[Sara]
Sara terbangun dari tidurnya setelah dia tersentak kaget karena kepalanya yang tiba-tiba terkulai. Meski sulit untuk membuka kedua matanya, tapi Sara paksakan setelah dia melihat jam meja di nakas Agam yang menunjukkan pukul 03.53
Sebentar lagi waktunya sholat shubuh.
Semalaman dia tidur dengan tetap terduduk di tempatnya, sama seperti Agam yang juga tidak berpindah dari posisinya semalam. Untuk beberapa saat Agam masih merintih, dan Sara hanya bisa menatap cemas. Karena tidak ada yang bisa dia lakukan selain itu.
Kemudian, Agam mulai agak tenang. Mungkin juga dia tertidur, karena Agam tidak lagi merintih. Tapi, untuk beberapa kali, Agam terbangun dan merintih lagi. Sara pun tidak berani terlelap pada akhirnya. Setiap Agam merintih, Sara tersentak kaget dan terbangun.
Perlahan Sara bangkit dan menghampiri Agam. Dia berusaha tidak membuat suara apapun yang membuat Agam kaget. Meski Agam tidak mengenakan alat bantu dengarnya, Sara khawatir Agam peka terhadap hal lain, seperti getaran mungkin.
Terkadang kurang dalam satu hal artinya lebih dalam hal lain.
Dilihatnya pria itu kini tidur dengan bersandar pada rak bukunya. Dia tidak lagi menyembunyikan wajahnya seperti semalam. Meski Agam terlihat lelap dalam tidurnya, tapi kerutan pada keningnya memperlihatkan betapa tersiksanya Agam.
Sara memandangi wajah Agam untuk beberapa saat. Tanpa memikirkan apapun. Hanya mengingat kembali yang terjadi semalam.
Apa yang sedang kamu bawa di dalam hatimu, Mas?
Sara kemudian bangkit lagi dan menghampiri tempat tidur Agam, dimana disana terdapat sehelai selimut. Sara mengambilnya, lalu menyelimuti Agam dengan lembut dan perlahan. Dia menghela napas lega saat selimut itu berhasil mendarat di tubuh Agam dan pria itu tidak terganggu karenanya.
Baru setelah itu, Sara pergi meninggalkan kamar itu sembari mengambil barang-barang yang berceceran di lantai. Khawatir akan mengganggu gerak Agam dengan kursi rodanya.
“Akh!”
Saat sedang merapikan rambutnya, dia tidak sengaja menyentuh keningnya yang terluka. Dia baru ingat lukanya itu. Semalam Sara tidak melakukan apapun pada lukanya, dan sekarang cairan merahnya sudah mengering.
Biar kucari obatnya di kotak obat, pikir Sara.
Sekali lagi, sebelum dia benar-benar menutup pintu kamar, Sara memandangi punggung Agam lekat-lekat. Baru setelah itu, Sara pergi ke lantai bawah mencari kotak obat.
......................
“Selamat pagi, Non Sara. Mau sarapan dulu?,” sapa Mbok Jami begitu melihatnya memasuki ruang makan.
“Selamat pagi, Mbok ...”
“Den Raka yo wis teka, Non. Saiki lagi nang ruang kerjane Den Agam. (Den Raka juga sudah datang, Non. Sekarang sedang di ruang kerjanya Den Agam.),” lanjut Mbok Jami lagi.
Ah, pantasan ...
Sara sempat mengintip tadi – seperti biasa –, Agam sudah melewati kamarnya, itu artinya dia pasti turun ke ruang makan untuk sarapan. Tapi, saat Sara sudah ke ruang makan dan tidak ada Agam di sana, Sara cukup heran juga. Dan ternyata itu alasannya.
“Kalau gitu biar saya nunggu mereka saja, Mbok,” jawab Sara seraya membantu Mbok Jami mempersiapkan makanan lain yang belum tersaji.
Tapi ternyata yang ditunggu tidak lama juga datangnya.
Sara yang sedang membawa sebotol susu untuk diletakkan di atas meja, pandangan matanya tidak bisa beralih menatap Agam begitu pria itu masuk bersama Raka.
Dia terlihat baik-baik saja.
Tidak terlihat sisa-sisa yang terjadi semalam. Agam kembali pada sosok yang Sara kenal pertama kali. Dingin, tangguh, dan tanpa ekspresi.
Pengamatan Sara pada Agam akhirnya teralihkan saat Raka tiba-tiba akan mengatakan sesuatu sembari menunjuk dirinya. Sara tahu, perhatian Raka sedang tertuju pada luka di kening yang tadi pagi sudah Sara obati. Padahal Sara sudah menutupinya dengan plester kecil yang selalu dibawa dalam tasnya. Tapi, masih saja menarik perhatian Raka.
Sebelum Raka sempat mengatakannya, Sara langsung menarik jari telunjuk menutupi bibirnya seraya menggelengkan kepalanya perlahan. Sara tidak ingin Raka mengatakan apa pun, terutama saat di depan Agam.
Sarapan pun berjalan seperti biasanya. Sara lebih banyak diam saat menyantap makanannya. Hanya Raka yang paling banyak bicara melaporkan pekerjaannya sembari ikut bergabung sarapan. Dan Agam hanya sesekali menanggapi laporan Raka.
“Ini obat oles untuk lukanya,” kata Raka sembari menyodorkan obat salep luka saat Sara sedang mencuci piring kotor di dapur.
Sara terkejut saat Raka menyodorkannya. Tidak terpikirkan oleh Sara, kalau Raka akan melakukan itu. Lagipula, memangnya dia mengira ini luka apa? Sara bahkan tidak mengatakan apapun tentang luka.
“Apakah terjadi sesuatu kemarin?,” tanya Raka lagi begitu dia menerima obat itu dan mengucapkan terima kasihnya.
Sara tertegun. Haruskah dia menceritakannya? Tapi, meskipun Raka adalah asisten Agam, ada beberapa hal yang tidak Agam ceritakan pada Raka.
“Mbok Jami bilang Tuan Agam menampar Nyonya kemarin,” lanjut Raka yang masih belum selesai mencari tahu.
“Oh itu ... Itu saya yang salah. Saya yang seharusnya ingat kalau Mas Agam punya emosi yang tidak stabil di kondisi tertentu. Kemarin seharusnya saya tidak memaksa waktu Mas Agam bilang tidak boleh,” jelas Sara berkilah.
Bukan juga kebohongan. Memang seperti itu kejadiannya. Sara hanya memilih menyimpan sendiri untuk kejadian semalam.
Sara meletakkan piring terakhirnya di rak piring basah untuk mengeringkannya sebentar. Lalu, menghadap Raka sepenuhnya.
“Soal Mas Agam dan Mama Widia ... Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Apa Mas Agam benar-benar tidak pernah cerita sekalipun?”
Raka menggelengkan kepalanya. Raut wajahnya kini menunjukkan keseriusannya. Tanpa senyum seperti biasanya. “Tuan tidak pernah bercerita soal ini.”
Tapi, Sara tidak melihat alasan Raka untuk berbohong, terutama di saat pria jangkung itu mengkhawatirkan keadaan luka Sara. Dia yakin Raka benar-benar tidak tahu tentang masalah ini.
Meski demikian, jelas ada sesuatu.
Tapi, usaha Sara tidak berhenti begitu saja. Selepas makan siang, Sara mencoba lagi.
“Mbok udah lama ya kerja di keluarganya Mas Agam?,” tanya Sara seraya memasukkan baju-baju kotor yang akan dicuci.
Membantu pekerjaan Mbok Jami adalah cara terbaik untuk bisa ngobrol dengan Mbok Jami. Meski berkali-kali Mbok Jami melarangnya, tapi Sara tidak menggubrisnya. Sedikit bertanya, lalu diselingi bercanda, Sara yakin topik utamanya bisa dengan mudah disusupi.
“Wah, yo suwi, Non. Wis ... (Wah, ya lama, Non. Sudah ...)” Mbok Jami berhenti menyetrika lalu mulai menghitung. “... 35 tahun, Non.”
“Wah, lama ya ternyata ...,” sahut Sara menimpali.
“Jamannya Tuan sama Nyonya mamanya Den Agam belum nikah, masih pacaran, sudah ikut oma opanya Den Agam. Anu, ... orang tuanya Tuan.”
“Pantesan Mas Agam pengen Mbok ikut terus. Sampai dibawa ke sini,” kata Sara lagi setengah menggoda yang dibalas Mbok Jami dengan senyum tersipunya.
Dan Mbok Jami dengan lancar menceritakan semuanya.
“Dulu waktu mamanya Den Agam meninggal, Den Agam sedddiihh terus. Sama Tuan jadi jarang ngobrol. Padahal waktu Nyonya masih hidup, Nyonya justru yang jarang di rumah. Kebanyakan main sama saya, Non.”
Sara yang sedang menunggu mesin cuci mengerjakan tugasnya, kini membantu Mbok Jami menyusun pakaian yang sudah tersetrika.
“Terus tahu-tahu Tuan bawa wanita cantik ke rumah. Ya Nyonya yang sekarang itu. Katanya nanti yang jadi mama barunya Den Agam. Ternyata beneran.”
“Tapi, Den Agam ndak suka awalnya. Ya biasalah lah, Non. Anak-anak. Untung Nyonya baaiikk sama Den Agam. Sabar orangnya. Perhatian. Lama-kelamaan jadi akur, Non. Kemana-mana bareng. Main bareng. Belajar bareng. Sampai adiknya Den Agam lahir juga Nyonya masih sayang. Pokoknya ndak beda-bedain gitu, Non. Mana anak tiri, mana anak kandung. Sayang semua.”
Sara bangkit dari tempatnya duduk begitu mesin cuci sudah memberikan tanda selesai dicuci. Kini Sara sibuk memindahkan pakaian itu ke dalam keranjang untuk dijemur.
“Kalau ingat-ingat kemarin, saya ya heran kok bisa jadi seperti itu ya?,” kata Sara mengomentari cerita Mbok Jami.
“Saya juga heran, Non. Malah sekarang, kalau ada makanan dari Nyonya ndak boleh disimpan atau dimakan siapapun, saya sama Pardi juga ndak boleh. Saya ya eman (sayang sekali), Non, lihat makanan dibuang gitu,” timpal Mbok Jami.
“Apa dulu pernah bertengkar, Mbok? Mas Agam sama Mama? Mungkin sebelum Mas Agam ke luar negeri gitu,” tanya Sara sembari menggantung beberapa pakaian basah di tiang jemuran yang tersedia.
Mbok Jami menggelengkan kepalanya. “Ndak ada, Non. Waktu Den Agam lumpuh saja, Nyonya yang setiap hari ngurus Den Agam. Sampai waktu Den Agam demam 3 hari itu juga Nyonya yang ngurus semuanya. Berantem piye, Non? (Gimana berantemnya, Non?)”
Semua hal yang dikatakan Mbok Jami tetap sama. Widia adalah sangat menyayangi Agam. Sejauh yang Sara lihat sendiri, dia juga tidak bisa menyangkalnya, Widia memang tidak jahat. Tapi, Agam menjadi seperti itu juga bukan tanpa sebab.
Apakah ada kesalahpahaman di antara mereka? Sesuatu yang membuat Widia salah di mata Agam.
Tapi Agam sepertinya tidak memberikan Sara kesempatan untuk berpikir lebih lama lagi. Karena ponsel Sara baru saja berbunyi penanda ada email yang masuk untuk Sara.
Seperti biasa, tugas dari Agam.
Dan itu artinya waktu ngobrolnya dengan Mbok Jami selesai sudah. Sara bergegas ke ruang kerjanya di lantai bawah yang bersebelahan dengan ruang kerja Agam.
Tapi sore hari, setelah semua pekerjaannya selesai, Sara dikejutkan oleh permintaan Agam.
“Tolong antarkan aku ke teras belakang. Kita bisa latihan (isyarat) di sana.”
Agam tidak pernah meminta Sara untuk mendorong kursi rodanya. Orang yang diijinkan untuk berada di belakang kursi rodanya itu adalah Raka dan Mbok Jami. Dan hari ini, tiba-tiba Agam memintanya. Sungguh, Sara tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
“Apa disini sudah nyaman?,” tanya Sara setelah memberhentikan kursi roda Agam di sudut teras.
Dan Agam mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih.
“Oke ... Kita mau mulai dari mana?”
Sara baru saja menggeser bangku yang ada di teras agar bisa dekat dengan Agam. Tapi kemudian, Agam berkata, “Maaf ... Karena sudah ... melukaimu.”
Sara terdiam meresapi kata maaf yang diucapkan Agam barusan. Dia kehilangan kata-katanya saat Agam mengatakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 110 Episodes
Comments