[Sara]
Percakapannya dengan Agam kemarin sore masih saja membekas di ingatannya hingga keesokkan paginya. Dia masih sulit untuk mempercayai kalau Agam mengatakan itu padanya, setelah pria itu pergi begitu saja waktu itu. Apa yang membuat Agam tiba-tiba berubah pikiran?
Yang paling aneh adalah saat Agam secara tidak langsung mengatakan kalau dia tahu Sara lah yang ada di kamarnya semalam itu. Rasanya seperti tikus yang dijebak masuk ke dalam perangkap yang sudah disiapkan.
“Tahu gitu kemarin tidak perlu mengendap-endap segala. Pakai acara takut ketahuan”, gerutu Sara saat sedang mengerjakan pekerjaannya di ruang kerja. “Mana kaki sakit kena buku tebel gitu.”
Untung saja, sejauh ini, semua pekerjaannya masih aman. Belum ditemukan kesalahan. Karena Sara mengeceknya berkali-kali.
Kalau salah bisa bahaya ini nanti. Lebih bahaya dari supervisornya yang dulu.
Meski belum pernah Sara dimarahi karena pekerjaannya, tapi melihat kemarahan Agam kemarin di dapur, rasanya kurang lebih sama.
Tapi, permintaan Agam yang paling tidak bisa dia lupakan.
“Lain kali, jangan mendekat saat aku sedang tidak stabil.”
Itu terdengar mudah. Tapi ketika kemarin Sara mendengar rintihan Agam, melihat secara langsung kondisi Agam yang rapuh, bukan hal yang mudah bagi Sara untuk pergi begitu saja, meskipun waktu itu, ada banyak kesempatan bagi Sara untuk keluar dari kamar itu. Dan itu kesulitannya. Hatinya.
Dia bukan tipe orang yang bisa begitu saja meninggalkan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Melihat Agam yang seperti, meskipun Agam sendiri yang memintanya, bisakah dia pergi begitu saja tanpa peduli dengan apa yang terjadi pada Agam?
Sara tidak tahu. Tapi lebih baik untuk tidak membantah Agam saat ini. Lebih baik mengiyakan saja permintaannya. Meski rasa kasihan mendominasi, tapi masih ada rasa takut melihat Agam menjadi seperti kemarin.
“Ah, maaf, maaf. Iya, aku mendengarnya. Akan kulakukan.”
Meski demikian, sikap Agam terhadap Widia masih tetap sama. Tidak ada yang berubah. Widia masih sering mengantarkan makanan, dan Agam tetap tidak mau memakannya. Mbok Jami sepertinya juga sudah mulai terbiasa dengan perintah Agam yang aneh itu.
Yang paling baru adalah saat Widia meminta supirnya untuk mengirimkan syal-syal yang baru dibelinya untuk Agam dan Sara. Begitu tahu dari Widia, Agam langsung memerintahkan untuk dibakar.
Pakaian juga? Padahal bukan untuk dimakan.
“Pokoknya jangan disimpan. Bakar saja!,” bentak Agam memberi perintah untuknya dan juga Mbok Jami.
Tidak ada yang bisa Sara lakukan kalau sudah begitu, selain mengomel.
“Kemarin makanan, sekarang baju, besok mungkin satu rumah ini disuruh bakar juga,” gerutu Sara sepelan mungkin hingga hanya dia sendiri yang dapat mendengarnya. Karena Agam sedang berada di dekatnya.
“Apa kamu bilang?!” Suara menggelegar Agam hampir membuat jantung Sara melompat keluar.
Sara yang sedang bersembunyi di belakang Agam sambil membicarakannya jelas belum siap mendapatkan serangan seperti itu dari Agam.
“Apa? Siapa? Aku nggak bilang apa-apa. Angin kayaknya. Coba aku tutup jendelanya,” kilah Sara yang jelas saja sedang beralasan.
“Heran, itu alat bantu dengarnya setajam apa sih? Kenapa bisa sampai kedengaran?,” batin Sara menggerutu.
Agam pun terdiam. Sara tersenyum penuh kemenangan, tapi menghela napas kelegaannya karena baru saja terhindar dari maut.
Bukan tanpa alasan Sara menjadi seperti itu. Sara sudah mulai jengah dengan semua sikap Agam terhadap Widia, ibunya. Semua penolakan dan sikap kasar Agam sangat berbanding terbalik saat dia meminta maaf kemarin.
Jika memang dia menyesal tentang kemarin, bukankah seharusnya dia juga menyesal tentang ibunya?, gerutu Sara yang kini hanya cukup dalam hatinya saja.
Ingat, Sara. Agam punya trauma di masa lalunya hingga membuatnya seperti ini, bagian hatinya yang lain sedang menasehati Sara, yang mana Sara yakin itu pasti bagian dari hatinya yang merasa kasihan pada Agam.
Ya, tapi kan dia bisa bilang gitu ada apa sebenarnya? Kenapa harus seperti ini. Sungguh aku benar-benar nggak sanggup setiap kali harus melihat wajah kecewa Mama Widia, timpal Sara yang masih terus berperang dalam hatinya.
Bagaimana dia sanggup melakukan itu? Melihat ibunya saja yang kesakitan, air matanya sudah deras mengalir. Dan ini ...
Ya Allah, kalau bukan karena ingat perjanjian itu ingin rasanya disudahi saja.
Dan puncak dari semua itu adalah hari ini. Ketika Mama Widia datang lagi berkunjung. Dengan banyak makanan dan barang-barang untuk Agam dan Sara, tentunya.
“Ini Mama ada bawain banyak makanan. Simpan saja di kulkas. Bisa disimpan agak lama kok. Mama pakai vacuum sealer. Jadi bisa awet.”
“Terus ini ada Mama belikan ...”
Sementara Widia masih sibuk terus menjelaskan dengan Mbok Jami yang ada di sampingnya sedang membantu nyonya majikannya membongkar isi keranjang besar yang tidak tahu apa saja isinya, Sara di belakang Widia sedang sibuk ‘mendengarkan’ celoteh Agam melalui telapak tangannya.
“Cepat suruh Mama pulang.”
“Pokoknya jangan ... bla bla bla ... “
Begitu terus yang dikatakan Agam padanya.
Tapi Sara hanya berfokus pada banyaknya bawaan Widia yang dikeluarkan dari keranjang besarnya. Belum termasuk barang lainnya yang masih belum dibongkar. Membuat Sara mengeluh dalam hatinya, berapa banyak barang lagi yang harus dibuang, ya Allah?
“Coba ini incip sedikit, Agam. Mama tadi mampir mall beli Laberge Choco Pudding, langganannya Agam dulu. Coba ah ...”
Sara tahu pudding itu. Dia pernah membaca salah satu artikel yang mengulasnya. Pudding mahal seharga jutaan itu kini sedang ditolak Agam.
Ya Allah, pasti dibuang lagi ...
Sara semakin tidak tahan lagi.
“Ma ...,” panggil Sara yang sekarang sedang menahan pergelangan tangan Widia yang bertugas menyodorkan sesendok puding untuk Agam.
“Sara minta maaf. Tapi ...,” kata Sara melanjutkan kalimatnya, membuat Widia berpaling dari Agam dan menghadap Sara sepenuhnya. “... bisakah lain kali Mama tidak perlu membawa barang-barang atau makanan banyak-banyak seperti ini lagi?”
Widia terlihat cukup terkejut. Perlahan, dia meletakkan pudding yang sedari tadi dipegangnya di atas meja makan. Sedangkan Agam, Sara bisa melihat senyum tipisnya.
“Maksud Sara, Mama bisa kesini kapan saja yang Mama mau, tapi tidak perlu bawa makanan atau barang apa saja. Tidak perlu titip ke supir. Mama cukup datang saja,” kata Sara lagi memperjelas kata-katanya yang barusan, terutama setelah dia melihat raut wajah ibu mertuanya itu yang memperlihatkan keterkejutannya. Sara buru-buru memperbaiki kalimatnya agar tidak salah maksud.
“M-mama minta maaf kalau apa yang Mama lakukan ini justru membuat kamu tidak nyaman,” kata Widia yang akhirnya buka suara, meskipun terdengar agak gugup.
Bukan saya, Ma. Tapi Mas Agam ...
“T-tapi Mama melakukan ini karena Mama khawatir sama Agam,” lanjut Widia lagi.
“Sara mengerti, Ma. Mama jangan khawatir. Ada Sara sekarang ...”
Tepat di kalimat terakhir yang diucapkan Sara itu, Widia memandangi Sara dengan tatapan memelasnya.
Hati Sara langsung terasa berat karena ditumpuk rasa bersalah dan penyesalannya. Kedua alis matanya menurun melihat Widia memandanginya dengan tatapan seperti itu. Sara menelan salivanya perlahan.
Maafkan Sara, Ma ...
“Aku hanya akan mendengarkan istriku. Jadi tolong jangan bikin dia marah,” kata Agam mengakhiri suasana sepi di antara mereka.
Mendapat pembelaan dari Agam seperti itu justru tidak membuat Sara senang. Dia malah mendelik tajam ke arah Agam. Tapi begitu perhatian Widia beralih ke Sara, dengan cepat Sara merubah raut wajahnya seakan tak terjadi apa-apa.
“Ya sudah kalau Sara bilang begitu. Mama nggak akan memaksa lagi. Tapi ... “
Widia tiba-tiba sudah menggenggam tangan Sara. Dia kemudian berkata, “... kalau ada apa-apa hubungi Mama, ya?”
Sara tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
Pada akhirnya drama paksa-memaksa berakhir dengan damai, meski Sara sendiri harus menelan perasaan tidak enak hati pada Widia, sang ibu mertua. Tapi, dari obrolan Sara dan mertuanya itu, Sara yakin Widia tidak marah sedikitpun.
Setelah Sara mengantarkan Widia ke mobil saat mertuanya itu akan pulang, dia kembali masuk ke dalam rumah dan mendapati Agam sedang menunggunya di ruang tengah.
“Kerja bagus, Sara. Tetaplah seperti itu sampai Mama berhenti melakukannya,” kata Agam menyambut kedatangan Sara.
Sara yang dipuji justru tidak merasa senang dengan pujian itu.
“Aku hanya menjalankan kewajibanku pada perjanjian itu,” kata Sara menanggapi pernyataan Agam itu. “Pendapatku masih sama. Kamu terlalu kejam, Mas.”
Sara berjalan melewati Agam begitu saja. Tapi, kemudian berhenti pada jarak 3 langkah dari Agam.
“Sekarang aku bisa memahami maksud dari tugasku dalam perjanjian itu,” lanjut Sara lagi. “Kamu hanya ingin menikah dengan seorang istri yang bisa menanggung semua beban dosa-dosamu.”
Lalu, Sara kembali berjalan meninggalkan Agam yang masih tetap diam di tempatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments