Nila baru saja menyelesaikan makan malamnya. Perutnya sudah terasa kenyang dengan sepiring nasi beserta lauk pauk yang tadi sempat diantarkan oleh ibunya.
Lantas pikirannya seketika kembali pada Bayu, lelaki yang telah memutuskannya sepihak tanpa ada sebuah alasan yang membuat hati Nila lega dan rela untuk melepaskan dia.
Setelah menaruh piring di dapur, Nila masuk lagi ke kamar untuk membersihkan wajah serta mengganti pakaian. Tubuhnya sudah terasa lelah, apalagi hatinya. Rasanya sudah cukup ia menangisi lelaki yang tidak sepatutnya ditangisi. Nila pun mulai mengantuk.
Namun sebelum tidur, ia meraih ponselnya terlebih dahulu yang berada di atas bantal. Saat ponsel dinyalakan, tidak ada pesan apapun lagi dari Bayu. Akhirnya Nila menarik napas dalam-dalam lalu membalas pesan lelaki itu.
"Iya, semoga kamu bahagia."
.
.
.
.
.
Di tempat yang berbeda. Bayu menatap keluar jendela kamarnya. Tatapannya itu sangat jauh bersama sebuah memori yang sudah menjadi masa lalu karena keputusannya sendiri.
Ditengah lamunannya, terdengar sebuah ketukan pintu bersamaan dengan suara notifikasi pada ponselnya. Bayu hanya melihat sekilas ke layar benda pipih persegi panjang itu lalu menoleh dan berbalik badan bersamaan dengan pintu yang terbuka.
"Bayu ... "
"Mama ... "
Perempuan berusia setengah abad itu berjalan menghampiri Bayu. "Kamu udah ngelakuin apa yang Mama suruh?"
"Udah Ma," jawab Bayu singkat dan terdengar malas. Lelaki berusia 30 tahun itu masih belum merasa lega hatinya.
"Dia bagaimana? Mau nerima?" tanya perempuan itu.
"Bayu rasa sih enggak, Ma. Bayu tahu banget Nila gimana. Dia pasti akan mencari tahu sendiri."
Perempuan itu kemudian menghela napas panjang. "Ya kalaupun suatu hari dia tahu, bilang aja kalau semua ini Mama yang mau. Toh, sampai kapanpun Mama gak pernah setuju kamu dengan dia." Tangannya menepuk bahu Bayu. "Jangan tidur terlalu larut, jaga kesehatanmu sampai hari pernikahanmu tiba." Dia pun berbalik badan lalu pergi dari kamar Bayu.
Sayangnya lelaki itu hanya bisa patuh. Satu kelemahannya yang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun ketika sang ibu yang memintanya. Sebab Bayu sudah tidak punya ayah. Baginya, kebahagiaan ibunya lah satu-satunya yang harus diutamakan saat ini. Termasuk menikahi perempuan pilihan ibunya sendiri.
Setelah pintu tertutup kembali, Bayu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil melipat kedua tangannya ke atas dan dijadikan sebagai bantalan kepalanya.
"Nila, aku masih cinta sama kamu. Sangat mencintaimu. Tapi rasa cintaku sama kamu, gak bisa menghalangi permintaan mama-ku," ucap Bayu bermonolog. Namun seketika ia ingat akan notifikasi yang tadi sempat masuk ke dalam ponselnya.
Lelaki itu langsung mencari keberadaan gadget-nya dan bergegas melihat siapa yang mengirim pesan padanya.
Hatinya seakan melesat jatuh sedalam-dalamnya ke relung yang paling dalam tatkala melihat isi pesan yang dikirimkan oleh Nila.
"Apa dia benar-benar merelakanku menikah dengan perempuan lain? Setegar inikah dia?" gumam Bayu seraya menaruh ponselnya lagi ke atas meja nakas yang ada di samping tempat tidurnya.
...****************...
Keesokan harinya pukul 7 pagi, Bayu masih terlelap dengan suara dengkuran kecil yang keluar dari mulutnya. Lelaki itu tampak sangat lelah. Sebab semalaman, ia tidak bisa tidur sama sekali.
Bayu pun sampai tidak sadar ibunya masuk ke dalam kamarnya. Perempuan separuh abad itu hanya menghela napas panjang dengan tangan yang dilipat di dadanya.
"Bayu, bangun. Kamu harus fitting baju pengantin sama Winda pagi ini. Belum lagi jemput calon istrimu di rumahnya," kata ibunya sambil menggoyangkan tubuh Bayu supaya anaknya itu lekas bangun.
Bayu pun menggeliat, mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajah. "Ma, bisa gak fitting bajunya agak siangan? Bayu masih ngantuk banget ini, kepala juga rasanya pening. Tolong ya Ma bilangin Winda," ucapnya yang enggan beranjak dari tempat tidur.
"Siangnya jam berapa? Butik yang direkomendasiin temen Mama itu kalau siang ramai sekali. Takutnya kalian malah gak ketemu sama pemilik butik itu," sahut ibunya.
Bayu memejamkan matanya beberapa saat, lalu membukanya lagi. "Jam sebelas siang ya Ma. Oke? Bayu mau tidur lagi." Lelaki itu kemudian menarik selimutnya lagi sambil memejamkan mata.
"Ya udah deh kalau begitu." Sang ibu pun akhirnya menyerah dan memilih mengikuti apa kata Bayu lalu keluar dari kamar anaknya itu.
Bayu menghela napas panjang dan terlelap lagi dalam tidurnya.
.
.
.
.
Di kediaman Nila. Perempuan itu baru saja selesai menyisir rambutnya di depan cermin. Pandangannya mengarah ke sebuah ponsel yang ada di atas meja tepat di depannya. Selama delapan tahun, Nila dan Bayu selalu menjaga komunikasi mereka dengan baik, dari pagi hingga malam. Meski terkadang sama-sama sibuk, tapi ketika ada waktu senggang keduanya sering melakukan panggilan video call.
Namun kali ini berbeda. Sejak Nila membalas pesan dari Bayu, tidak ada lagi suara notifikasi pesan maupun panggilan masuk ke dalam ponselnya. Hidupnya seketika hening dan penuh kebingungan entah mau apa.
Lantas semakin lama, kedua tangannya sudah sangat gatal sekali. Nila pun mencoba menghubungi Bayu kembali.
Percobaan pertama, tidak ada jawaban. Percobaan kedua, masih tidak ada jawaban. Panggilan demi panggilan terus Nila lakukan, sebab ia ingin jawaban yang pasti dari Bayu. Sebuah jawaban atas pertanyaan kenapa lelaki itu memutuskan hubungan begitu saja. Hingga percobaan terakhir dalam deringan kedua, panggilan Nila akhirnya di jawab oleh Bayu.
"Kalau kamu mau tahu alasan aku kenapa memilih menikahi perempuan lain, tentunya hanya satu. Keinginan Mama-ku. Udah jelas bukan? Jadi aku minta jangan menghubungi aku lagi. Paham?"
Belum sempat Nila berbicara padanya, sambungan telepon pun terputus. Air matanya menetes kembali, bukan hanya sebuah tetesan, melainkan bagai anak sungai yang mengalir deras melewati pipi mulusnya. Wajahnya menunduk dengan kedua tangan yang merumat kencang ponsel yang sedang digenggamnya.
"Ya Tuhan, kenapa mencintainya perlu akhir yang sesakit ini? Bisakah aku melupakan dan menghilangkan perasaanku untuknya?" kata Nila sambil menatap pantulan dirinya pada cermin lalu menangis sampai terguguk. Matanya terlihat sangat sembab, bahkan terlihat jauh lebih sipit dibanding sebelumnya.
Sampai satu jam kemudian, Nila kelelahan menangis. Ia membaringkan tubuhnya sejenak di atas tempat tidur.
"Kalau perempuan itu jauh lebih cantik dariku, aku akan mengubah total penampilanku selama ini menjadi jauh lebih modis dan berkelas. Aku bakal buktiin sama dia dan Mama-nya kalau aku perempuan yang jauh lebih baik dari perempuan itu! Lihat aja!" gumamnya merasa sangat yakin.
Nila mencari keberadaan ponselnya lagi. Setelah ketemu, ia mencari tahu klinik kecantikan yang rekomendid di kotanya. Lantas teman satu kantor dengannya pun memberi tahu salah satu klinik baru, tapi letaknya ada di dalam mall. Tanpa berpikir panjang, Nila pun segera bersiap. Ia harua berangkat saat ini juga dan menghiraukan matanya yang tampak sangat sembab sekali. Beruntung hari ini masih hari libur kerja, jadi bisa Nila manfaatkan.
Ketika keluar dari kamar dengan pakaian rapi, Lativa menghampirinya.
"Mau kemana Kak?"
"Ke klinik," jawab Nila singkat.
"Klinik apa? Mata?" tanya Lativa lagi.
"Klinik kecantikan lah Tiv." Nila memutar malas bola matanya.
Mata Lativa seketika berbinar tampak antusias. "Serius? Aku ikut ya?"
"Apaan sih, kulit kamu itu masih bagus. Perawatan pake skincare warung aja udah sama bedak bayi. Masih lima belas tahun juga, mau ikut-ikut ke klinik kecantikan!" sewot Nila yang suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja, dan adiknya jadi terkena kesensitifannya.
"Kakak kenapa sih? Lagi dapet deh pasti! Ibuuuuuuuuuu!" Lativa berteriak memanggil ibunya yang saat ini sedang berada di halaman rumah bersama ayahnya.
"Berisik Tivaaaa! Udah di rumah aja, jangan ikut-ikut!" perintah Nila yang langsung bergegas keluar rumah.
"Ada apa sih kalian ini pagi-pagi kok udah ribut aja?" tanya ayahnya sambil melipat koran yang sedajl tadi dibacanya.
"Ini Yah si Tiva ... Nila mau ke klinik kecantikan, mau spa sekalian. Udah lama banget gak ngurus diri. Eh anak bontot Ayah sama ibu pengen ikut segala," jawab Nila dengan nada sinisnya.
"Lagian Kakak apa salahnya sih aku ikut, 'kan aku udah gak di gendong," sahut Lativa memasang wajah sedih.
"Gak bisa! Kakak mau pergi sendiri aja." Nila hendak berpamitan pada ayahnya, namun Lativa langsung merengek layaknya anak berusia lima tahun.
"Nila, ajak aja sana. Itung-itung temenin kamu di jalan. Lagian bahaya nyetir mobil tapi pikiran kamu masih ruwet," balas ibu membuat Nila tidak bisa berkutik lagi.
Nila memutar malas bola tanya. "Ya udah deh iya Lativa ikut." Ia kemudian menoleh ke arah adiknya. "Udah sana siap-siap! Sepuluh menit belum keluar, Kakak tinggalin!" perintahnya lalu Lativa langsung memperagakan hormat layaknya sedang upacara bendera.
"Laksanakan!"
...----------------...
Sepuluh menit berlalu, Lativa keluar dari rumah dengan pakaian rapi. Nila yang sudah duduk di belakang kemudi pun membunyikan klakson supaya adiknya bisa segera masuk ke dalam. Namun dari luar, Lativa justru menjulurkan lidahnya, meledek sang kakak sambil berpamitan kepada kedua orang tua mereka.
"Udah sana, nanti ibu suruh kamu masuk ke dalam lagi nih," ancam ibunya membuat Lativa seketika menggelengkan kepala.
"Iya Bu iya."
"Jagain kakakmu ya! Jangan bikin dia kesal terus. Ibu gak mau saat kalian pulang, muka kakakmu masih dilecak kayak cucian belum disetrika," pinta sang ibu.
"Iya Ibu tenang aja, tapi emang kak Nila lagi kenapa sih Bu?" Lativa masih sangat penasaran dengan kondisi kakaknya sejak kemarin malam.
"Udah jangan. Banyak tanya, pokoknya kamu harus bikin kakakmu bahagia lagi, oke?"
Lativa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Walau sebenarnya dia masih bingung, tapi alangkah baiknya gadis itu menuruti apa yang diamanahkan sang ibu padanya.
"Siap Bu! Kami pergi dulu!"
Lativa berlari menghampiri mobil lalu segera masuk ke dalam.
"Lama banget sih!" protes Nila kemudian mulai mengemudikan mobilnya.
"Maaf Kak, hehehe."
Nila hanya berdecak dengan pandangan fokus ke depan.
"Kak boleh nanya gak?" Lativa merasa ragu bercampur takut. Apalagi raut wajah kakaknya itu masih menyeramkan.
"Nanya apaan sih? Daritadi sebelum berangkat juga kamu nanya mulu," gerutu Nila merasa kesal.
"Sabar dong Kak. Oke? Aku lagi gak mau musuhan sama Kakak kok."
"Hmm! Nanya apaan?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 182 Episodes
Comments
Elisabeth Ratna Susanti
keren 😍
2023-09-03
2