Nila masuk ke dalam apartemen yang di fasilitasi oleh kantor. Nyaman, rapi dan bersih, meski luasnya hanya sekitar enam puluh meter persegi yang terdapat lima ruangan. Diantaranya dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang tamu, dapur yang menjadi satu dengan ruang makan.
Sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati hitam di atas putih. Selama tinggal di apartemen itu, laundry dan bersih-bersih rumah sudah disediakan dari pihak apartemen.
Perempuan itu masuk ke salah satu kamar lalu menaruh koper tepat di depan lemari.
"Sebelum rebahan, aku beresin pakaian dulu deh. Takutnya kalau udah keenakan tidur jadi malas. Apalagi besok pagi harus udah masuk kantor dan bakal ketemu bos ngeselin itu terus," kata Nila bermonolog. Ia duduk di lantai sambil membuka koper.
Tanpa ia tahu, ternyata apartemen yang ditempati oleh Fatan itu bersebelahan dengannya. Siap-siap saja besok pagi Nila akan terkejut bukan main. Sudah satu kantor, meja kerja berdekatan, ditambah tetanggaan pula. Lengkap sudah sepanjang mata memandang, yang dilihat Nila tidak jauh dari lelaki itu.
Seusai merapikan pakaian ke dalam lemari, Nila pun pergi ke kamar mandi karena tiba-tiba saja perutnya terasa mulai disertai mual. Apa mungkin Nila terkena jetlag karena pertama kalinya naik pesawat?
Tanpa terasa hari sudah sore, sedangkan Nila masih enggan membuka matanya sejak menikmati tidur siang yang panjang. Suasana sepi di apartemen itulah yang membuatnya seketika terbangun. Sepasang matanya melihat ke sekeliling ruangan, sesaat kemudian ia mengembuskan napas panjang.
Nila akhirnya menyingkap selimut lalu turun dari tempat tidur. Dilihatnya jam dinding yang terpasang di kamar, sudah menunjukkan pukul 5 sore waktu setempat. Ia lekas mandi untuk menyegarkan tubuh.
...----------------...
Malam harinya, Nila berniat untuk keluar dari unit apartemen guna mencari makan. Seingatnya tadi pagi, ada sebuah food court di tak jauh dari tempat tinggalnya.
Tidak sampai menunggu pagi, Nila keluar dan menutup pintu bersamaan seperti yang dilakukan oleh Fatan. Menyadari ada orang lain di samping, perempuan itu menoleh.
"Loh, Pak Fatan tinggal disebelahku? Bukan seharusnya Anda tinggal satu lantai di atasku ya? Soalnya di sana 'kan kelas elut semua," kata Nila menatap heran.
"Nggak kok. Walaupun saya atasan kamu di kantor, tapi untuk segi fasilitas kita sama. Bukankah seorang CEO dan sekertaris harus berdekatan biar kerjasama terjalin erat?" balas Fatan dengan entengnya.
"Hah? Kenapa bisa gitu? Ini emang fasilitas kantor atau Anda sendiri yang minta?" cecar Nila tidak habis pikir.
"Saya juga gak tahu sih. Cuma sepemahaman saya begitu," jawab laki-laki itu sangat santai seraya pergi meninggalkan Nila begitu saja.
Dengan cepat Nila pun menyusul. "Omong-omong Pak Fatan mau kemana?" tanya perempuan itu saat sudah berhasil menyamai langkah kaki Fatan.
"Saya mau cari makan, kamu sendiri?"
"Sama."
"Oh." Singkat dan jelas sampai mulut Fatan berbentuk bulat dengan sempurna.
"Oh doang? Asli ini bos emang ngeselin," batin Nila menggerutu.
Keduanya terus berjalan beriringan. Hingga tepat dipersimpangan menuju food court, Fatan berbelok ke kiri dan Nila pun mengikuti.
"Hei, kamu mau ke toilet laki-laki?" tanya Fatan dengan suara yang sedikit dikeraskan. Beruntung saat ini di area itu sangat sepi. Nila seketika mati kutu dan melihat petunjuk yang ada di depannya.
Perempuan itu menyengir, merasa malu dan canggung. "Maaf Pak, kalau gitu saya duluan." Nila langsung berbalik badan dan mengambil langkah seribu supaya cepat menghilang dari sana.
Fatan hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Nila yang menurutnya sangat abstrak. "Dasar perempuan sekarang, ikut aja. Lain kali coba deh ajak ke jurang, dia ikut juga gak ya?" gumamnya lalu masuk ke dalam toilet.
Sementara itu Nila masih terus berjalan di sepanjang food court itu. Sepasang matanya melihat satu per satu tempat makan yang ada di sana. Hingga tak terasa dirinya sampai di tempat paling ujung, Nila belum memutuskan makanan apa yang akan menjadi santapannya malam ini.
Akan tetapi ditengah kebimbangan yang dialaminya, Nila melihat penjual kerak telor pikul di sana. Dari sekian banyak tempat makan bagus dan enak, hanya penjual itulah yang menarik perhatiannya.
"Mau beli Neng?" tanya penjual kerak telor dengan mata berbinar. Dia pun berbahagia karena ada orang yang mau menghampiri dagangannya
"Boleh Bang, mau satu porsi ya!" seru Nila lalu duduk di pinggir teras yang memang terletak paling ujung.
"Oke, ditunggu ya. Biar saya buatkan dulu." Penjual itu mulai meracik kerak telor. Sebagaimana kita tahu kalau makanan itu berasal dari Jakarta. Tetapi sungguh ajaib bagi Nila, ternyata di Palembang pun ada.
"Abang jual ini, asli dari Jakarta?" tanya Nila sambil memperhatikan penjualnya memasak.
"Bukan Neng. Saya asli Palembang."
"Loh kok bisa logat betawi sih Bang? Terus orang Palembang juga hebat bisa bikin kerak telor," kata Nila memuji penjual itu.
"Bukan ape-ape sih Neng. Aye tuh biar mendalami peran. Banyak yang bilang kalau jualan dari hati bisa mendatangkan rezeki pada barang jualannya sendiri. Padahal saya baru sekali doang ke Jakarta," kata penjual itu sangat mirip berjualan kerak telor di kota aslinya. "Neng asal darimana?" tanyanya lalu mengipas arang supaya bisa cepat matang.
"Oh bisa gitu ya Bang," kata Nila hanya tersenyum simpul. Sebab sebagaimana kita tahu, kalau makanan itu memang aslinya dari kota metropolitan. "Sayangnya saya gak pandai dagang ... " sambung Nila lalu duduk sambil bertopang dagu.
"Ya setiap orang kan pasti rezekinya beda-beda. Siapa tahu Neng mampir ke sini bisa mengundang yang lain supaya bisa ikut datang juga."
"Aamiin ... "
Tidak butuh waktu lama, kerak telor yang dibeli Nila pun telah selesai dibuat. Ia sampai memejamkan mata saat mencium aroma wangi yang membuat perut semakin meronta ingin segera diisi.
Perempuan itu menghabiskan makanan itu terlihat sangat lahap. Namun tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berhenti tepat di sampingnya.
"Astaga, disini bangak loh tempat makan. Kamu kok di sini?"
Suara itu tentu saja sudah dapat Nila tebak siapa orangnya, tak lain adalah Fatan.
Nila menengadah dengan mulut yang masih menyumpal kerak telor cukup banyak. Ia menatap sinis ke arah Fatan sambil mengunyah makanannya secepat mungkin. Tidak sampai lima menit, Nila pun menelan makanan itu.
"Mending Anda cari makan aja sana!" usir Nila merasa kesal.
Tanpa menghiraukan ucapan Nila, Fatan lebih dulu duduk bersebelahan dengannya.
"Pak, bisa gak sih gak usah ngikutin saya?"
"Kalau kamu gak mau diikuti sama saya, jangan jadi sekertaris saya!" tegas lelaki kitu.
Nila memutar malas bola matanya dan menghiraukan apa yang dikatakan oleh Fatan barusan. Ia semakin mempercepat makannya lalu bergegegas membayarnya.
Benar saja, Fatan hanya mengganggu Nila tadi. Bukan untuk membeli kerak telor itu.
"Nila ... "
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 182 Episodes
Comments
Uthie
ekhemm 🤭
2023-10-30
2
Nursugi Imawan
apa sayang🤭🤭🤭 gak mau ditinggal ya....🤣🤣🤣
2023-05-12
2