Memasuki area lapangan tarung, udara terasa lebih hangat. Obor-obor berkobar memberikan efek cahaya kekuningan yang menerangi ruangan yang cukup luas itu. Ada lusinan obor yang berkeretak dengan api berkobar-kobar menempel di dinding yang mengelilingi ruangan tersebut.
Jun dan Brithon berjalan menuruni tangga di tribun penonton. Tidak ada yang terjadi selama mereka brjalan turun. Ruangan itu sepi, tanpa ada siapa pun yang menemani kedua anak tersebut. Merka tampak begitu kecil di tengah ruangan luas dengan langit-langit kubah kaca yang transparan itu.
"Apa yang harus dilakukan di sini?" tanya Brithon yang yakin bahwa tempat itu pasti juga menyimpan tantangannya tersendiri.
Jun menunjuk ke depan, di seberang tempat mereka berdiri, ada sebuah pintu lorong yang terbuka, menampakkan kegelapan yang penuh rahasia. "Sepertinya kita harus pergi ke sana untuk mendapatkan jawaban ruangan selanjutnya," ujar Jun mengamati.
Brithon mengikuti arah pandangan Jun, melihat bahwa memang ada pintu lain tepat di tengah tribun penonton di depan mereka. Meski begitu, mereka harus menyeberangi lapangan terlebih dahulu untuk bisa mencapainya.
"Kita hanya harus ke sana? Semudah itu?" tanya Brithon tak yakin.
Jun menggeleng. "Kurasa tidak akan semudah itu. Lapangan tarung ini pasti bukan semata-mata hiasan belaka," ujar pemuda itu mengamati hamparan tanah padat berpasir yang mirip dengan arena pertarungan gladiator.
"Tapi aku tidak melihat siapa pun di sini. Siapa yang harus dilawan?" Brithon mengedarkan pandangannya.
Jun kembali menunjuk ke arah kanan dan kirinya, tepat di kedua ujung lapangan yang berbentuk oval itu. Dua buah pintu lorong lain tampak menganga, menampakkan kegelapan yang sama. Kedua pintu koridor itu berada di bawah dan membelah tribun penonton menjadi dua bagian. Karena itu Jun dan juga Brithon tidak akan bisa berjalan memutar menuju seberang lapangan melalui area tribun. Mau tidak mau, mereka tetap harus melewati lapangan untuk bisa berjalan menuju pintu yang lainnya.
"Apa akan ada sesuatu yang muncul lagi dari dalam sana?" tanya Brithon ngeri. "Kuharap bukan hantu-hantu," lanjut pemuda berbadan besar itu merinding sendiri.
"Kurasa hantu tidak butuh lapangan tarung untuk melukai manusia. Jadi kupikir, yang akan keluar mungkin semacam monster atau hewan buas. Tapi melihat tinggi pintunya, seharusnya yang muncul bukan raksasa seperti patung Sekhmet sebelumnya," terang Jun rasional.
"Masuk akal," jawab Brithon mengangguk-angguk. "Kalau begitu, aku siap. Tidak masalah kalau hanya melawan monster dan hewan buas. Setidaknya tubuh mereka tidak tembus pandang," tukasnya bersemangat.
"Berati-hatilah, Brithon. Kau mungkin sudah terbiasa bertarung melawan monster. Tapi tempat ini tetap berbahaya," kata Jun memperingatkan.
Brithon meringis lalu mengacungkan jempolnya dengan penuh percaya diri. "Tenang saja. Aku ahlinya. Lihat di sekitar sini bukan hanya ada tanah dan batu. Beberapa benda juga berserakan di pinggir lapangan. Aku bisa memanfaatkan benda-benda itu untuk pertarungan," ujarnya menunjuk ke sekeliling lapangan.
Jun mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk Brihton. Memang benar di bawah sana berserak beberapa senjata besi yang masih tampak berkilau. Ada pedang, tameng, tombak, gada, bahkan anak-anak panah beserta busurnya. Melihat kondisinya yang masih terjaga dengan baik, sepertinya benda-benda itu memang sengaja ditinggalkan di sana untuk bisa digunakan oleh penantang yang berhasil memasuki ruangan tersebut.
"Tidak ada aturannya kalau kita harus menggunakan satu senjata saja, kan? Aku mungkin perlu memakai beberapa, bahkan kalau bisa semuanya," ujar Brithon mulai melangkah turun.
"Kita tidak tahu aturannya, Brith. Mungkin saja hanya diperbolehkan mengambil satu," sahut Jun turut berjalan mengikuti temannya.
Brithon mengangkat kedua tangannya ke udara, lantas membuat gestur melambai seperti memanggil sesuatu ke dalam genggamannya. Seketika, sebilah pedang dan sebuah gada besi berduri melesat dari pinggir lapangan tarung langsung ke tangannya.
"Kurasa kita bisa memakai beberapa," ujarnya sembari mengedik pada Jun.
Jun menghela napas pelan. "Baguslah kalau begitu," jawabnya pendek.
Brithon masih nyengir puas mengetahui bahwa mereka mungkin akan bertarung melawan monster. Untuk beberapa alasan, pemuda itu memang cukup menikmati aktivitas fisik, termasuk pertarungan. Baginya itu semacam olah raga yang bisa membentuk tubuhnya. Mengingat sifat Brithon yang seperti itu, Jun sedikit banyak merasa lega. Setidaknya temannya itu cukup bisa diandalkan untuk melakukan pertarungan terbuka.
"Ini," kata Brithon mengulurkan gada besi berduri di tangannya pada Jun.
Jun menerimanya. Mereka sudah berada di pinggir lapangan, tetapi belum masuk ke garis batas area pertarungan. Brithon masih memilih-milih beberapa senjata lagi, sementara Jun sudah cukup puas dengan gada besi yang diberikan rekannya. Ia tidak fasih menggunakan senjata lain, dan gada besi dengan bola berduri di ujungnya itu terlihat cukup kuat untuk menghantam kepala makhluk buas. Jun juga punya banyak pengalaman memukul bola baseball. Dia adalah batter terbaik di tim Akademi Diora. Mungkin karena itu Brithon memilihkan senjata tersebut untuk Jun. Sahabatnya itu memang mengenal Jun dengan baik.
"Oke, kau siap?" tanya Brithon setelah menenteng tameng perunggu mengkilap sebagai pasangan dari pedang satu tangannya.
Jun mengangguk sembari menggenggam gada besinya dengan dua tangan. Gada itu jelas kuat, tetapi untungnya tidak seberat kelihatannya.
"Baiklah. Ayo kita masuk sekarang kalau begitu," ajak Brithon lantas melangkahkan kakinya melewati garis pembatas area pertarungan.
Setelah keduanya masuk ke dalam area, fokus Jun hanyalah untuk berlari menuju ke seberang. Akan tetapi lapangan tersebut lebarnya saja sekitar tiga puluh meter atau bahkan lebih. Bahkan sebelum mereka mencapai tengah lapangan, monster yang akan menjadi lawan mereka mungkin sudah keburu muncul dari pintu-pintu di ujung lapangan. Karena itulah Jun menekan keinginannya untuk lekas-lekas kabur dari tempat itu. Ia yakin tidak ada gunanya melarikan diri.
Dan benar saja, baru dua langkah menjejakkan kaki di lapangan tarung, dari salah satu ujung pintu yang menganga lebar itu terdengar suara embusan angin keras. Kepulan debu menyeruak dari pasir-pasir yang beterbangan di sekitar pintu itu. Kejadian tersebut seolah mengonfirmasi kedatangan Jun dan Brithon sebagai penantang baru di tempat itu.
Bunyi debam terdengar dari arah pintu tadi. Jun dan Brithon segera mengangkat senjata mereka dan mengamati dengan waspada. Tidak ada yang tahu monster apa yang akan muncul dari dalam sana. Namun, dari efek sebelum kemunculannya yang dramatis saja sudah terasa tekanan kekuatan makhluk tersebut.
Beberapa detik menunggu dengan penuh ketegangan, sepasang kaki hewan berkuku belah menyeruak dari balik kepulan debu pasir. Jun mengamati dengan seksama. Meski memiliki kaki banteng –yang jauh lebih besar dari banteng pada umumnya– , tetapi tubuh makhluk itu serupa manusia laki-laki yang kekar dan berotot. Ia bertelanjang dada dan menampilkan bahunya yang bidang dan otot perutnya yang liat. Namun, makhluk itu kembali memiliki kepala banteng, lengkap dengan sepasang tanduk besar berujung runcing di atasnya. Dua tangannya menggenggam senjata yang berbeda, kapak di tangan kanan, dan tombak di tangan kiri.
Jun mengenali wujud makhluk itu saat mempelajari legenda makhluk buas dalam mitologi. Tak pernah ia menyangka bahwa suatu ketika ia harus berhadapan dengan makhluk tersebut di kehidupan nyata. Sambil menelan ludah kelu, Jun melirik ke arah temannya.
"Minotaur," desis Brithon yang justru menyeringai penuh semangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments