Selain altar batu dan langit-langit yang bercelah menampakkan cahaya bulan, ruangan tersebut sepenuhnya kosong. Dalam ruangan berbentuk bulat itu, Jun terpaku sendirian, berpikir keras mencari cara untuk bisa keluar
"Apa ini semacam penjara? Tapi kenapa ada altar batu di dalam penjara? Sudah begitu atapnya juga berlubang," gumam Jun sembari menengadah menatap celah atap yang sepertinya muat untuk dilewati tubuhnya sendiri.
Akan tetapi, tinggi langit-langit itu tidak akan bisa dicapai oleh Jun meski sudah memanjat altar batu di bawahnya. Pemuda itu menatap sekitar, mencari petunjuk yang sekiranya disembunyikan dengan rapi di dalam ruangan berdinding batu kasar itu. tidak ada apa-apa selain sulur-sulur merambat yang tumbuh serampangan. Saat mengamati lebih dekat, Jun mendapati ukiran mirip prasasti yang bergambar lambang singa serta beberapa huruf kuno yang tidak dia mengerti. Satu hal yang diyakini Jun, tulisan itu adalah aksara Mesir Kuno, Hieroglif.
Jun menfokuskan pandangannya mengitari dinding-dinding yang rupanya penuh bertatahkan gambar-gambar dalam gaya Mesir. Seorang perempuan berpakaian mewah bak ratu. Dia dikelilingi singa yang tampaknya bersahabat baik dengannya. Lantas di ujung dinding, berseberangan dengan pintu masuk yang tertutup teralis besi, Jun menemukan satu-satunya tulisan yang diukir dalam bahasanya sendiri.
Aku selalu berada di atas para raja, di atas para pemimpin yang berkuasa di dunia, tapi aku tidak punya jabatan apa pun dalam pemerintahannya.
"Sebuah teka-teki," gumam Jun tanpa perlu berpikir dua kali. "Apa aku perlu menjawabnya sebelum bisa keluar dari ruangan ini?" lanjutnya berpikir.
Pemuda itu lantas berpikir keras. Apa maksud pernyataan tersebut? Dia selalu berada di atas para raja, tetapi tidak punya jabatan. Apa itu para dewa?
"Dewa," celetuk Jun mencoba bicara pada ruang kosong. Entah siapa yang bisa mendengarnya, ia juga tidak yakin.
Akan tetapi, ruangan tersebut sepertinya bereaksi. Sedetik selelah Jun melontarkan jawabannya, sulur-sulur yang tumbuh serampangan dari langit mendadak bergerak memanjang hingga menyentuh lantai. Jun yang terkejut secara reflek melangkah mundur, menjauh dari dinding. Tanpa sengaja tubuhnya membentur altar batu yang ada di belakangnya. Sentuhan itu membuat langit-langit ruangan tersebut berderak keras dan memaksa Jun untuk mendongak.
Sebuah ukiran baru sekonyong-konyong muncul di langit-langit berwujud kubah batu itu, seolah ada tangan tak terlihat yang sedang menorehkan batu runcing di sana. Jun mengamati masih dengan jantung yang berdebaran tak terkendali. Bukan karena takut, tetapi semata-mata karena rasa kaget akibat kejadian mendadak yang bertubi-tubi.
Selepas beberapa waktu mendengar bunyi gesekan dari langit-langit, tulisan itu pun akhirnya selesai ditorehkan. Teka-teki yang lain. Jun membacanya dalam hati.
Apa yang ada di ujung langit?
Pertanyaan pendek dan sederhana itu tertulis dalam bahasa yang dia mengerti. Meski tampaknya mudah, tetapi pertanyaan tersebut menggantung di benak Jun tanpa menemukan pasangan jawaban.
"Di ujung langit? Awan?" jawab Jun sembarangan.
Sekali lagi-sulur-sulur di dinding bergerak tumbuh semakin dekat dengan Jun. Pemuda itu kembali tersentak kaget dan menyadari bahwa kini jumlah sulur di dinding ruangan tersebut sudah semakin lebat.
"Ada apa dengan tanaman ini? Apa mereka tumbuh setiap kali aku menjawab? Jadi jawabanku salah atau benar?" rutuk Jun tak mengerti.
Semakin lama ia justru dibuat semakin bingung dengan ruang teka-teki tersebut. Namun, karena tidak ada cara lain untuk keluar, Jun hanya bisa terus berusaha menebak jawabannya.
