Begitu kepulan debu yang menutupi pandangan Minotaur itu surut, seketikah itulah sang monster langsung berderap ke arah Jun dan Brithon sambil menghunuskan senjatanya. Brithon mengangkat tamengnya, berhasil menangkis lontaran tombak yang dilemparkan oleh makhluk setengah banteng itu.
Brithon lantas turut berlari menyongsong sang monster buas. Dengan pedang terhunus, pemuda itu berseru nyaring seolah tengah berada di medang perang sungguhan.
"Hei, Bodoh! Kenapa menyerangnya secara langsung seperti itu? Gunakan kekuatanmu, Bodoh!" seru Jun pada temannya.
Akan tetapi, Brithon tetap berlari seolah tak mendengar teriakan Jun. di tengah lapangan, pemuda itu akhirnya bertubrukan dengan Minotaur. Kapak makhluk itu berdentang keras menghantam perisai perunggu milik Brithon. Sementara satu tangannya terangkat memegang perisai, tangan lain Brithon mengayun untuk menebas bagian perut Minotaur. Sang monster berhasil menghindar ke samping.
Pertarungan seru terus berlangsung di antara keduanya, membuat Jun hanya bisa terdiam di ujung lain lapangan. Gada besinya tergenggam tak berguna, sementara Brithon sudah mulai melesatkan senjata-senjata lain dari pinggir lapangan dengan kemampuan telekinesisnya.
"Jun! Aku tangani monster ini! kau lanjutkan saja ke ruangan selanjutnya!" seru Brithon di tengah pertarungan.
Jun menimbang-nimbang sejenak. Tidak apa-apakah dia meninggalkan Brithon sendirian? Mereka sudah terpisah dengan Alex dan Lana, tetapi sekarang Brithon kembali menyarankan mereka untuk berpencar.
"Aku akan menyusulmu! Kau harus cepat menemukan sumber energi penghalang itu sebelum terjadi sesuatu pada Alex dan Lana," lanjut Brithon lagi.
Benar kata Brithon. Meski Jun mempercayai kemampuan rekan-rekannya, tetapi tidak ada yang tahu rintangan apa yang tengah menghadang mereka saat ini. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan mereka adalah dengan menemukan sumber anomali energi yang menghalangi kemampuan Lana, lalu membiarkan gadis itu menemukan mereka dan keluar bersama-sama dari tempat ini dalam keadaan hidup.
"Baiklah! Kupercayakan ruangan ini padamu, Brithon! Aku menunggumu di ruangan selanjutnya!" seru Jun kemudian.
Brithon mengacungkan jempolnya dari jauh. Begitu Jun melesat pergi keluar dari lapangan, si ahli telekinesis itu lantas mengangkat tubuhnya melayang di tengah lapangan. Dengan cara itu, ia bisa lebih mudah menyerang sang Minotaur tanpa perlu membiarkan dirinya diserang secara langsung. Sebelumnya Brithon tidak bisa melakukan hal tersebut karena ada Jun di sana. Ia khawatir Minotaur itu mengubah arah serangannya dan menjadikan Jun sebagai target. Jun bukan tipe petarung, karena itulah Brithon meminta Jun untuk melanjutkan perjalanan lebih dulu sementara ia bisa menghabisi Minotaur dengan waktu singkat. Setelah itu ia bisa segera menyusul temannya tanpa perlu membuang waktu. Setidaknya begitulah rencana Brithon. Ia tidak tahu bahwa mungkin keputusannya tersebut membuat keduanya terpisah dalam waktu yang lebih lama dari perkiraan.
Hal terakhir yang dilihat Jun adalah Brithon yang melayang setinggi dua meter di atas tanah. Dari atas sana, Brithon mengendalikan puluhan senjata-senjata besi untuk menyerang Minotaur. Jun sendiri langsung masuk ke pintu seberang lapangan begitu selesai mendaki tribun penonton. Kegelapan kembali hadir menyelimutinya. Namun kali ini, ia dihadapkan pada sebuah persimpangan lorong dengan dua arah yang berbeda: kiri dan kanan.
