"Tapi itu beneran bokap gue bukan sih Den? Kok gue berada mimpi ada bokap gue di mari?" Rama masih tidak mempercayai bahwa papanya ke sekolah hanya untuk datang mengambil raport.
"Mata lo rabun, ya? Itu beneran bokap Lo, Rama," sahut Rian menoyor kepala sahabatnya.
"Bu, apa saya terlambat!" tanya seorang pria berdiri di dekat pintu masuk dengan napas ngos-ngosan. Orang yang disangka papanya Rama sempat melirik putranya yang sedang duduk dengan rekan-rekan seperjuangan.
Bu guru itu tersenyum, "tidak, Pak. Silahkan masuk!"
Rama, si pria tampan ketua basket pemilik kulit putih bersih dengan hidung bangir, dan bibir tipis, diam memperhatikan papanya datang. Namun, ada sesuatu yang membuat ia tidaklah nyaman.
"Tumben sekali Papa datang ke sekolah? Gak ada ujan, gak ada angin, tiba-tiba bokap gue datang. Aneh bin nyata ini, mah."
"Gue juga heran, karena ini harus di abadikan sampai tujuh turunan. Untuk pertama kalinya seorang Rama raport nya di ambil bokap," kata Deni.
"Tapi gue yakin sebentar lagi bokap lo akan marah-marah," sahut Rian.
"Lah, emangnya kenapa?" Rama masih tidak menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Nilai lo itu bakalan merah semua, lo 'kan paling malas belajar dan sering bolos. Apalagi lo itu di pembuat onar," kata Deni.
"Heh, lo pikir lo nilainya bagus? Sama-sama merah juga jangan saling ngatain, pea."
"Tahu nih, lo juga sama-sama dapat empat merah," ujar Rian.
"Hehehe, ia sih. Nilai gue juga ada merahnya empat. Tapi untungnya gue masih bisa naik kelas." Balas Deni cengengesan sambil menggaruk tengkuknya.
"Tapi setidaknya kali ini papa Rama bisa ada waktu meski hanya ngambil raport saja. Semoga saja setelah kejadian ini papa kamu makin sayang sama kamu," kata Alina mendoakan yang terbaik bagi Rama.
"Aku pengennya gitu Al, tapi bokap ku sendiri sulit ku ketahui perasaannya. Apa dia sayang aku atau tidak, aku tidak tahu."
Mereka memperhatikan guru berbicara pada papanya Rama. Nampak sekali wajah pria dewasa itu tidak bersahabat. Dari wajahnya terlihat menahan amarah, hingga pembicaraan pun selesai.
"Gue yakin bakalan di ceramahin lagi ma bokap," ucap Rama sudah yakin apa yang akan terjadi selanjutnya. Melihat dari gelagat dari papanya yang terlihat geram serta menahan amarah, pasti dirinya akan di marahi habis-habisan.
"Dia terlihat marah, emangnya apa yang di bicarakan bu guru sama papa kamu sampai papamu terlihat marah?" tanya Alina.
"Kalau Rama tahu tidak akan Rama ikut memperhatikan mereka, Alina. Tapi yang pasti papanya Rama bakalan memarahi Rama," sahut Deni.
Pria yang di yakini papanya Rama itu mengambil paksa raport putranya dan keluar dari ruangan kelas dengan wajah penuh amarah.
"Rama, pulang sekarang!" ucapnya dingin.
"Nanti saja, Pah. Mau pulang bareng Deni dan Rian saja."
"Sekarang, Ramadhan Restu Al-kahfi!" sentak Restu, papanya Rama seraya menatap tajam mata anaknya.
Rama menghela nafas berat, ia menatap dia sahabatnya dan juga menatap Alina. Ia meyakini bahwa papanya marah besar. Nampak Alina menganggukkan kepalanya supaya Rama mau mengikuti permintaan Papanya. Mau tidak mau Rama pun pulang saking menghindari percekcokan antara dia dan orangtuanya di sekolah.
*****
Ada yang bersuka cita atas kelulusannya, ada yang gembira atas kenaikan kelasnya, dan juga ada yang bahagia mendapatkan gelar juara. Namun, beda halnya dengan Rama. Dia justru mendapatkan amarah dari papanya. Pria berkulit putih bersih itu sedang di marahi habis-habisan oleh papanya.
"Kau itu bodoh sekali jadi anak, bisa-bisanya kamu membuat papa malu dengan semua kelakuan mu dan nilai jelek mu ini! Sudah papa katakan belajar yang benar, jangan membuat papa malu, tapi apa yang kaku lakukan? Bikin malu papa saja!" sentak Restu melemparkan raport ke atas meja. Ia kembali ingat perkataan gurunya Rama.
"Pak, nilai anak Anda cukup buruk, banyak yang di bawah rata-rata. Rama juga sering sekali bolos sekolah. Kami harap, Anda bisa membantu meningkatkan kemampuan Rama dalam belajar. Sebenarnya, peran guru hanya membatu di sekolah saja, selebihnya peran orangtua lah yang harus banyak di tingkatkan."
Rama malas mendengarkan ceramahan papanya. Ceramah yang setiap hari selalu ia dengar dari bibir Papanya, ceramahan yang hampir setiap hari ia dengar dari mulut papanya. Nampak Rama terlihat acuh sesekali mengorek kupingnya.
"Harusnya kamu mencontoh kakak kamu! Bangun tidur tidak pernah telat, selalu belajar dengan rajin, selalu nurut orangtua dan selalu menjadi kebanggaan orangtua. Tidak seperti dirimu, bandel dan bodoh di pelihara!" sentak Restu menunjuk wajah Rama penuh amarah dan kesal.
Rama pun berdiri, "sudah ceramahnya, Pah? Sudah membandingkan Rama dengan anak kebanggaan Papa? Kalau sudah Rama mau pergi. Rama malas ada di rumah jika ujung-ujungnya di bandingkan dengan orang lain meskipun itu kakak Rama sendiri."
Rama sudah muak dengan omongan papanya yang selalu saja membandingkan dia dan kakaknya. Setiap pagi, setiap hari, bahkan setiap malam, Rama selalu mendengar hal yang sama, dibandingkan.
"Kamu!" Restu semakin emosi, "Sebenarnya kamu itu anak siapa? Kenapa kamu tidak pernah sedikit mau menuruti kata Papa? Kamu bisanya hanya melawan ucapan orangtua, main terus, balapan, dan membuat onar. Tidak pernahkah kamu memikirkan perasaan papa?" sentak Restu.
Rama langsung mendongak, ia tersenyum sinis. "Papa bilang aku anak siapa? Tanya pada Papa sendiri, aku ini anak siapa? Kenapa aku terlahir berbeda? Kenapa aku tidak lahir dengan otak cerdas seperti Gilang anak kebanggaan Papa? Dan papa masih bertanya apa aku tidak memikirkan perasaan Papa? Lalu, apa pernah Papa memikirkan perasaan Rama? Tidak, Papah tidak pernah memikirkan perasaan aku, tidak pernah ingin tahu tentang kehidupan ku, apa yang aku perbuat dan apa yang tah aku lakukan di luaran sana."
"Semakin hari kamu semakin melawan Papa, Rama! Siapa yang mengajarimu seperti ini? Papa tidak pernah mengajarimu melawan Papa, tapi hati barumu ini membuat papa kesal." Restu bukannya mengerti tapi malah semakin emosi atas kelakuan putra keduanya.
"Darimana aku belajar? Dari papa sendiri yang menunjukan sikap Papa padaku selama ini. Jadi jangan salahkan Rama jika Rama berontak."
Karena tidak mau berdebat lagi, Rama beranjak pergi masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian Rama kembali keluar kamar lagi setelah berganti pakaian.
"Kamu mau kemana lagi? Mau keluyuran bermain game dan balapan?" tanya Restu melihat putranya sudah rapi dengan kemeja tanpa dikancingkan, di lapisi kaos putih dan celana jeans abu.
"Cari angin," jawab Rama sesingkat mungkin.
"Dasar anak bo*doh, kurang ajar sekali kamu!"
"Aku tidak peduli!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Ini caranya Rama memberontak dari sang ayah yg pilih kasih,Anak akan menurut ke ortu kalo ortu sendiri perhatian ama anaknya,Tapi ini ibarat Kepiting ngajarin anak jalan lurus,sedangkan induknya aja jalan kesamping alias bengkok 😂😂
2024-01-16
0
Qaisaa Nazarudin
Badboy Ternyata Rama..😂😂
2024-01-16
0