Sesaat setelah jam masuk kantor, Nila di panggil untuk menghadap atasannya. Sempat ada perasaan gugup yang mendera Nila, namun ia masih bisa mengontrolnya dengan baik.
Nila mengetuk pintu.
"Masuk!"
Perempuan itu patuh saat mendengar perintah dari dalam. Nila membuka pintu dan langsung tampak atasannya itu sedang menatap dirinya.
"Sepertinya mulai hari ini kamu akan sibuk, Nila," kata atasannya itu sambil membenarkan kacamatanya.
Nila menutup pintunya kembali. "Memangnya ada apa ya Pak?"
"Karena mulai hari ini kamu harus ajari Alika semua pekerjaan yang biasa dikerjakan kamu setiap hari. Terus, minggu depan kamu akan di training khusus oleh sekertaris Presdir, Bu Vanka. Kamu tahu bukan?"
Nila menganggukkan kepala, lalu atasannya melanjutkan ucapannya lagi. "Mengingat waktu perpindahanmu kurang lebih satu bulan lagi, jadi penempatan kamu di sana harus semaksimal mungkin. Itulah yang diminta oleh Presdir," jelasnya.
Nila mengangkat kedua alisnya seraya menarik napas dalam-dalam. "Alika admin produksi, Pak?" tanyanya memastikan.
"Iya, dia. Kamu kenal?"
"Nggak sih Pak, cuma tahu aja muka sama namanya," jawab Nila dan atasannya hanya mangut-mangut.
"Oh iya satu lagi ... Saya juga baru dapat kabar kalau CEO yang akan megang perusahaan di Palembang udah ada. Jadi, siapkan juga mentalmu untuk menghadapinya ... Denger-denger kalau CEO itu masih muda, mungkin usianya sekitar dua puluh sembilan tahun."
Nila menautkan alisnya, "Oh gitu Pak ... CEO-nya perempuan atau laki-laki?" tanyanya penasaran.
"Laki-laki. Dia masih masuk ke dalam keluarga perusahaan ini juga," jawab atasan Nila.
Mulut Nila menyerukan kata 'Oh' cukup panjang. Lantas atasannya itu menyuruhnya untuk kembali ke tempat kerjanya. Nila pamit lalu keluar dari ruangan itu.
.
.
.
.
Seharian ini, Nila sangat sibuk. Hingga menjelang jam pulang kantor, dirinya masih berkutat dengan lembaran kertas di atas meja. Sesekali Nila melihat ke arah jam dinding, ada sedikit rasa kesal karena Alika tiba-tiba mengalami diare sehingga rencana yang harusnya dimulai hari ini mendadak berantakan.
Hingga di menit-menit terakhir, Nila akhirnya mampu menyelesaikannya. Ia sampai mengembuskan napas panjang, merasa sangat lega. Namun kepalanya terasa berdenyut, pening dan ingin sekali segera merebahkan tubuh di atas tempat tidur yang empuk lalu memejamkan mata.
Sayangnya Nila hanya bisa menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Meskipun kursi yang dipakainya itu terasa empuk, namun baginya sama saja yang keluar pun hanya sebuah bunyi 'kretek' saat Nila meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Dimulai dari bagian kepala, tangan hingga pinggang, dan terakhir bagian pergelangan kaki serta jemarinya.
Tiba-tiba di tengah pada posisi duduk yang sangat nyaman, ponsel Nila berdering. Perempuan itu mendiamkannya beberapa saat karena masih ingin menikmati. Apalagi nada dering yang dipakainya itu terasa lembut di telinga. Semakin lama ia malah terhanyut dengan kedua mata yang sengaja dipejamkan.
"Nila, itu ada yang telepon kok gak diangkat?" tanya Alika yang baru saja datang ke meja kerja Nila, karena izinnya terakhir ingin buang air besar di toilet.
"Hmm ... Masih nikmat banget ini," jawab Nila.
"Nikmat apanya Nila?"
Seketika perempuan itu terlonjak kaget. Bukan karena pertanyaannya, tapi suaranya. Segera mungkin Nila memposisikan duduknya dengan benar.
"Eh, Pak ... " Nila tersenyum canggung.
"Kamu ini ada-ada aja." Atasannya hanya menggelengkan kepala melihat tingkah bawahannya itu. "Oh iya, besok Alika izin gak masuk katanya mau ke dokter, soalnya minum obat yang minta di klinik perusahaan gak manjur. Kamu tetap kerjain pekerjaan seperti biasa ya!' ujar atasannya itu.
Nila melirik sekilas ke arah Alika yang berdiri tidak jauh dari atasannya. Sesaat kemudian menatap lelaki paruh baya yang ada di depannya itu.
"Oh iya, Pak. Memang lebih baik gitu sih, periksa ke dokter," balas Nila lalu menoleh ke arah Alika. "Sekarang belum mendingan juga Alika?" tanyanya.
"Belum Nila, masih mules banget. Tadi pun di toilet sampai gak kuat berdiri karena saking mulesnya," jawab Alika masih memegangi bagjan perut.
"Ya udah tuh udah bel, waktunya pulang!" ajak Nila dan Ailka pun mengangguk. Nila berpindah posisi supaya Alika bisa duduk di kursi sambil membantunya merapikan meja.
Beberapa menit kemudian Nila sudah duduk di belakang kursi kemudi. Ia menyalakan mobilnya sampai mesinya di rasa sudah panas. Namun ponselnya kembali berdering. Nila segera merogoh ke dalam tas guna mengambil ponsel sebelum panggilan itu berakhir.
"Nomor baru? Jangan-jangan ini nomornya kak Dany," ujarnya lalu menjawab panggilan itu.
"Halo?" sapanya dengan suara pelan.
"Ini benar dengan Nila?"
Suara perempuan diseberang itu membuat Nila berpikir. Ia seperti kenal dengan suaranya.
"Iya benar. Kamu siapa ya?" tanya Nila.
"Aku Winda, masih ingat kan?"
Deg. Detak jantung Nila seakan berhenti beberapa saat. Dari mana Winda bisa dapat nomornya? Apa mungkin dia minta pada Bayu? Pikiran Nla semakn berasumsi sendiri.
"Oh iya ingat. Ada apa ya?"
"Kamu ada waktu gak? Aku mau ajak kamu ngobrol."
Ucapan Wind itu mengundang pertanyaan besar di diri Nila. Apa ini ada hubungannya dengan Bayu? Pikirnya lagi menerka-nerka.
"Kapn?"
"Sore ini. Kamu udah pulang kerja bukan?"
"Iya benar. Memangnya mau ketemu dimana Winda?"
"Di kedai tempat kita kemarin makan."
Nila tampak berpikir, perasaannya pun semakin terasa tidak enak.
"Maaf Winda, sore ini aku lagi ada urusan. Bagaimana kalau lain waktu aja?" usul Nila. Sebenarnya ia berbohong demi menjaga hatinya sendiri. Ia belum siap bertemu lagi atau mungkin sampai bicara banyak, apalagi itu semua sangat berhubungan dengan Bayu.
"Oh gitu, jadi kapan kira-kira aku bisa ketemu sama kamu?" tanya Winda lagi sedikit mendesak.
"Aku juga gak tahu, mungkin kapan-kapan ya," ucap Nila menolak secara halus.
Tak lama kemudian Winda tidak bicara apapun lagi dan sambungan telepon pun diakhiri olehnya. Mendapati hal itu Nila menjauhkan layar ponsel dari telinganya lalu tersenyum menyeringai.
"Apapun niat kamu buat ketemu sama aku, yang jelas aku akan terus menghindari kalian. Udah cukup Bayu nyakitin aku sebegitu nyelekitnya hati dan aku berusa merelakan Bayu buat kamu, Winda!" kata Nila berbicara pada ponselnya seakan itu adalah Winda.
Nila menaruh ponselnya di laci kecil yang terdapat pada dashboad mobil. Namun baru saja ditaruh, ponselnya berdering lagi. Nila meraihnya lagi, dan melihat ke layarnya.
"Nomor baru lagi? Apa ini Winda?" Nila tidak langsung menjawabnya. Ia malah menaruh ponselnya itu kembali dan melajukan mobilnya untuk segera pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan pulang, seperti biasa jalan utama sangat ramai dan yang paling menurut Nila berisik bukan dari bunyi klakson yang ada di luar, melainkan deringan ponsel yang terus menerus tanpa henti. Nila menjadi kesal sendiri. Hingga tepat berhenti karena lampu merah, Nila pun menjawabnya.
"Halo?" sapanya terdengar ketus.
"Hai Nila ... kok jutek banget sih. Masih inget kan sama suaraku?"
Nila terdiam mencermati suara laki-laki yang baru saja bicara di seberang telepon itu.
"Oh ... Kak Dany. Ada apa?" tanya Nila akhirnya menyadari.
"Gini, besok aku mau cari kado buat hari pernikahan orang tuaku. Kamu mau gak nemenin aku ke mall?"
Basa-basi Dany sudah bisa tercium oleh Nila kalau itu hanya pembukaan untuk mengajaknya kencan.
"Kenapa gak beli sendiri aja Kak?" tanya Nila lagi masih ketus. Apalagi mengingat Dany adalah temannya Bayu.
"Aku gak pandai pilih barang yang bagus. Kali aja kalau ada kamu bisa ngasih solusi."
"Modus!" cicit Nila yang sekilas didengar oleh Dany.
"Kenapa Nila?" tanya Dany memastikan.
"Oh nggak Kak. Gak apa-apa. Ya mending sih kalau kataku Kakak beli sendiri aja. Lagi pula besok aku ada urusan. Oke? Bye!" Nila segera mengakhiri panggilan dari Dany. Suasana hatinya benar-benar berantakan hari ini.
Tepat saat lampu sudah kembali hijau, Nila langsung melajukan mobilnya menuju rumah.
.
.
.
.
Sementara itu di tempat lain, Winda sangat kesal karena Nila tidak mau bertemu dengannya. Wajahnya tampak merah padam, padahal ia baru saja selesai make up untuk acara talk show beberapa menit lagi.
"Kamu kenapose Winda? Muka kok ditekuk gitu kayak duit lecek!" ledek sang manager menepuk kedua bahu Winda.
"Gak kok, cuma kesel aja sama orang. Diajak ketemu kok susah!" protes perempuan itu.
"Siapa sih? Jadi kepo deh aku," kata managernya lagi, sementara Winda langsung mendengus. "Udah gak usah kesel-kesel. Semalam aku dapat chat dari pemilik perusahaan model terkenal di Paris. Aku sama dia ngobrol-ngobrol, terus kebetulan dia lagi nyari model. Hmm ... " Managernya melihat Winda sangat detail. "Sepertinya kamu cocok, Win," ucapnya sangat yakin.
"Paris jauh sekali, kenapa gak disini aja Sis?" tanya Winda pada managernya yang bernama Sisya.
"Disini kan kamu hampir beberapa perusahaan model terkenal udah dicoba. Sekarang saatnya mumpung ada tawaran di luar negeri, kamu bisa go internasional. Kesempatan emas loh ini!" seru Sisya.
"Tapi Sis ... "
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 182 Episodes
Comments
syamsul anam
bentar lagi kan deket sama ceo..moga cocok🤭🤭
2024-01-06
1
Andi Fitri
Nila hindari aja orang yg berhubungan dgn Bayu bahkan dany semoga dpt jodoh lain tpi terserah author sich😁
2023-06-04
3