Menunggu Luqi

Azea sudah berusaha menegur Luqi dengan cara baik-baik. Dia berusaha agar lelaki itu tidak terlalu malu di hadapan teman-temannya ketika Azea meminta kembali uang yang diambil begitu saja seolah uang itu tidak ada harganya sama sekali. Mungkin bagi Luqi uang itu terlalu murah dan juga terlalu sedikit, akan tetapi di mata Azea itu sangat penting untuk pengobatan ibunya. Dia harus membeli obat lagi menggunakan uang itu.

Luqi yang saat ini merasa sangat senang karena sudah bisa memenuhi taruhan tersebut merasa kalau sekarang dirinya semakin dihormati oleh semua temannya. Hanya dengan uang senilai seratus ribu, dia sudah bisa membeli sepuluh jenis barang yang berbeda bahkan juga mengajak seorang wanita untuk berkencan. Jangan tanya wanita semacam apa yang mau diajak berkencan hanya dengan modal seperti itu.

Tentu saja wanita itu sebenarnya tidak terlalu peduli dengan uang yang dipegang oleh Luqi, dia terlihat tidak peduli berapa uang yang sedang dibawa Luqi saat berkencan dengannya, dia hanya senang karena bisa menghabiskan waktu dengan lelaki setampan Luqi. Dalam bahasa sederhananya, dia lebih mementingkan wajah Luqi daripada uangnya, sehingga tidak masalah sama sekali kalaupun dibelikan makanan yang terlalu murah.

Azea yang tidak tahu di mana keberadaan Luqi saat ini hanya bisa menunggu di minimarket itu. Dia sangat berharap Luqi dan teman-temannya kembali datang agar dia bisa meminta kembali uangnya kepada Luqi. Namun dalam tiga hari ini, Luqi sama sekali tidak datang ke minimarket itu sebagaimana biasanya. Azea semakin panik karena sekarang dia harus membelikan ibunya obat secepat mungkin.

"Ibu yang sabar, ya. Aku akan membelikan obat untuk Ibu secepat mungkin."

Luna Soria yang tidak lain adalah ibu dari Azea hanya bisa tersenyum kepada anaknya itu. Jelas dia merasa sangat kasihan kepada putri sulungnya. Karena dirinya yang sakit-sakitan seperti ini, hampir setiap hari Azea terlihat selalu kerepotan. Terkadang dia juga melihat putrinya itu sering menumpu dagu sambil menatap keluar jendela dengan tatapan kosong. Luna sangat tahu bahwa dalam keadaan seperti itu putrinya sangat pusing dengan semua yang dia kerjakan. Luna merasa sangat bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun untuk memberi sesuatu yang istimewa untuk putrinya. Dia merasa hanya menjadi beban.

"Kamu jangan bekerja terlalu keras, ya. Pikirkan kesehatanmu sendiri," ucap Luna kepada putrinya. Azea balas tersenyum. Dia tahu bagaimana perasaan ibunya selama ini. Hampir tidak ada ibu di dunia ini yang tega melihat anaknya kerepotan sendiri mengurus kehidupan mereka. Seorang ibu akan selalu memberikan apa pun yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Dia tahu kalau ibunya akan selalu berpikir menggunakan perasaan, ibunya tidak akan tega melihat dirinya seperti ini. Sekarang dia juga bingung bagaimana cara meyakinkan ibunya kalau dia memang sudah ikhlas melakukan semuanya walaupun memang terkadang sangat berat.

"Ibu juga jangan terlalu memikirkan sesuatu yang tidak perlu dipikirkan. Kesehatan mental itu berhubungan dengan kesehatan fisik. Walaupun hari ini kesehatan fisik Ibu baik-baik saja, jika Ibu terlalu memikirkan banyak hal yang tidak perlu dipikirkan, pikiran buruk itu akan membuat fisik Ibu menjadi lemah dan pada akhirnya Ibu jatuh sakit. Jadi jangan terlalu khawatir dengan keadaanku. Aku pastikan aku bisa memenuhi kebutuhan kita semua di rumah ini, termasuk pengobatan Ibu."

Luna sekali lagi tersenyum sambil mengangguk. Dia tidak mau membuat putrinya semakin merasa khawatir. Dia juga ingin memperlihatkan kalau saat ini dirinya baik-baik saja. Mungkin hanya inilah yang bisa dia lakukan, memberi semangat kepada putrinya dengan terlihat baik-baik saja. Itu sudah menjadi motivasi bagi Azea untuk bekerja lebih keras lagi.

"Baiklah, semuanya Ibu serahkan kepadamu. Ibu yakin kau sudah sangat dewasa dan bisa mengambil resiko atau juga mempersiapkan solusinya mulai dari sekarang."

Azea tersenyum dan pada akhirnya kembali menunggu Luqi dan berharap dia bisa mendapatkan uang itu secepat mungkin. Dia tidak bisa lagi menunggu dan tidak akan membiarkan ibunya menunggu lama. Dia harus membeli obat itu secepat yang dia bisa.

"Apa selama ini kau juga tidak melihat Luqi dan teman-temannya datang ke sini seperti biasa?" tanyanya kepada Elena pada saat itu. Dia sedikit khawatir kalau misalkan dia melewatkan Luqi yang datang ke minimarket itu. Sampai saat ini dia tidak tahu di mana alamat rumah Luqi atau juga nama sosial medianya yang bisa menjadi penghubung antara mereka berdua. Memang sangat bodoh. Kenapa juga pada saat itu dia tidak bisa melawan sama sekali? Kenapa ada rasa ragu yang begitu besar dalam hatinya untuk mencegah Luqi menggunakan uang itu?

"Luqi? Siapa itu Luqi? Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya."

Azea mengangkat alis ketika Elena malah bertanya balik padanya. Dia tidak menyangka kalau ternyata selama ini Elena tidak mengenal Luqi sama sekali padahal hampir setiap hari lelaki itu datang kemari bersama ketiga temannya. Mungkin Elena memang tipikal orang yang tidak terlalu peduli pada apa yang menurutnya tidak terlalu penting. Mungkin selama ini dia juga merasa kalau Luqi hanyalah pengunjung biasa yang pada akhirnya akan pergi dan beralih ke minimarket yang lain kalau sudah bosan. Yah, tidak ada kewajiban sama sekali bagi para pegawai untuk mengenal pembeli di minimarket entah bagaimanapun atau juga berapa kali pun mereka berbelanja di minimarket.

"Ternyata kau tidak tahu sama sekali. Apakah selama ini kau tidak melihat sekelompok pemuda yang sering nongkrong di depan minimarket kita? Salah satu di antara mereka bernama Luqi."

Kali ini Elena terlihat sedang mengingat sesuatu. Tentu saja dia ingat sekelompok pemuda itu, namun sama sekali tidak tahu namanya.

"Oh, ternyata lelaki tampan itu bernama Luqi. Aku terlalu malu untuk mencari tahu tentang dirinya selama ini. Dan dari yang aku lihat seperti ini kalian berdua memang akrab sekali. Awalnya aku mengira kalau kalian berdua adalah teman atau mungkin teman seangkatan. Tapi sepertinya tidak."

Azea menggeleng sambil tersenyum. "Tidak, kami sama sekali bukan teman. Dia hanya sering datang kemari dan pada akhirnya aku mengenalnya, termasuk juga ketiga temannya yang memecahkan banyak sirup di minimarket ini." Azea menceritakan awal mula dia terlihat sedikit akrab dengan Luqi.

Elena malah tersenyum penuh arti melihat tingkah sahabatnya saat ini. Dia malah mengira kalau mungkin saja Azea menyukai Luqi. Bukan Sesuatu yang mustahil mengingat kalau Luqi memang sangat tampan. Perempuan mana pun yang pertama kali melihatnya pasti langsung jatuh hati, atau mungkin lebih tepatnya hanya kagum dengan penampilan Luqi yang menjadi idaman banyak orang.

"Bukan teman, berarti mungkin saat ini kalian sedang menjalani hubungan yang serius atau mungkin hubungan yang istimewa? Tidak mungkin kalian terlihat akrab seperti itu tanpa alasan, bukan?" Elena berkata dengan tersenyum.

Azea yang memahami arah pembicaraan Elena pun refleks memukul pundak perempuan itu, meski tidak terlalu kasar dan keras. Hal itu membuat Elena semakin tertawa.

"Ya, mana mungkinlah aku pacaran sama orang kayak gitu! Aku cuma punya urusan yang penting sama dia. Jadi sejak kemarin Sebenarnya aku menunggunya di sini. Aku menunggu dia kembali ke minimarket ini dan juga ingin membicarakan hal penting itu."

Elena tidak bertanya lebih lanjut setelah itu. Dia tahu kalau dia tidak bisa mencampuri urusan Azea. Dia tidak mau Azea malah merasa tidak nyaman dengan semua pertanyaannya.

"Sorry, beberapa hari terakhir ini aku juga tidak melihat dia datang kemari lagi. Mungkin dia sibuk dengan aktivitasnya di luar sana. Kita juga tidak mengenalnya secara pribadi, bukan?" Elena menanggapi dengan serius kali ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!