"Oke, jawaban untuk pertanyaan pertama dulu. Di atas raja ...?" gumam Jun berpikir. "Kalau bukan dewa, mungkin Dewan Penasehat Kerajaan?"
Sulur-sulur kembali tumbuh semakin rapat dan semakin dekat dengan kaki Jun. Pemuda itu bergerak menjauh, tetapi posisinya sudah terjepit oleh rimbunya dedaunan dari tanaman rambat di sekitarnya.
"Ah, ya, aku salah. Penasehat kan jabatan di pemerintahan. Lalu apa?" rutuknya frustrasi. "Majelis? Bukan. Rakyat, rakyat, iya rakyat. Atau alam semesta?" lanjutnya terus menjawab secara asal.
Karena jawaban salah yang bertubi-tubi, sulur-sulur itu akhirnya tumbuh semakin banyak, rapat dan cepat. Jun berusaha menghindar, tetapi tanaman rambat itu justru membelit kedua kakinya dengan erat. Jun mengerang keras, berusaha menyepak-nyepakkan kakinya. Namun jumlah sulur lebih banyak dan terus bergerak dengan agresif untuk mencengkeram kedua kaki Jun. Dengan cepat sulur itu menarik tubuh Jun hingga pemuda itu jatuh terjerembab mencium tanah.
Tak berhenti sampai di sana, sulur itu masih menariknya naik hingga ia berakhir melayang di samping altar batu dengan posisi terbalik. Kepala di bawah dan kedua kaki di atas, terikat sulur dengan ketat.
"Sialan! Argh! Aku punya darah rendah! Turunkan aku!" seru Jun gusar. Ia berusaha memberontak, tetapi hanya berakhir menggeliat-geliat canggung di tengah ruangan. Jun ingat dirinya membawa belati kecil di tas ranselnya. Akan tetapi tas itu sudah terlepas jatuh saat ia bergulat dengan puluhan sulur yang menyergapnya.
"Sialan!" rutuknya sekali lagi. Satu-satunya jalan untuk bisa terbebas adalah menjawab teka-teki dengan tepat. Kali ini, Jun harus memikirkan jawabannya dengan hati-hati. Sulur-sulur ini mungkin akan melakukan hal lebih brutal lagi kalau dia salah.
"Mari kita pikirkan dengan tenang. Dia berada di atas para raja. Kalau semua jawabanku tadi salah, apa mungkin yang dimaksud bukan entitas yang hidup?" gumam Jun bertanya-tanya.
Butuh waktu beberapa menit bagi Jun untuk memikirkan jawabannya. Kepalanya mulai berdenyut-denyut pusing karena posisi tubuhnya yang tidak nyaman.
"Tunggu. Bagaimana kalau yang dimaksud adalah benda? Benda yang ada di atas para raja? Apakah jawabannya ..." Jun tampak ragu untuk menggumamkan apa yang dia pikirkan. Namun melihat kondisinya, dia tidak punya pilihan lain selain bertaruh dengan jawaban dalam benaknya "... mahkota?" pungkasnya sambil menyipitkan mata, bersiap akan segala kemungkinan terburuk.
Untungnya, tidak terjadi apa-apa. sulur-sulur itu tetap diam. "Apa itu artinya jawabanku benar? Tapi kenapa kalian tidak menurunkanku? Ini tidak adil!" protes Jun kesal.
Tidak ada jawaban. Ia tetap menggantung canggung di tengah ruangan. Tidak punya pilihan lain, Jun akhirnya beralih ke teka-teki kedua.
"Apa yang ada di ujung langit? Ini mungkin pertanyaan jebakan," gumam pemuda itu berpikir. Kini kakinya mulai terasa kesemutan, karena ikatan yang terlalu kuat dan suplai darah yang menipis di area tersebut. Meski begitu, ia tetap berusaha mencari jawaban yang tepat.
Jun ingat pernah bermain teka-teki semacam ini dengan Lana. Teman perempuannya itu cerdas, berbeda dengannya yang hanya punya otak rata-rata. Kalau Lana yang terjebak di sini, mungkin keadaan akan berebeda.
"Tidak. Aku tidak boleh pesimis. Ayo berpikir. Ingat saat bermain dengan Lana," tukas Jun berusaha tenang.
Sekilas Jun ingat Lana pernah memberinya pertanyaan yang mirip. Permainan kata. Jawaban dari pertanyaan ini bukanlah hal yang benar-benar ada, tetapi bagian dari kata tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments