The Magic Lamp

The Magic Lamp

Pembisik

Pembisik.-whisperer. Itulah julukan yang disematkan pada Ranjun Sigh, pemuda berusia enam belas tahun berambut cokelat dengan kulit putih. Panggilan itu tidak salah, mengingat kemampuannya memang berkaitan dengan bisikan. Ranjun, siswa Akademi Diora, sekolah khusus anak-anak berbakat, memang memiliki kemampuan mendengar bisikan arwah.

Seingat Jun, panggilan akrab pemuda itu, ia memang sudah bisa mendengar bisikan-bisikan aneh sejak kecil. Mulanya ia tidak tahu bahwa makhluk-makhluk yang sering berbisik padanya itu adalah roh, atau spirit, atau arwah –ketiganya adalah entitas yang berbeda, percayalah–.

Awalnya, Jun kira semua orang juga bisa melakukannya. Karena itulah ia tidak pernah membicarakan tentang kemampuan itu pada siapa pun, termasuk orang tuanya. Meski begitu, Jun memang merasa bahwa orang-orang di sekitarnya selalu memperlakukannya dengan aneh, seolah dia tidak waras. Bahkan orang tuanya juga selalu mengucilkan pemuda itu tanpa sebab, dan hanya menyayangi kakak sulungnya saja. Ibunya bahkan pernah mengancam Jun agar tidak melakukan tindakan aneh seperti itu lagi.

Belakangan, Jun baru tahu alasannya. Rupanya ibunya adalah seorang pemilik kekuatan yang menikah dengan orang biasa. Beliau menyembunyikan identitasnya dan berpura-pura seolah tidak memiliki kemampuan spesial. Hal itu dilakukan karena kemampuan ibunya yang memang cukup berbahaya: kutukan.

Sejak saat itulah ibunya tidak mengizinkan Jun untuk memperlihatkan bakat khusus tersebut karena khawatir sang ayah akan meninggalkan keluarga mereka. Hingga akhirnya, tepat ketika Jun berusia sebelas tahun, seorang pria yang mengaku pengajar dari Akademi Diora mengetuk pintu rumah mereka. Akademi Diora adalah sekolah khusus bagi anak-anak yang memiliki kekuatan. Kedatangan pengajar tersebut rupanya bertujuan untuk merekrut Jun sebagai salah satu siswa di sekolah tersebut.

Begitulah akhirnya Jun memutuskan untuk meninggalkan rumahnya dan menjadi siswa di Akademi selama hampir lima tahun. Dan selama itu pula Jun tidak pernah pulang ke rumah untuk bertemu keluarganya. Kini, Jun yang sudah berada di tahun terakhir sekolahnya, mulai berpikir bahwa kekuatan pembisiknya mungkin tidak cukup kuat untuk menjaminnya mendapat pekerjaan sebagai pemilik kekuatan. Jun mungkin akan berakhir menjadi karyawan kantoran biasa dan harus kembali bergaul dengan orang-orang normal yang selalu mengucilkannya saat kecil.

Tidak. Jun tidak ingin mengalami hal buruk itu lagi. Sebelum lulus, dia bertekat untuk meningkatkan kemampuannya agar nantinya bisa bekerja menggunakan identitasnya sebagai pemilik kekuatan. Atas alasan itulah Jun akhirnya memutuskan untuk menyelinap kabur dari asrama sekolah.

Saat itu adalah jadwal liburan musim panas. Sebagian besar anak sudah pulang ke rumah masing-masing. Jun adalah penghuni tetap di asrama selama empat tahun terakhir. Namun, tahun ini, Jun memutuskan untuk keluar dari asrama. Berbekal bantuan dari roh-roh kenalannya, Jun pun mulai berkelana seorang diri menuju tempat yang sering disebut dalam buku sejarah sihir: Oglyt.

Kota antah berantah yang tidak tercantum dalam peta itu konon menyimpan artefak sihir yang sangat kuat. Jun berambisi untuk bisa mendapatkannya, meski kisah itu hanya mitos belaka. Ia pergi hingga ke perbatasan Siderland, bahkan menyeberangi lautan dan menuju benua yang asing di luar batas wilayah.

Di sinilah akhirnya Jun berada sekarang. Setelah satu bulan penuh melakukan perjalanan, pemuda itu pun sampai di sebuah dataran tandus yang hanya ditumbuhi pepohonan kaktus dan beberapa tanaman perdu meranggas. Terik matahari membakar kulitnya yang terbungkus jaket katun tipis. Topi baseball-nya yang berwarna putih gading kini telah berubah menjadi krem kecokelatan karena debu perjalanan.

"Kau yakin tempatnya di sekitar sini?" tanya Jun saat berteduh di bawah pohon perdu meranggas yang daunnya hanya segelintir. Cahaya matahari masih bisa menembus celah-celah perdu itu, membuat kulit Jun tetap diterpa oleh panasnya cuaca yang tidak bersahabat.

"Itu yang kudengar dari hantu-hantu pengembara yang gentayangan di padang gurun ini," jawab sesosok makhluk semi transparan berwujud pria tua berturban. Tubuhnya melayang-layang setinggi dua puluh sentimeter dari atas tanah, dengan kaki yang mirip seperti asap.

"Memangnya hantu pengembara itu bisa dipercaya? Bukannya hantu pengembara itu biasanya tidak waras? Mereka saja melupakan jati diri mereka dan mengembara tanpa arah di dunia," Jun kembali bertanya, napasnya berat dan peluh membasahi seluruh tubuhnya. Cadangan airnya sudah menipis, sementara kota terdekat jaraknya mungkin sekitar sepuluh mil dari tempat itu.

"Hei, tidak ada hantu waras yang berani mendekati daerah ini. Seperti ada selubung kekuatan menyeramkan yang memenuhi padang gurun, terutama kalau kau berjalan lebih jauh lagi. Karena itulah banyak hantu pengembara di daerah sini. Kurasa itu karena mereka nekat mendekati pusat padang gurun. Kabarnya di sana ada reruntuhan yang bahkan manusia pun tidak berani mendekat," ungkap sang hantu berturban.

Jun merenung sejenak, mengamati hamparan pasir yang membentang di segala sisi. Sejauh mata memandang, ia hanya bisa melihat gunungan-gunungan pasir saja, tanpa ada tanda-tanda reruntuhan yang dibicarakan si hantu berturban.

"Kurasa itu bukan karena manusia tidak berani mendekat, tapi karena mereka tidak bisa melihat tempat yang kau bicarakan itu. Reruntuhan itu mungkin hanya bisa dilihat oleh para hantu," komentar Jun menerka-nerka.

Sang hantu berturban tampak terganggu. "Aku menolak kalau kau memaksaku ikut menjelajah lebih dari ini," tukasnya sampai pada kesimpulan yang dia pikirkan sendiri.

Jun meliriknya, lantas mendengkus kecil. "Pergilah, pergilah. Aku juga tidak butuh hantu penakut sepertimu," ujarnya sebal.

Hantu berturban itu balas mendesis kesal. Ia lantas melayang terbang menjauhi Jun sambil marah-marah dengan aksen timur-tengah. Jun, sementara itu, memilih untuk melanjutkan perjalanannya setelah minum beberapa teguk air dari botol plastiknya. Ia mungkin harus bermalam di gurun jika tidak bisa menemukan reruntuhan itu siang ini.

Meski begitu, Jun tidak gentar. Ini adalah pilihannya sendiri. Dan entah kenapa perasaannya mengatakan bahwa ia sudah berada di tempat yang tepat. Mungkin, Oglyt, kota kuno misterius yang hanya legenda itu, sebenarnya sudah ada di depan matanya. Ia sudah tinggal selangkah lagi menuju akhir dari pencariannya.

Sambil menetapkan hati, pemuda itu pun melanjutkan langkahnya. Namun, belum sampai lima langkah ia meninggalkan pohon perdu meranggas tempatnya berteduh tadi, mendadak tubuhnya seperti dialiri listrik statis. Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi sensasi aneh yang dirasakan oleh tubuh Jun benar-benar membuatnya tersentak kaget.

"Apa itu tadi?" serunya sambil menghentikan langkah. Pemuda itu pun menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak menemukan keanehan apa pun. Padang gurun itu tetap sama kosongnya seperti sebelumnya. Hanya desau angin dan aroma matahari yang menyengat.

Jun pun mencoba mengulurkan tangannya ke tempat yang barusan dia lewati. Dan benar saja, sensasi aliran listrik statis itu kembali terasa menggelitik telapak tangannya, diikuti rasa dingin seperti melewati dinding es transparan.

"Whoa ... ini selubung sihir," gumamnya antusias. "Sepertinya aku memang sudah berada di tempat yang benar." Jun tersenyum puas lantas kembali melanjutkan perjalanannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!