Perasaan Lativa mendadak tidak enak karena sedari tadi kakaknya itu tidak kunjung membukakan pintu. Akhirnya perempuan berusia 16 tahun itu kembali ke dapur untuk membantu ibunya menyiapkan makan malam.
"Siapa Tiv? Kakakmu?" tanya sang ibu.
"Mungkin, Bu. Tiva juga ngiranya kakak. Soalnya tadi di ruang tamu ada sepatu kakak. Gak tahu baru dilepas atau gak ... baru mau dipakai sama dia." Lativa mengangkat kedua bahunya seraya duduk di kursi. "Oh iya tadi kak Nila sempat pamit gak sama Ibu kalau dia mau pergi?" tanyanya kemudian.
"Gak ada kok. Ibu aja dari sepulang dia dari kantor belum lihat lagi. Bukannya kakakmu masih di kamar?" Seingat ibunya Nila sama tidak bilang apapun. Sebab biasanya anak sulungnya itu selalu bilang dari pagi kalau mau pergi keluar rumah.
"Nah itu Bu ... Tadi tuh Tiva sempat lihat kak Nila keluar kamar. Rapi Bu! Pakai dress sama make up. Gak biasanya dia begitu. Katanya sih mau jalan sama cowoknya," kata Lativa jujur.
"Ya wajar sih, mungkin kakakmu mau ke tempat acara bareng Bayu," sahut sang ibu berpikir positif. Padahal sejak Nila berusia 25 tahun, ia sangat ingin melihat Nila menikah. Sekarang sudah 26 tahun, belum juga terwujud. Kendati demikian, ia tidak mungkin memaksakan anak sulungnya itu.
"Bisa jadi sih Bu." Lativa akhirnya diam dan tidak melanjutkan pembicaraannya lagi. Sebab tak lama berselang ayahnya pulang dari tempat kerja dan mereka pun makan malam bersama, kecuali Nila.
.
.
.
.
Selepas makan malam, sang ayah memilih beristirahat di kamar dan Lativa kembali ke kamarnya untuk belajar menghadapi ulangan semester esok hari. Sementara ibu dengan membawa nampan berisi sepiring nasi beserta lauk pauk dan air minum pergi ke kamar Nila. Sang ibu khawatir takut asam lambung Nila kumat karena tidak makan malam.
Tok Tok Tok!
"Nila, buka pintunya Nak. Ini Ibu."
Beberapa detik berlalu, belum ada jawaban dari Nila.
"Nila ... " Pintu kamar perlahan terbuka saat sang ibu hendak mengetuknya lagi.
Wajah Nila menunduk dengan rambut yang sudah berantakan. Persis seperti orang yang tengah frustasi dan depresi berat. Seakan tidak ada harapan hidup lagi.
"Kamu kenapa gak makan malam?" tanya sang ibu bersikap lemah lembut. Namun Nila hanya menggelengkan kepala. "Ini ibu bawain makanannya," kata ibunya sambil menyodorkan nampan itu ke hadapan anak bungsunya.
Wajah Nila pun terangkat, "Nila gak laper, Bu."
"Hah!" Seketika sang ibu terkejut dengan penampilannya. "Astaga Nila kamu kenapa? Ada sesuatu yang terjadi sama kamu? Bukannya Tiva bilang kalau kamu mau pergi sama Bayu?" pekik ibunya terlihat sangat khawatir.
Nila semakin berat untuk menjawab. Manik matanya pun sudah berkaca-kaca entah sejak kapan. Tatapannya pun terlihat kosong, sebab ia tidak ingin kisahnya dengan Bayu usai begitu saja tanpa ada jawaban yang pasti.
Sang ibu mengikutinya dari belakang lalu menutup pintu kamarnya. "Nila, cerita sama Ibu. Kamu kenapa?" Sang ibu menaruh nampan ke atas meja yang berada di kamar Nila.
Hati Nila semakin teriris. Ia teringat akan ucapan yang dilontarkan oleh Bayu beberapa saat yang lalu. "Bayu, Bu ... " Bibirnya bergetar. Air matanya pun menetes lagi.
"Bayu kenapa, Nak? Dia nyakitin kamu? Atau apa?" cecar ibunya semakin penasaran. Sebab ibu mana yang tidak ikut sedih saat melihat keadaan anaknya yang kacau seperti ini?
"Bayu mau nikah sama orang lain." Tangis Nila pecah kembali. Kali ini wajahnya hanya menunduk. Nila menangis sampai terguguk. Ia kesal, sedih, marah, semua menjadi satu.
"Astaga. Kamu tahu darimana? Bukannya kamu sudah lama sama Bayu? Kok bisa dia malah nikah sama orang lain?" Tangan lembut ibunya berkali-kali mengusap punggung Nila guna mendapat sebuah ketenangan.
Sementara itu, Nila hanya menggelengkan kepalanya dan terus menangis sampai terguguk. Ibunya jadi ikut sedih melihat anak sulungnya menangis terdengar begitu pilu.
"Kalau aja Bayu bilang dari awal, Nila gak bakal mau nunggu dia selama ini, Bu. Delapan tahun Nila sama dia, Nila sama sekali gak tahu kalau Bayu bisa punya perempuan idaman lain dibelakang Nila, Bu."
"Sabar ya, Nak. Mungkin dengan Tuhan memberikan ujian seperti ini, supaya kamu bisa sadar kalau Bayu itu memang bukan jodohmu. Bisa saja jodohmu itu adalah orang lain yang pastinya jauh lebih baik dari Bayu ... " Nila terdiam mendengar nasihat dari ibunya. "Memang selama ini Bayu sangat baik sama keluarga kita. Tetapi, perubahan seseorang siapa yang tahu? Bahkan dirinya sendiri pun gak tahu takdirnya setelah ini akan seperti apa ... " sambung sang ibu menghela napas panjang.
Perempuan itu membiarkan sejenak supaya Nila bisa meluapkan kesedihannya. Namun dia tidak membiarkannya terlalu lama karena takut Nila menjadi kelelahan dan jatuh sakit.
"Sudah, lebih baik kamu relakan Bayu. Selama apapun kamu bersamanya, dengan begini kamu pun gak nyesel karena belum sampai ke jenjang pernikahan sama dia," ucap sang ibu mencoba membangkitkan semangat hidup lagi untuk Nila. Meskipun dia tahu yang namanya perasaan tidak bisa dihilangkan begitu saja.
"Tapi Bu ... Nila masih penasaran perempuannya itu kayak gimana!" bantah Nila yang masih tidak terima.
"Nila, dengar Ibu! Lelaki di dunia ini tuh banyak. Bukan cuma Bayu. Kalau kamu masih bersikukuh ingin dia, ingat harga dirimu, Nak. Ibu gak pernah mengajarkanmu jadi anak yang mudah mengemis cinta sama laki-laki. Sebagai perempuan, kita tuh harus bisa balas dendam dengan cara positif."
Nila mengerutkan alisnya, merasa belum paham dengan apa yang ucapkan di akhir kalimat oleh ibunya. "Balas dendam dengan cara positif?" tanyanya dan ibunya pun menganggukkan kepala seraya tersenyum. "Caranya, Bu?"
"Tunjukkin sama dia, kalau rasa sakit hatimu itu bisa dibayar dengan kesuksesan pada karirmu."
Nila menarik napas sangat dalam. Perkataan ibunya bagai sebuah perisai yang membuat sedihnya seketika hilang.
"Tapi ... Enaknya usaha apa ya, Bu? Nila punya tabungan, tapi gak banyak." Setelah mendengar ucapan sang ibu, tiba-tiba saja Nila terbesit ingin jadi seorang wirausahawan.
"Gimana kalau kita bikin kedai? Ya ... Gak harus besar dulu. Kita mulai yang kecil-kecil aja."
"Contohnya Bu?"
"Kita bisa buat minuman sehat, seperti jus buah, sop buah, es campur tapi dalam kemasan dan keunggulannya kita buat fresh alias dadakan. Terus soal promosi dan penjualan bisa kita serahin ke Lativa, adikmu itu kan punya bakat percaya diri yang tinggi tuh. Atau kamu sendiri juga bisa promosi di kantor."
"Terus yang bikinnya siapa Bu?"
"Nanti Ibu yang buat. Kamu duduk manis aja."
"Loh Bu gak bisa gitu dong. Selama ini 'kan Nila kerja buat Ibu sama ayah. Masa sekarang Ibu harus kerja keras sih. Enggak, enggak. Nila gak setuju!"
"Tapi Nila ... "
"Gak, Bu. Lagi pula denger-denger gak lama lagi bakal ada promosi jabatan, terus yang dapat harus pindah ke perusahaan cabang. Karena kabarnya akan ada CEO baru yang akan menjabat di sana dan butuh bimbingan juga," jelas Nila tetap bersikukuh tidak ingin membuat ibunya menjadi kelelahan.
Bagi Nila, membangun sebuah bisnis dari benar-benar nol itu tidak semudah ketika sudah terlihat sukses. Pada umumnya, setiap bisnis pasti ingin menjadi besar dan memiliki nama supaya bisa melebarkan sayap kesuksesan. Nantinya pun tidak hanya memiliki pegawai satu sampai dua orang saja, melainkan bisa jadi ribuan.
Sang ibu tidak dapat berkata apa-apa lagi. Dia juga paham kalau saat ini anak sulungnya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Rasa sangat kejam sekali jika terus mendesak Nila untuk tetap membuka usaha sesuai usulnya itu.
"Ya sudah kalau gitu, jangan lupa dimakan makan malammu ya! Ibu mau menemui ayahmu dulu, katanya dia lagi gak enak badan minta dikerikin," pamit ibunya seraya beranjak dari tempat duduk.
"Iya, Bu." Bagaimanapun Nila harus menghargai usaha ibunya yang sudah bersusah payah membuat makan malam. Akhirnya sedikit demi dikit ia memakannya walau masih terisak
Namun sesampainya di depan kamar ternyata sudah ada Lativa yang berdiri tepat di samping pintu. "Kak Nila kenapa Bu?" tanyanya.
"Biasa, masalah hati," jawab ibu sekenanya. Lativa pun tidak percaya begitu saja.
"Masalah hati ya Bu? Apa gara-gara gak jadi jalan sama cowoknya?" cecar Lativa sangat penasaran sekali.
"Tiva ... " Sang ibu menggeram sambil membulatkan kedua matanya. Hal itu tentunya membuat Lativa terdiam seribu bahasa. "Sudah jangan banyak tanya. Bukannya kamu tadi bilangnya mau belajar? Kenapa ada di sini?" tanya ibunya.
"Hehehe ... " Lativa malah tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tiva mau minta uang Bu buat beli alat tulis. Tiva gak inget kalau belum beli pulpen warna merah suruh pak guru."
"Owalah, Ibu kira kenapa. Ya sudah kamu tunggu disini ya. Ibu mau ambilkan uangnya dulu di kamar."
"Iya Bu."
Sesaat setelah ibunya pergi, Lativa sebenarnya masih penasaran dengan keadaan kakaknya saat ini. Namun baru saja hendak melangkahkan kakinya ke kamar Nila, ibunya ternyata sudah ada di belakangnya.
"Ini uangnya Tiv," kata ibu seraya memberikan selembar uang dua puluh ribuan pada Lativa.
"Makasih, Bu!" Setelah mendapat uang, Lativa langsung bergegas keluar rumah untuk pergi toko alat tulis yang tak jauh dari komplek rumahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 182 Episodes
Comments
Uthie
saya lanjut 💪😁
2023-10-30
1
Putri Minwa
jangan khawatir deh, cinta yang pergi pasti akan datang pengganti yang baru
2023-09-11
1
Elisabeth Ratna Susanti
top untuk Ibu
2023-09-03
1