Beralih dari seorang staf kantor biasa menjadi sekertaris CEO, bukanlah sesuatu yang diharapkan sejak lama oleh Nila. Dibalik rasa sakit hati dan cintanya pada Bayu yang masih membekas, ternyata Tuhan memberikan gantinya melalui karir yang lebih serius dibanding sebuah hubungan tanpa status.
Namun rupanya jalanan di sore ini sangat padat sampai-sampai sulit sekali menemukan celah untuk saling mendahului. Terlebih memang sepanjang jalan yang dilalui oleh Nila dirancang hanya untuk dua mobil dengan arah yang berbeda.
Nila sudah merasa sangat lapar, apalagi makan siangnya tadi tidak selahap biasanya. Matanya memperhatikan ke kiri jalan, berharap ada sebuah rumah makan yang bisa ia singgahi untuk mengisi perut.
Tak jauh dari tempatnya berada, tepatnya sekitar lima ratus meter di depan ada sebuah kedai yang begitu menarik perhatiannya. Kedai Condola, namanya.
"Sepertinya itu kedai baru, atau selama ini aku yang gak sadar ya ada kedai itu searah pulang ke rumah?" gumamnya. Ia masih sabar memainkan kopling, rem dan juga pedal gas mobil karena jalannya padat merayap.
Untuk sampai di kedai itu butuh waktu hingga sepuluh menit. Padahal jika berjalan kaki, mungkin sama atau bahkan lebih cepat kalau langkahnya sambil berlari. Karena sudah sangat lapar, Nila membelokkan mobil yang dikendarainya itu ke halaman parkir kedai tersebut.
Nila melepas kunci lalu turun dari kursi kemudi dan tak lupa mengunci mobilnya kembali melalui tombol yang menggantung menjadi satu pada kunci mobilnya itu. Ia masuk ke dalam dan ternyata sangat ramai.
Sepasang matanya mulai mengedar ke segala arah yang ada di depannya guna mencari meja yang masih kosong. Tak lama setelah itu, ia pun menemukannya. Namun saat hendak melangkahkan kaki, seorang pelayan kedai itu menghampirinya.
"Selamat sore, apa sebelumnya Kakak sudah reservasi?"
Nila seketika tercekat, "Memangnya harus reservasi terlebih dahulu ya?" tanyanya mulai pesimis bisa mendapat meja di sana karena memang sedang ramai sekali.
"Iya Kak, harus reservasi dulu. Soalnya untuk sore ini semua meja sudah penuh dipesan lewat pelanggan kami via online," jawab pelayan itu. Mau tidak mau, Nila harus menahan rasa laparnya dan memilih keluar dari kedai tersebut.
"Oh gitu ya, ya udah deh. Permisi."
"Kalau Kakak mau nunggu, mungkin sekitar satu jam lagi," tawar pelayan itu membuat perut Nila semakin mengeluarkan bunyi yang lebih keras. Nila bersikap biasa saja dan rasa malu pun terasa sudah putus, karena mendengar kata menunggu satu jam lagi sudah menghilangkan selera makannya saat ini dan hanya ada rasa kesal.
"Gak deh, makasih. Next time saya ke sini lagi kalau gak ramai. Permisi!" Nila langsung berbalik badan dan tak disangka ia hampir saja bertubrukan dengan seseorang.
"Ups, sorry." Nila sedikit menengadah ke wajah orang itu karena tubuh dia cukup tinggi dari ukuran tubuhnya. "Kamu yang kemarin ada di reuni itu kan?" tanya Nila seketika mengingat wajah lelaki itu.
"Yoi, kamu benar! Sedang apa kamu disini? Mau makan atau habis makan?" Lelaki itu adalah Dany.
"Gak jadi makan, penuh. Kalau gitu aku permisi ya." Nila mencari jalan supaya bisa lewat. Akan tetapi Dany sengaja menghalangi jalanannya. Nila pun menjadi tambah kesal.
"Makan bareng sama aku yuk! Soalnya nanti temanku bawa istrinya. Aku gak mau jadi orang ketiga, takut disangka setan," ajak Dany sambil menunjukkan senyumannya yang membuatnya sangat tampan dan memainkan kedua alisnya naik turun.
Nila tidak langsung menjawabnya, ia terus menatap Dany sangat tajam seraya berpikir. "Emangnya temen kamu gak apa-apa kalau aku gabung sama kalian?" tanyanya kemudian
"Ya gak apa-apa dong. Lagi pula meja yang kami pesan cukup luas, kira-kira bisa dimaksimalkan menjadi delapan orang," jawab Dany seolah sangat tahu tentang kedai itu.
Nila menoleh lagi ke sekeliling ruangan itu. Kedua alisnya ditautkan lalu menatap heran. "Disini gak ada yang satu meja sampat delapan orang. Semua rata-rata cuma empat sampai enam orang aja. Ngarang deh kamu!" ketusnya menganggap Dany bohong.
"Serius, meja itu khusus kami kalau datang ke sini." Jawaban Dany membuat otak Nila seketika mereset.
"Berarti itu artinya kedai ini memang udah lama ada, akunya aja yang gak sadar. Duh efek pulang kerja gak pernah semacet sekarang ini. Baru tahu sekarang 'kan!" sesal Nila dalam hati.
Dany melambaikan sebelah tangannya tepat di depan wajah Nila. Hal itu membuat Nila terkesiap.
"Kok malah melamun sih!" protes Dany mengerutkan kedua alisnya.
"Eh gak apa-apa kok ... " Nila melihat ke luar pintu masuk kedai yang terbuat dari kaca.
"Jalanan masih macet banget. Apa aku terima aja ya tawaran Dany? Kalau gak lapar banget mana mau aku makan bareng sama dia, mending makan di rumah sama ayah, ibu dan Lativa deh." Nila tergegun lagi.
Kali ini Dany menjentikkan jarinya supaya Nila melihatnya lagi, dan akhirnya berhasil.
"Gimana mau makan gak?" Dany yang mulai tidak sabar langsung menarik tangan Nila masuk ke sebuah ruangan yang memang untuk tamu khusus.
"Eh kamu mau ngapain!" Suara Nila yang lumayan kencang membuat dirinya seketika menjadi pusat perhatian pelanggan yang ada di sana.
"Mau ajak kamu makan lah, masa mau tidur!" seloroh Dany sedikit ada rasa kesal. Baginya Nila terlalu lama dalam mengambil keputusan.
Mereka pun masuk ke dalam ruangan itu. Nila terkejut karena dekorasinya jauh lebih santai dan nyaman ketimbang di ruangan tadi.
Melihat wajah Nila bersinar terang, Dany mengajaknya duduk di sana. "Kamu suka sama tempatnya?" tanya laki-laki itu.
Nila mengangguk dan reflek tersenyum.
"Manis banget sih senyumnya." Dany memuji Nila dalam hati yang juga diiringi senyuman yang begitu menawan. Sayangnya Nila tidak tertarik, sebab di hatinya masih ada Bayu.
"Nih kamu pesan aja makanan yang kamu suka." Dany memberikan sebuah tablet berukuran sepuluh inchi pada Nila. "Kalau udah ketemu yang sesuai selera, tinggal kamu klik aja tanda plus di samping sini. Terus kalau udah selesai tinggal klik tulisan 'pesan' dibawah sini. Paham kan?" jelas lelaki itu.
"Iya aku paham." Nila segera membuka menu yang ada di kedai itu. Matanya seketika berbinar saat melihat pilihan menu di sana yang sangat menggugah selera makannya kembali dan ingin segera menyantapnya.
Baru saja Nila meng-klik 'pesan', pintu ruangan itu terbuka. Ia maupun Dany menoleh bersamaan ke arah pintu itu.
Dany tersenyum menyambut kedatangan temannya bersama sang istri. Namun berbeda dengan Nila dan raut wajah yang ditunjukkan oleh temannya Dany yang tak lain adalah Bayu, sang mantan kekasih Nila.
"Bayu, Winda! Sini duduk sama kami!" seru Dany.
Winda berjalan lebih dulu disusul dengan Bayu dibelakangnya.
"Loh kamu bukannya temannya Mas Bayu ya? Kita pernah ketemu bukan di klinik kecantikan minggu lalu?" tanya Winda saat melihat lebih dekat wajah Nila.
Nila tersenyum dengan perasaan canggung. Apalagi saat melihat Bayu datang dengan mesranya merangkul pinggang Winda di depan dia. Alangkah sakitnya duri yang masih menancap di hati Nila itu seolah semakin terpendam semakin dalam.
"I-iya kamu benar," jawab Nila dengan suara pelan lalu tersenyum. Entah kenapa napasnya terasa sangat sesak. Seakan oksigen yang ada di ruangan itu sangat menipis. Nila berusaha bersikap tenang ditengah hatinya yang terasa sangat panas sekali. Apalagi tangan Bayu masih terus menggenggam tangan Winda.
Sepertinya Bayu memang sengaja melakukan itu. Pasalnya saat tadi ia menjemput istrinya di lokasi syuting, tidak ada kemesraan di sana. Disisi lain, Winda bukanlah perempuan bodoh dan polos. Sikap yang tiba-tiba manis itu menjadi tanda tanya tersendiri bagi Winda.
"Ya Tuhan, ingin sekali rasanya aku pergi dari sini. Tapi sayangnya aku udah terlanjur pesan. Kuatkan aku supaya gak sampai menangis dihadapan mereka," kata Nila dalam hatinya berdoa pada Sang Pemilik Hati.
"Bayu, Winda ayok dipesan!" seru Dany lalu memberikan tablet yang habis dipakai Nila kepada Winda.
"Mas mau pesan makan apa?" tanya Winda bersikap lembut. Matanya sesekali melirik ke arah Nila yang enggan menatap Bayu dan juga dirinya.
"Terserah kamu aja," jawab Bayu menoleh ke arah Winda sambil tersenyum manis.
Winda segera memesankan beberapa menu untuknya dan juga sang suami. Setelah selesai ia pun menaruh tabletnya kembali di tempatnya.
Tanpa sengaja Dany mendapati Bayu tenganh menatap Nila yang sedang memainkan ponsel. Tatapan Bayu itu memberi pemahaman tersendiri untuk Dany. Rasanya ingin sekali ia bertanya langsung, namun ada rasa tak enak hati mengingat masih ada Winda di sana. Dany pun memilih diam.
Tak lama berselang, makanan yang telah mereka pesan pun datang. Mereka berempat menyantap makanan dengan lahap. Terlebih Nila, perempuan itu sangat terburu-buru menghabiskannya. Sebab ia tidak tahan lagi jika terus berada di sana.
Tidak sampai sepuluh menit, Nila mampu menghabiskan makanan itu tanpa tersisa. Ia pun sudah merasa sangat kenyang. Lantas Nila mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar makanannya pada Dany.
"Kak Dany, ini uang buat bayar makananku. Makasih ya udah ngasih aku tempat di sini. Kayaknya aku harus pulang sekarang, ayah sama ibu pasti udah nungguin aku di rumah," kata Nila seraya memberikan uang itu.
"Buru-buru sekali sih Nila ... Kita santai dulu di sini dan uang itu ambil aja buat kamu. Tenang ada Bos Bayu yang bayarin. Iya gak?" sahut Dany lalu mengedipkan sebelah matanya kepada Bayu.
"Kebiasaan deh!" protes Bayu lalu berdecak kesal. Sementara Dany pun menghiraukannya dan malah tertawa.
"Oh gitu ya, Um ... Dany ini uangnya ambil aja. Maaf aku gak bisa lama-lama." Nila menaruh uangnya di samping Dany lalu meraih tasnya dan bergegas keluar dari ruangan itu.
"Nila tunggu!" cegah Dany seraya berdiri dan Nila pun menoleh. "Kalau aku telepon jangan lupa dijawab ya!" seru laki-laki itu.
Nila mengangguk. "Iya." Matanya kemudian menoleh ke sepasang pengantin baru itu tersenyum tipis dan menunduk sebentar, pamit kepada mereka. Setelah itu, dirinya keluar dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir rapi di halaman depan kedai.
Beruntung jalanan saat ini sudah mulai senggang, Nila segera masuk ke dalam mobil dan pulang ke rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 182 Episodes
Comments
Putri Minwa
lanjut
2023-09-12
0