Pemuda itu berniat kembali ke lapangan tarung untuk memberi tahu Brithon jalan mana yang akan dia pilih. Akan tetapi, pintu di belakangnya mendadak bergeser menutup dengan suara gesekan batu yang berat. Jun mencoba berlari sambil berteriak berharap Brithon bisa mendengarnya. Namun, semua sia-sia. Pintu itu sudah tertutup sempurna begitu Jun mencapai ujungnya, meninggalkan kepulan asap tebal yang membuatnya terbatuk-batuk.
"Brithon ... ke kiri. Aku ambil jalan ke kiri," rintihnya putus asa.
Jun menghela napas. Firasatnya berkata bahwa mungkin ia dan Brithon akan berpisah cukup lama. Setelah ini, Jun harus menjelajah sendirian. Ia sedikit ragu kalau dirinya bisa melewati rintangan-rintangan di ruangan lain reruntuhan tersebut. Namun, Jun kembali mengingatkan dirinya bahwa sejak awal, perjalanan ini memang ia lakukan sendirian. Jadi, apa pun yang akan menghalangi langkahnya di depan, Jun harus bisa menghadapinya meski tanpa bantuan siapa pun.
Setelah menetapkan hati, pemuda itu pun lantas melangkah lagi. Senter yang semula dia masukkan ke dalam tas ransel saat memasuki area lapangan tarung, kembali dia keluarkan. Sebelum memilih salah satu jalan di persimpangan, Jun meninggalkan secarik kertas di dekat sana, berharap Brithon nanti akan melihatnya setelah selesai bertarung. Ia tidak yakin Brithon akan menemukan kertas tersebut di tengah kegelapan pekat seperti ini. Semoga rekannya itu cukup pintar untuk membawa salah satu obor dari lapangan tarung. Itu juga kalau obornya bisa dilepas dari dinding dan digunakan di luar area lapangan. Setidaknya Jun sudah melakukan usaha terakhirnya meninggalkan catatan.
Menyusuri bagian kiri lorong, Jun harus melewati beberapa persimpangan sebelum akhirnya ia sampai di sebuah ruangan kecil dengan sebuah altar batu bulat di tengahnya. Altar batu itu hanya selebar setengah meter dan tingginya kurang lebih setara dengan dada Jun. Langit-langit ruangan tersebut berbentuk kubah dengan sebuah lubang bulat tepat di atas altar. Dari lubang itulah cahaya bulan menyorot masuk, memberikan efek dramatis pada altar batu di bawahnya.
Jun melangkah masuk tanpa curiga. Baru selangkah ia melewati pintu ruangan tersebut, mendadak bunyi desing besi terdengar dari belakang punggungnya. Sontak Jun menoleh. Barisan jeruji besi muncul secara otomatis dan menguncinya di dalam ruangan kecil beraltar batu tersebut. Jun berbalik, mencoba menyentuh barisan jeruji besi tersebut. Namun, alih-alih memegangnya, tangan Jun justru tersengat aliran listrik yang membuat ujung jarinya terbakar.
Karena terkejut, Jun segera menarik tangannya dan berjalan mundur sambil mengumpat. Senter di tangannya pun terlepas jatuh ke lantai batu dengan keras. Alhasil benda itu rusak hingga tidak bisa lagi menyala. Beruntung masih ada cahaya bulan kebiruan yang menyeruak dari celah langit-langit ruangan tersebut. Meski begitu, Jun tetap merasa kesal dengan nasib sialnya tersebut.
"Ah, sialan. Terjebak di ruangan kecil tanpa senter sama sekali. Apa yang harus ku lakukan sekarang," gerutunya lantas kembali berbalik mengamati altar kecil di depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments