuk menghalangi Sara bertemu orang tua Vian.

Dan Sara selalu mempercayainya, meski dalam hati juga dia merasa jengkel.

Entah sudah ke berapa kalinya, akhirnya Sara dipertemukan dengan kedua orang tua Vian di satu cafe di Surabaya. Pertemuan yang singkat, tapi cukup menyenangkan menurut Sara. Atau mungkin hanya Sara saja yang merasa demikian.

Karena ternyata, Vian bilang orang tuanya tidak menyukai Sara.

Sara hampir putus asa dibuatnya. Bagaimana caranya menyenangkan calon mertuanya?

“Aku juga bukan diam saja, Sar. Berkali-kali aku bujuk mereka. Aku sering cerita tentang kamu. Aku bilang aku cuma cinta sama kamu. Tapi, mereka tetap nggak mau kasih restu. Aku benar-benar nggak tahu harus bagaimana lagi, Sar.”

Kedua mata Sara mulai berkaca-kaca dengan menumpuknya air mata di dalam sana. Satu persatu air matanya mulai turun, terutama ketika dia memikirkan berapa banyak usaha yang bisa dia lakukan untuk menyenangkan calon mertuanya itu. Dan sekarang sepertinya semua terlihat sia-sia.

“Aku cerita kalau aku bisa ambil S2 ini juga semua berkat kamu. Kalau bukan kamu yang bantu aku cari dananya, mana bisa aku sampai di sini, Sar? Aku bilang ke mereka, kalau kamu yang selalu dukung aku selama ini. Tapi mereka tetap teguh sama pendirian mereka. Mama bahkan mengancam akan bunuh diri kalau aku tetap ngotot sama kamu. Terus aku harus bagaimana, Sar?”

Air mata Sara turun semakin deras. Terutama ketika Vian cerita ancaman ibunya. Bagaimana bisa Sara tidak peduli tentang hal itu? Dia juga punya Ibu yang sangat dia hormati dan sayangi.

Apakah ini harus benar-benar berakhir?

Tiba-tiba saja, panggilan video call mereka terputus. Layar laptopnya sudah berganti gambar menjadi tampilan daftar warna biru ciri khas software yang biasanya digunakan oleh sebagian besar orang yang ingin melakukan meeting online. Dan tak lama kemudian, sebuah pesan masuk ke ponselnya.

“Maafkan aku, Sar. Sekali lagi aku minta maaf. Aku harus pergi, dipanggil dosen. Aku akan ganti uangmu secepatnya. Kamu jaga kesehatan, ya. Mas Vian mu.”

Sara semakin marah memandangi pesan itu.

Tapi bukan itu yang aku mau, Mas.

Yang tersisa sekarang adalah air mata Sara. Sara menangis sejadi-jadinya. Terus menangis mengeluarkan semua rasa sakit yang ada di dadanya, meski rasanya tidak akan pernah habis. Jika bukan karena dia ingat dia harus pergi kerja, mungkin dia masih akan terus menangis sampai ujung hari.

Segera dia ke kamar mandi untuk mencuci mukanya, mengurangi sembab pada kedua matanya. Sebelum akhirnya dia ke meja makan menemui ibunya.

“Ndak sarapan dhisik? (Tidak sarapan dulu?),” tanya Ibu ketika melihat Sara yang hanya mengambil sepotong roti melewati bangku dan juga nasi goreng kampung kesukaannya.

Sara menciumi pipi Ibu, lalu mencium punggung tangan milik sosok yang sangat dia sayangi itu, dan berkata, “Nggak, Bu. Sudah hampir terlambat. Jadwal cuci darah Ibu hari ini, kan? Ibu sudah kelihatan pucat gitu. Bentar lagi Mbak Mina datang. Ibu jangan kerja yang berat-berat, ya. Tunggu Mbak Mina. Nanti Ibu jatuh.”

“Hati-hati di jalan, Nak.”

Sara hanya melambaikan tangannya seraya pergi menjauh dan meninggalkan Ibu yang terduduk di atas bangku meja makan. Dia sengaja melakukan ini agar ibunya itu tidak melihat kedua matanya yang membengkak.

Meski dia pernah mengenalkan Vian pada Ibunya, tapi menceritakan ini pada Ibu hanya akan semakin menyulitkannya. Dia masih belum siap menceritakan semuanya terutama saat hatinya masih belum bisa ikhlas menerima semua keputusan Vian itu.

Aku akan coba bicara lagi dengan Mas Vian. Setidaknya aku harus mencoba sebelum benar-benar berakhir. Baru setelah itu aku bicara dengan Ibu.

BRAK!

Sara belum jauh melangkah meninggalkan rumahnya saat dia menabrak seseorang dalam perjalanannya menuju halte bis dekat rumahnya. Melamun sambil berjalan memang bukan hal yang baik. Dia bahkan tidak sadar hingga menabrak seseorang dengan kursi rodanya.

“M-maaf, maaf ... Saya nggak perhatian, karena terburu-buru,” kata Sara yang terus menunduk, lalu pergi meninggalkan orang itu begitu saja.

Sambil setengah berlari, pikiran Sara masih digelayuti pembicaraannya dengan Vian pagi ini. Bahkan di antara kerumunan orang yang sedang berlomba-lomba menaiki bis, kata-kata Vian yang mengucapkan kata ‘putus’ seakan tidak pernah pergi dari kepalanya.

Drrt ... drrt ...

Ponsel Sara bergetar tiba-tiba setelah cukup lama bis yang ditumpanginya bergerak meninggalkan halte. Perasaan Sara mendadak menjadi tidak tenang ketika layar ponselnya menunjukkan nama ‘Mbak Mina’. Karena asisten Ibu itu jarang sekali menelponnya jika bukan karena sesuatu yang penting.

Apakah terjadi sesuatu pada Ibu?

Dan benar saja ...

“Non Sara, Ibu jatuh. Ini saya lagi perjalanan ke rumah sakit. Non langsung ke rumah sakit biasanya, ya.” Dan panggilan pun ditutup.

Beruntung, bis yang ditumpangi sejalan dengan tujuannya. Tapi, perjalanan menuju rumah sakit terasa begitu panjang dan selamanya.

Ibu pasti kerja berat tadi. Ibu selalu gitu, nggak pernah dengerin Sara. Mudah-mudahan Ibu nggak apa-apa, pikirnya terus menerus.

Pikiran Sara menjadi semakin kalut di setiap menit yang dihabiskannya menunggu bis itu tiba di rumah sakit.

......................

“Kondisi Ibu Fira semakin hari semakin menurun. Dan ini cukup mengkhawatirkan.”

Satu lagi kabar buruk hari ini.

Sejak Ayah meninggal 2 tahun lalu, Ibu lah yang banting tulang mencari nafkah untuk biaya kuliah Sara. Setiap kali Sara bilang akan berhenti kuliah, Ibu selalu melarangnya. Impian Ayah agar Sara diwisuda adalah alasan Ibu tidak mau Sara berhenti kuliah di tengah jalan.

Pada akhirnya, membuka jasa katering adalah usaha Ibu dalam menghasilkan uang. Yang mana membuat Ibu kelelahan dan terus merasakan sakit pada lengannya setiap kali harus mengaduk ayam goreng serundeng, andalan Ibu yang selalu menerima banyak pesanan.

Hingga akhirnya Ibu terus menerus minum obat anti nyeri yang berakibat buruk pada ginjalnya.

Dan di sinilah Ibu pada akhirnya, di rumah sakit dengan jadwal cuci darah seminggu 2 kali. Sudah lebih dari 6 bulan terakhir Ibu harus bolak balik rumah sakit untuk cuci darah.

“Apa belum ada kabar tentang donor ginjalnya, Dok?, “ tanya Sara yang sudah lama berharap cemas menunggu jawaban dari pendaftaran permintaan donor ginjal untuk Ibu nya itu.

Jika saja ginjal milikku cocok dengan Ibu, aku tidak perlu menunggu selama ini. Aku pasti akan segera melakukan operasi.

“Sayangnya belum ada,” kata dokter yang sudah beberapa bulan terakhir menangani Ibu nya. “Tapi jangan berhenti berdoa, ya. Siapa tahu akan ada kabar baik setelah ini.”

Kalimat yang sama setiap kali dia bertemu dengan dokter itu. Berdoa dan berharap. Dia terus berdoa hingga hari ini, tapi jawaban itu masih juga belum datang.

Mau sampai kapan lagi harus berdoa?

“Untuk saat ini, jadwal cuci darah Ibu Fira saya jadikan 3 kali seminggu, ya. Nanti biar diatur setiap 2 hari sekali. Pola makan jangan lupa tetap dijaga,” lanjut dokter itu lagi.

Sara memandangi ibunya yang saat ini sedang terbaring lemah di atas tempat tidur rumah sakit. Di sampingnya ada Mbak Mina yang sedang duduk menemani Ibu. Sara hampiri wanita bertubuh tinggi dan kurus itu.

“Makasih ya, Mbak. Untung Mbak hari ini datang lebih cepat,” bisik Sara pada Mbak Mina agar tidak membangunkan Ibu .

Mbak Mina biasanya datang jam 9, satu jam setelah Sara berangkat kerja. Entah bisikan apa yang mendorong dia berangkat lebih awal, begitu cerita Mbak Mina tadi padanya.

“Sami-sami, Non. Wis memang dalane tekan Gusti. Ora usah dipikiri (Sama-sama, Non. Sudah memang jalannya dari Gusti. Tidak perlu dipikirkan),” balas Mbak Mina seraya mengusap lembut punggung Sara seakan sedang membantu menenangkannya.

Drrt ... drrt ...

Ponselnya yang bergetar memaksa Sara harus keluar dari ruangan itu. Dari deretan angka yang tidak tersimpan di ponselnya, Sara tahu siapa yang sedang menelponnya saat ini.

Another bad news ...

“Selamat siang, Ibu Ashara Revalina. Saya dari Pinjam Rupiah ingin mengkonfirmasi kembali kapan kira-kira pinjaman Ibu bisa segera dibayarkan?”

Dan terus begitu untuk beberapa saat. Telepon demi telepon masuk hanya untuk menanyakan hal yang sama, kapan akan dibayarkan?

Sara hanya bisa terduduk di atas bangku ruang tunggu saat semua telepon itu selesai dijawabnya. Kepalanya menengadah ke atas, memandangi langit-langit gedung rumah sakit seraya memikirkan, apa yang harus dilakukannya sekarang?

Pinjaman itu adalah pinjaman yang sudah cukup lama diambilnya. Pertama, 10 juta untuk membayar kekurangan biaya pendidikan Vian dan juga biaya hidupnya selama di Melbourne.

Lalu, 15 juta, untuk biaya operasi pemasangan AV Shunt (*) yang disarankan dokter agar mudah bagi Ibu saat melakukan hemodialisa.

Dan kini semuanya minta agar dibayarkan. Dia bahkan masih harus memikirkan biaya pengobatan Ibu yang sekarang jadwal cuci darahnya menjadi 3 kali seminggu. Meski dibantu oleh asuransi kesehatan pemerintah, tapi ada beberapa obat yang tidak tercover sehingga Sara harus membeli dengan dananya sendiri. Bagaimana mengatasi semuanya?

Sara menghela napas cukup panjang dan lama.

Drrt ... drrt ...

Kembali Sara menghela napasnya, menyiapkan hati dan pikirannya untuk menerima panggilan berikutnya yang dikiranya akan berasal dari debt collector lagi.

“Sara! Kamu mau masuk kerja jam berapa? Kenapa masih belum datang?!”

......................

Author’s Note :

(*) AV Shunt adalah tindakan operasi yang menyambungkan arteri dan vena pada bagian lengan dengan tujuan menjadikan sambungan tersebut sebagai akses hemodialisis

Sumber : https://sardjito.co.id/2021/12/06/tips-perawatan-post-operasi-av-shunt/\#:~:text\=Arteriovenous%20Shunt%20(AV%20Shunt)%20atau,sambungan%20tersebut%20sebagai%20akses%20hemodialisis.

Part 2 : Pertemuan Pertama, atau Kedua?

[Sara]

Prak!

Sebuah map plastik berwarna kuning yang berisi beberapa lembar kertas dengan deretan huruf dan angka di atasnya dengan mudah dikenali Sara, dibanting dengan kerasnya oleh seorang wanita setengah tua yang sedang duduk di atas bangku kerjanya yang nyaman. Yang dibanting itu adalah hasil kerjanya 2 malam lalu saat membuat rekapan barang yang masuk sehari sebelumnya.

“Ini sudah berapa kali kamu begini? Dan kesalahan kamu itu bukan main-main, lho. Kerjaan semua orang jadi kacau!,” bentak wanita yang adalah supervisor yang ada di kantor Sara.

“Maafkan saya, Bu ...”

Sara hanya bisa tertunduk di saat supervisornya memarahinya. Cuma itu yang bisa dia lakukan saat ini.

Pekerjaannya sebagai staff administrasi umum memang sangat rentan terjadi kesalahan. Salah sedikit, ada banyak orang di bagian yang berbeda yang akan mendapatkan masalah. Karena itu, dia hampir tidak pernah melakukan kesalahan.

Pengobatan Ibu dan juga banyaknya telepon yang harus dia jawab itulah yang membuat pikirannya menjadi tidak tenang akhir-akhir ini. Salah fokus sedikit, kesalahan pun terjadi.

“Dan lagi, kemana kamu hari ini? Kenapa datang terlambat? Kamu tahu kan peraturannya? Kalau tidak masuk atau datang terlambat itu kasih tahu .... Adduuhh ... ini bagaimana, sih? Sudah berapa lama kamu kerja disini? Masak yang kayak begini harus dikasih tahu”

Sara menyesali kelupaannya yang tidak menghubungi kantor saat dia tahu dia akan ke rumah sakit tadi. Begitu dia mendapat kabar dari Mbak Mina, pikirannya sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Sara benar-benar lupa menelpon kantornya.

“Sudah sana! Saya nggak mau tahu, dalam 1 jam semua harus beres. Kalau nggak beres, kamu mendingan pulang saja!”

Dengan langkah gontainya, Sara berjalan menghampiri pintu ruangan supervisornya itu. Saat pintu terbuka, dia masih mendengar omelannya untuk yang terakhir kalinya, “Ya gini ini kalau terima karyawan lulusan kampus yang nggak bonafide.”

Sara menggenggam map kuning di tangannya dengan erat, menahan air matanya turun karena rasa sakit di hatinya atas pernyataan itu. Dia ingin melawan, tapi kesalahannya sudah cukup fatal untuk seorang lulusan S1.

Sara segera mengerjakan pekerjaannya begitu dia tiba di meja kerjanya tanpa banyak bertanya ataupun bicara. Dia juga tidak menyapa teman kerjanya yang ada di sampingnya, meski temannya itu terus memandanginya sejak Sara keluar dari ruangan supervisor hingga duduk di bangkunya.

Hanya sebuah sticky note bertuliskan ‘Semangat, Sara!’ yang tiba-tiba ditempelkan di mejanya oleh temannya itu. Sara hanya mengembangkan senyum tipis nan getir tanpa memandanginya, lalu mengangguk pelan sekali untuk memberikan tanda bahwa dia baik-baik saja. Padahal tidak.

......................

“AAAHHHHHHHHHHH,” teriak Sara sekencang-kencangnya, melepaskan semua sesak di dalam dadanya.

Begitu dia menyelesaikan semua pekerjaannya, termasuk pekerjaan yang harus dia perbaiki, Sara langsung memilih untuk pergi sejenak dari kantor saat jam istirahat.

Dipilihnya taman umum yang ada di seberang gedung perkantorannya. Saat siang, taman yang luas itu biasanya lengang, hanya sedikit orang yang berkunjung.

Dan di sinilah Sara mengeluarkan semua yang ada di hati nya setelah apa yang terjadi pada dirinya hingga detik itu.

Cukup melegakan ternyata.

Beberapa orang sempat melihat ke arahnya karena kaget dengan teriakan Sara. Ada pula yang mememolototinya, tapi Sara tidak menggubris mereka.

Orang-orang yang kebetulan melewatinya sudah mulai bergumam ataupun berbisik dengan temannya.

Gila kali tuh cewek.

Stress kali.

“AHAHAHA ... Memang sudah gila! Kenapa?!” Giliran Sara yang memelototi mereka. Dan semua orang kembali sibuk dengan pekerjaan mereka tanpa mempedulikan Sara yang dikira sudah benar-benar gila.

Setelah puas menakuti pengunjung yang lewat di depannya, Sara kini menyibukkan dirinya dengan menyusuri sekeliling taman yang ramai akan pepohonan dan bunga warna-warni.

Sambil melahap roti yang dipegangnya sedari tadi, Sara menyegarkan matanya sejenak yang masih terasa sembab karena tangisannya tadi pagi.

Tapi begitulah orang yang sedang putus cinta. Hanya dengan mengingatnya saja, air mata Sara sudah jatuh membasahi wajahnya.

Dengan mulut yang penuh roti, Sara mengusap wajah dengan punggung tangannya. Lalu mengalihkan lagi pandangannya ke samping kiri sembari mencari sesuatu yang bisa menyibukkan kepalanya dari ingatan-ingatan buruk tentang Vian.

Puas dengan sisi kirinya, Sara menolehkan kepalanya ke kanan.

Astaghfirullahaladziim, kaget aku! Sejak kapan dia di sana?

Betapa terkejutnya dia saat melihat ada seorang pria dengan kacamata hitam, sedang duduk di samping tempatnya duduk. Sara di bangkunya sendiri, orang itu ... di atas kursi rodanya sendiri.

Sara memandangi pria itu lekat-lekat, menyusuri perlahan dari atas kepala hingga turun ke bawah kakinya.

Pria itu terus menatap lurus ke arah depan, tanpa menoleh ke kanan atau pun ke kiri.

Pelan-pelan dilambaikan tangannya di hadapan pria itu, ke kanan lalu ke kiri, berulang-ulang. Pria itu tetap diam dan tidak memberikan reaksi apapun.

Dari pengamatan Sara akan kacamata hitam yang dikenakan pria itu, sedangkan cuaca siang ini cukup teduh dengan awan putih yang lebat di atas sana, Sara berkesimpulan, tuna netra?

Sara memberanikan diri menyapanya, “Mas, mau roti?”

Roti yang dia tawarkan menggantung begitu saja di hadapan pria itu tanpa ada tanggapan sedikit pun darinya. Kening Sara berkerut.

Tidur, kah?

Tak lama kemudian, datanglah seorang anak perempuan 8 tahun menawarkan 2 bungkus tissue pada pria itu. Pria itu bergeming, tidak menjawab apapun.

Sara pun membantu memanggilkan, “Mas ...”

Tetap diam.

Tuna rungu, kah?

Kasihan dengan anak itu yang menunggu dengan penuh harap, melihat dandanan pria itu yang terbilang cukup rapi dengan setelan kemeja tosca dan celana hitamnya, mengira mungkin mau mengeluarkan sedikit uang untuk dagangannya, Sara akhirnya berinisiatif memanggil anak itu, dan memberinya uang untuk ditukarkan dengan 2 tissue di tangannya.

Kasihan ...

Selepas anak itu pergi, Sara menghela napasnya.

“Mungkin enak juga kayak Mas. Jadi nggak perlu dengerin omongan yang nggak penting,” katanya seakan-akan sedang berbicara dengan pria itu. Tapi pria yang diajak bicara, ya masih tetap sama, tidak merespon apapun.

Drrtt ... ddrrtt ...

Kali ini alarm ponsel mengingatkannya untuk kembali bekerja, karena jam istirahatnya yang sudah habis. Sara kembali menghela napas seakan-akan sedang mempersiapkan hati dan pikirannya sendiri.

“Ayo, Sara. Semangat!,” katanya lantang menyemangati dirinya sendiri, lalu berdiri.

Sebelum pergi, dia masih memandangi pria itu lagi. Lalu, pandangannya beralih pada 2 bungkus roti lainnya yang dia bawa dan tidak sempat dia makan.

Ah, ya sudahlah.

Sara kemudian mendekati pria itu, lalu menekuk kedua lututnya agar dia bisa duduk dengan bertumpu pada kedua telapak kakinya. Kemudian, dia meletakkan 2 bungkus rotinya di pangkuan pria itu bersama dengan sebungkus tissue yang tadi dia beli. Kali ini pria itu bereaksi kaget pada sentuhan Sara yang tiba-tiba itu.

Dengan meraih tangan kanan pria itu agar menggenggam tangan kanan Sara, begitu juga dengan tangan kiri pria itu dengan tangan kirinya, Sara mulai menggerakkan tangannya perlahan dengan diikuti oleh tangan pria itu yang masih menggenggam tangannya.

“Ini ada roti. Dimakan, ya. Tissuenya simpan saja.”

Begitu katanya dengan gerakan isyarat taktil yang dia kuasai.

Dia lalu meraih tangan kanan pria itu untuk dipapah menyentuh barang-barang yang dimaksud.

“Ini roti,” kata Sara dalam gerakan isyaratnya.

Kemudian, “Ini tissue.”

Lalu, dia pergi setelah selesai menjelaskan.

Dengan perasaan yang lebih baik, Sara berharap sisa harinya tidak lebih buruk daripada tadi.

Tapi, harapan tidak selamanya bisa sesuai dengan ekspektasi.

“Benar dengan Nona Ashara Revalina, kan?”

Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Tolong jangan bilang dia debt collector.

......................

Author’s Note :

- Isyarat Taktil atau Tactile Sign adalah kombinasi isyarat tunarungu dan tunanetra. Isyarat ini dilakukan dengan meletakkan tangan penerima di atas tangan pembicara untuk bisa merasakan dan membaca gerakannya melalui tangan si pembicara. (Sumber gambar di bawah diambil dari Google)

- Tuna netra adalah kondisi seseorang dimana memiliki hambatan pada indera penglihatannya.

- Tuna rungu adalah kondisi seseorang dimana memiliki hambatan pada indera pendengarannya.

Part 3 : Menikah?

[Sara]

Sara baru saja keluar dari gedung perkantorannya. Dia berniat menuju halte bis terdekat dari kantornya untuk menuju rumah sakit saat seorang pria tiba-tiba saja datang mendekati dirinya.

“Benar dengan Nona Ashara Revalina, kan?”

DEG!

Ya Allah, cobaan apa lagi ini? Tolong jangan bilang dia debt collector.

Sara melihat sekelilingnya yang masih banyak orang keluar masuk gedung. Jelas dia tidak mau jadi pusat perhatian karena masalah seperti ini.

“Sepertinya yang itu,” tunjuk Sara ke arah yang berlawanan dengannya, diikuti oleh pria yang menuruti arah tunjuknya.

Kesempatan!

Dengan langkah cepat, dia berlari meninggalkan pria itu yang masih belum sadar bahwa dia tadi tidak sedang menunjuk apa-apa.

“Nona Ashara ...”

Gawat!

Sara semakin mempercepat larinya. Pria itu saat ini sedang berlari mengejarnya. Kalau Sara tidak cepat berlari, tentu bukan hal yang sulit bagi pria itu untuk dapat menyusul lalu menangkapnya.

Masalahnya, sepatu yang dikenakan Sara bukan sepatu lari. Bisa secepat apa Sara berlari?

Tapi, Sara tak peduli. Dia tahu, cepat atau lambat, dia pasti akan tertangkap. Jadi, misinya saat ini adalah pergi ke tempat yang cukup sepi, yang jauh dari jangkauan pandangan teman-teman kantornya.

Dan, GREP!

Sebuah tangan seketika sudah mencengkeram bahunya tepat di saat Sara berhasil menyukseskan misinya.

“Nona Ashara Revalina,” kata pria itu lagi dengan napasnya yang sudah terengah-engah.

Sara langsung berbalik menghadap pria itu, dan mulai memohon, “Saya mohon, tolong beri saya waktu, ya. Tolong jangan buat keributan di tempat kerja saya.”

Bayangan di kepalanya terus memainkan adegan yang biasanya dia lihat dalam konten-konten di media sosial. Ketakutannya hampir sama dengan yang digambarkan oleh orang-orang yang menulis di media sosial. Sara dibuat tidak berdaya dengan rasa takutnya itu.

Tapi, pria itu tersenyum. Lalu mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya. Kartu nama dengan logo huruf NFC yang dilingkari lengkungan warna emas.

Sara melongo melihatnya.

“Nama saya Raka. Tugas saya ke mari untuk membawa Nona menemui Tuan saya.”

Buruk. Lebih buruk malah. Siapa Tuannya?

“Tuan Tirtagama Wiryasurya ingin bertemu dengan Nona.”

Saat pria bernama Raka itu membalikkan kartu nama yang dipegangnya, nama yang baru saja disebutkan tertulis dengan jelas di atasnya.

Sara semakin melongo memandangi Raka yang masih tersenyum padanya. Dia yang tadinya khawatir akan menanggung malu karena ditagih di depan umum, kini hanya peduli dengan nama yang tertulis dalam kartu nama itu.

Siapa Tirtagama Wiryasurya????

......................

Dengan berbekal kuota internet, yang Sara lakukan selanjutnya adalah mencari tahu apa itu NFC – seperti yang tertulis pada logo itu – selama perjalanannya ke tempat yang hanya Raka dan Tuhan saja yang tahu. Di dalam mobil, Sara menyembunyikan layar ponselnya dari Raka yang sedang mengendarai mobil. Menghindari Raka untuk tahu apa yang sedang dilakukannya.

Dan yang didapatnya adalah Next Future Corp (NFC) adalah perusahaan yang cukup lama berkutat di bidang teknologi komputer dan semua hal yang berbasis teknologi masa depan, sesuai namanya. Dan Tirtagama Wirasurya adalah pemimpinnya. Sosok pria cerdas 32 tahun yang sering menciptakan teknologi luar biasa selama beberapa tahun terakhir ini.

Sebut saja, Selene 4.1. Prosessor super cepat yang sudah diakui oleh para ilmuwan Jepang. Bahkan dikatakan lebih cepat dari buatan mereka. Tidak cukup sampai disitu, dia bahkan menyumbangkan hasil penemuannya itu untuk sebuah penelitian medis.

NFC juga pernah menyumbangkan ribuan robot perawat terbarunya untuk 500 rumah sakit di Indonesia. Robot yang berani dibayar mahal oleh rumah sakit di Jerman itu dianggap sebagai robot perawat terbaik yang pernah ada.

Jika bicara tentang teknologi, semua orang pasti akan membicarakan NFC dan seorang pria bernama Tirtagama Wiryasurya.

Jadi sekarang, mengapa dewa teknologi itu ingin menemui Sara? Apa yang dia inginkan dari seorang gadis yang bahkan mungkin hanya dianggap butiran debu oleh masyarakat?

“Tolong tunggu di sini sebentar, ya. Tuan akan segera menemui Nona,” kata Raka lagi saat mempersilahkan Sara untuk duduk di sebuah sofa, lalu pergi meninggalkan Sara yang menyisiri ruangan itu dengan pandangan takjubnya.

Rumah besar yang dipenuhi dengan perabotan mewah dan tidak jauh dari kata teknologi.

Cukup sepi untuk sebuah rumah seluas ini.

Pandangan Sara terhenti pada tanjakan miring dan melingkar yang mengarah ke lantai atas. Letaknya yang berdekatan dengan tangga normal di sampingnya, membuat Sara jadi kepikiran sesuatu.

Apakah itu juga tangga? Tapi untuk apa tangga seperti itu? Aneh.

Jawabannya langsung dilihat Sara, saat seorang pria menuruni tangga itu. Pria dengan kursi rodanya bergerak turun dengan diikuti Raka di belakangnya. Sara yakin dia lah Tirtagama Wiryasurya yang membuatnya penasaran beberapa saat lalu.

Semakin lama, semakin mendekat, otak di kepala Sara mulai bekerja mengingat sesuatu.

Kursi roda, pria dengan setelan rapi, rambut tersisir rapi ke belakang, dimana dia pernah melihat pria ini?

“Perkenalkan, Nona. Beliau adalah Tuan Tirtagama Wiryasurya,” kata Raka memperkenalkan pria berkursi roda begitu mereka sudah berada di posisi yang tepat di hadapan Sara.

Sara memandangi pria yang disebut adalah Tuan Tirtagama Wiryasurya itu. Meski mereka saling berhadapan, tapi tatapan matanya tidak mengarah lurus pada Sara.

Tunggu!

Tanpa disadarinya, Sara langsung meloncat bangkit dari tempatnya duduk. “Ah! Pria di taman!,” serunya.

Senyuman Raka seakan menjelaskan semuanya. Sara menelan salivanya dengan kasar sebelum akhirnya kembali duduk.

“Baguslah kalau kamu sudah ingat,” kata Tuan Tirtagama pada akhirnya setelah sedari tadi Sara hanya mendengar Raka saja yang berbicara.

Lho? Kok?

“Bukankah waktu di taman dia ...” Sara berbicara dengan Raka sembari memutari telinganya sendiri dengan jari telunjuknya. Dia terkejut karena Tuan Tirtagama bisa menimpali kata-katanya dengan mudah. Karena sejak di taman itu, Sara mengira dia tuna rungu.

“Tuan menggunakan alat bantu dengar. Saat di taman, Tuan memang sengaja tidak mengatakan apapun.” Dan dilanjutkan dengan senyum yang tertahan.

Sara merasakan wajahnya merasakan panas yang luar biasa saat mengingat perilakunya yang kini dia sadari itu sungguh memalukan itu.

“Aku akan langsung saja,” Tuan Tirtagama itu kembali berkata.

Dan Raka bergerak maju meletakkan beberapa lembar kertas dengan deretan paragraf di dalamnya dalam sebuah map bening di atas meja yang ada di hadapan Sara.

“Aku menawarimu sebuah perjanjian kerjasama.”

Apa yang diinginkan pria itu darinya?

“Aku butuh kamu untuk menghadapi ibuku.”

Permintaan yang aneh ...

“Tugasmu adalah melindungiku dari ibuku agar tidak mendekatiku atau memberikanku apapun itu dari tangannya.”

Dan semakin aneh ...

“Sebagai gantinya, aku akan membiayai semua pengobatan ibumu, termasuk memasukkan ibumu ke dalam daftar eksklusif penerima donor ginjal.”

Ekslusif. Donor ginjal.

“Begitu juga dengan semua hutang-hutangmu, aku akan selesaikan semuanya.”

Hutang. Semua.

“Asalkan kamu menikah denganku.”

Menikah? Dengannya?

Seketika itu juga, Sara menjadi sangat gugup hingga membuat tangannya gemetar. Untuk menyembunyikannya, Sara meraih map yang baru diletakkan Raka tadi, lalu dibukanya lembar per lembar.

“K-kenapa saya harus menikah dengan Tuan?,” tanya Sara yang jelas terdengar cemas dan khawatir. Lembar-lembar yang dia buka tidak ada satupun yang dia pahami.

“Karena kamu akan menggunakan hak kamu sebagai istri untuk melawan ibuku. Kamu bebas marah, kamu bebas beralasan apapun itu, kamu bebas melakukan apapun asalkan dia tidak dekat-dekat denganku. Dan aku, dalam situasi apapun yang melibatkan ibuku itu, akan selalu membelamu dan menuruti semua perintahmu.”

“T-tapi kenapa harus dijauhi?,” tanya Sara lagi.

Tapi, pria itu hanya diam. Dia tidak menanggapi apapun. Sara pun tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Kini suasana di ruangan itu begitu hening tanpa ada satupun dari mereka yang mulai bicara.

Sara mengusap keringat dinginnya yang baru saja meluncur turun dari keningnya, memandangi pria itu lekat-lekat. Tanpa kacamata hitam di wajahnya, pria itu terlihat berbeda saat dia melihatnya pertama kali di taman, tapi masih dengan aura yang sama, aura penuh ketegasan dan kecerdasan yang mendominasi. Dia memang seperti yang diberitakan.

“S-saya tidak tahu h-harus menjawab apa.” Sara akhirnya memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu. Setidaknya seseorang harus mengakhiri keheningan ini.

“Tuan memberikan Nona waktu untuk berpikir. Tapi keputusan harus dibuat hari ini,” jelas Raka menggantikan tuannya menjelaskan semuanya.

Tapi ... Sara bukan tidak memikirkan tawaran itu. Pengobatan Ibu jelas adalah yang membuatnya paling sulit menolak tawaran itu. Hanya saja ... menikahinya?

Ayolah, Sara ... Apa yang kamu khawatirkan? Kamu bahkan sudah putus dari Mas Vian. Kamu tidak sedang mengkhianati siapa-siapa. Kalian sudah bukan lagi sepasang kekasih, batinnya yang mendukung tawaran itu sedang berbicara.

Tapi ... kamu masih berharap Mas Vian berubah pikiran. Kamu masih ingin berbicara dengannya. Mencari jalan keluar untuk permasalahan kalian. Kalau kamu setuju menikah dengannya, kamu tidak akan bisa lagi melakukan itu, batinnya yang lain yang menolak tawaran itu kini menimpalinya.

Dan sekarang keduanya sedang berdebat untuk memenangkan hati Sara.

“2 tahun,” kata Tirtagama di tengah-tengah dua kubu batin Sara yang sedang bertarung. “Hanya untuk 2 tahun. Setelah itu, kita akan bercerai.”

2 tahun, dan kamu bebas, Sara. Entah suara batinnya yang mana itu. Sara kini tidak bisa membedakannya.

“A-apakah Tuan benar-benar akan membiayai pengobatan ibu saya?,” tanya Sara memastikan lagi tawaran Tuan Tirtagama itu, menyakinkan dirinya untuk tidak menyesali keputusannya itu.

“Tuan akan memberikan fasilitas kesehatan nomor satu untuk ibu Nona Sara. Setiap saat akan ada supir yang akan mengantarkan ibu Nona ke rumah sakit. Dan juga seorang perawat yang akan menemani ibu Nona setiap saat. Dokter yang ...”

“Tunggu, tunggu ....,” Sara memotong penjelasan Raka. “P-perawat? S-setiap saat? Maksudnya ...?”

“Kita akan menjadi suami istri. Sudah jelas kamu akan tinggal di sini, di rumahku. Dan ibumu jelas tidak mungkin tinggal di sini. Atau kamu ingin ibumu juga tahu kalau kita berpura-pura? Karena jika iya, itu artinya kita akan tinggal sekamar. Karena itu ...”

“O-oke, oke, saya mengerti ...” Kepanikan Sara jelas membuat jantungnya berdegup tidak beraturan. Bahkan saat Tuan Tirtagama itu menjelaskan maksudnya, pikiran Sara semakin berantakan. Tinggal bersama orang asing, sungguh sesuatu yang tidak bisa dibayangkan saat ini.

“Dan satu lagi. Kamu akan berhenti kerja.”

Sara kembali dikejutkan dengan pernyataan Tuan Tirtagama yang terakhir. “B-berhenti kerja?”

“Begitu kamu menyetujuinya, aku tidak peduli bagaimana kamu melakukannya. Aku ingin kamu resign secepatnya dari tempat kerjamu,” lanjut Tuan Tirtagama dengan penjelasan yang sama sekali tidak jelas bagi Sara.

“Setelah itu, kamu akan bekerja denganku, dan kamu akan mendapatkan gaji dari itu.”

Apa yang harus aku lakukan sekarang, ya Allah?

......................

Author’s Note (QnA) :

Q : Bukannya tuli itu juga berarti bisu, ya?

A : Anak yang terlahir Tuli seringkali memiliki kesulitan saat berbicara. Karena fungsi pendengarannya yang tidak baik, anak Tuli kadang tidak dapat melafalkan beberapa huruf sebaik anak yang memiliki pendengaran normal. Ini yang menyebabkan anak menjadi kesulitan berbicara dimana kondisi ini sering diartikan sebagai Bisu. Jika sudah demikian, bahasa isyarat adalah solusi anak dalam berkomunikasi. Atau mulai memasangkan alat bantu dengar pada usia anak mulai belajar berkomunikasi agar dapat belajar mengenal suara sejak dini.

Berbeda dengan anak yang dilahirkan normal, lalu hingga di usia tertentu (terutama saat anak sudah mengenal suara dan beberapa kata), telinganya mengalami kerusakan hingga menjadikannya Tuli, anak tersebut tetap bisa berbicara secara normal. Dengan bantuan alat bantu dengar (tergantung kondisi ketulian masing-masing anak), anak tersebut masih bisa berkomunikasi secara normal meski tanpa bahasa isyarat. Karena sebelumnya anak sudah bisa berkomunikasi, dan ketuliannya tidak akan mempengaruhi ingatannya dalam berkomunikasi, kecuali jika terjadi sesuatu yang menyebabkan komplikasi.

Informasi lebih lanjut dapat dibaca di sini : https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/penyakit-pada-anak/anak-tuli-sudah-pasti-bisu/

https://rsud.tulungagung.go.id/bayi-lahir-bisu-dan-tuli-bisakah-disembuhkan/\#:~:text\=Bisu%20dan%20tuli%20disebut%20dengan,%2C%20mulut%2C%20lidah%20dan%20lainnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!