[Agam]
Agam mendengar sesuatu melalui alat bantu dengarnya. Sesuatu yang ringan tapi tipis, bertumpuk tapi tidak banyak, seperti selembar kertas yang ditumpuk di atas lembaran kertas lainnya. Surat kerjasama itu kah?
“Raka?,” tebak Agam.
“Wah, hebat! Kemampuan SH 3.2 semakin luar biasa. Suara sekecil itu bisa terdengar.”
Raka memang paling luwes kalau urusan memuji orang.
Tapi memang alat bantu dengar yang dibuat oleh Agam sendiri itu memang setiap waktu diupgrade agar bisa menangkap suara sekecil apapun. Menjadi buta artinya telinga juga harus selalu waspada, atau ... seseorang akan menusukmu dari belakang.
“Sudah diantar pulang?,” tanya Agam dari balik meja kerjanya.
“Sudah, sudah, tapi tadi katanya dia mampir ke toko kue sebentar untuk beli donat. Sesudah itu, supir mengantarkan sampai ke rumah sakit,” kata Raka memberikan laporannya, seperti biasa.
Agam memainkan jemarinya saat kepalanya mengingat semua pembicaraan dirinya dan gadis itu. Gadis yang bernama Ashara itu.
#****flashback_on****#
“Saya ingin ada tambahan dalam perjanjian ini,” kata Ashara beberapa saat setelah dia terdiam membaca isi perjanjian itu.
“Apa yang kamu inginkan?”
“Tidak ada kontak fisik berlebihan selama jauh dari pandangan orang-orang. Saya tidak keberatan jika harus berakting untuk menyakinkan semua orang, tapi di belakang itu seharusnya sudah tidak perlu lagi, kan?”
“Dan itu juga artinya, tidak ada hubungan seksual.” Gadis itu menutup penjelasannya dengan sebuah pernyataan yang cukup membuatnya terkejut, Raka pun demikian. Karena dia sempat mendengar suara batuknya yang tertahan.
Gadis yang pemberani.
Agam mengangkat lengannya, memberikan tanda pada Raka yang ada di sampingnya untuk melakukan apa yang diinginkannya.
“Baik, Tuan,” jawab Raka singkat. Dia tahu apa yang harus dilakukannya.
“Hanya itu,” tutup Ashara.
“Dan jangan lupa,” sambung Agam. “Kalau kamu melanggar perjanjian ini, aku akan membatalkan semua pengobatan ibumu. Dan kamu harus membayar ganti ruginya sepuluh kali lipat.”
“Aku mengerti.”
#****flashback_off****#
“Tapi Nona Ashara cantik, kok. Pasti akan terlihat serasi dengan Tuan,” kata Raka membuyarkan lamunannya. Dia terdengar sangat bersemangat.
Jelas saja Raka bersemangat, menikah adalah ide besarnya.
Agar Agam bisa kembali ke Indonesia dengan aman, dia perlu menikah.
Seorang istri berhak mengatur hidup suaminya, begitu kata Raka ketika menjelaskan rencananya itu dengan berapi-api.
Agam ingin menolaknya, tapi yang disampaikan Raka juga tidak salah.
Agam punya alasan mengapa memilih Ashara sebagai istri pura-puranya. Agam sudah menyelidikinya sebelum dia memutuskan. Gadis itu adalah paket lengkap.
Ashara punya kemampuan yang dibutuhkan Agam. Dia juga pernah berhadapan dengan penyandang disabilitas seperti Agam. Jadi jelas, dia pasti tahu harus bagaimana jika berhadapan dengan orang seperti Agam.
Tapi yang paling utama adalah Ashara tidak akan pernah mengkhianatinya. Karena Agam sudah memegang kelemahannya, yaitu ibunya. Gadis itu pasti tidak ingin terjadi sesuatu pada ibunya. Karena baginya, pengobatan ibunya yang terutama.
Agam yakin, Ashara adalah pilihan yang tepat untuk rencananya itu.
Bukan. Bukan Ashara ... tapi Sara.
#flashback_on#
“Jadi ... aku harus memanggil apa setelah ini?,” tanya gadis itu sebelum dia akan pergi. Caranya bicara sudah tidak lagi sekaku tadi. Dia sudah menggunakan kata ‘aku’ dan ‘kamu’ pada pembicaraan mereka berdua.
“Aku harus punya nama panggilan agar semua orang bisa melihat kita sedang jatuh cinta.”
Dia benar. Orang menikah pasti punya panggilan sayang.
“Terserah kamu. Mereka biasanya memanggilku Agam,” jawabnya.
Hening. Tidak ada tanggapan. Apakah dia sedang tertawa?
“Mas Agam ... aku akan memanggil dengan Mas Agam.”
Hhmm ... tidak buruk.
“Sara,” lanjut gadis itu lagi. “Panggilanku Sara. Sisanya terserah kamu.”
Sara ...
“Kalau gitu, aku pulang dulu,” pamit Sara.
Tapi kemudian, Agam teringat sesuatu.
“Tunggu ... kamu ingin pernikahan seperti apa? Meski ini hanya pura-pura, tapi aku akan mengabulkannya sesuai yang kamu inginkan.”
Benar. Dia terpaksa berada dalam situasi seperti ini. Setidaknya, untuk yang itu, dia berhak memilih.
“Akad nikah sudah cukup. Toh 2 tahun lagi kita akan bercerai,” jawabnya.
Singkat. Tapi cukup menjelaskan.
“Dan, aku minta tolong, agar memintaku secara resmi pada ibuku. Aku yakin dia akan memberikan restunya. Tidak perlu lamaran yang mewah, hanya ... temui saja ibuku, dan meminta dengan baik-baik. Meski bukan hal yang mewah, aku ingin ibuku tetap dihormati oleh menantunya. Apakah bisa?”
“Oke. Aku akan melakukannya.”
#flashback_off#
Agam meraba bagian pegangan kursi rodanya, menekan-nekan layar yang menyala pada pegangan kursi roda hingga kursi roda itu bergerak sendiri mendekati Raka yang sedang berdiri di depan meja kerjanya.
“Siapkan saja semuanya. Berikan yang terbaik. Aku hanya bisa memberikan itu sebagai rasa terima kasihku padanya karena mau menyetujui perjanjian ini,” katanya memberikan perintah pada Raka.
“Siap, Tuan. Segera laksanakan,” jawabnya sumringah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments