Lorong Buntu

"Kita terus maju," kata Jun memberi keputusan. "Alex dan Lana akan baik-baik saja. Kemampuan perisai Alex juga bisa digunakan untuk menyerang. Dia juga sudah terlatih untuk melakukannya. Jadi mereka pasti baik-baik saja. Sementara itu, kita harus cepat menemukan penyebab anomali energi di tempat ini agar Lana bisa segera menggunakan kemampuannya untuk menemukan kita dan mencari jalan keluar," lanjut pemuda itu menjelaskan.

Brithon mengangguk setuju. "Kau benar. Itu masuk akal. Baiklah. Ayo kita lanjutkan pencarian."

Keduanya pun melanjutkan langkah mereka di tengah lorong gelap yang seolah tek berujung. Cahaya senter di tangan Jun menjadi satu-satunya pemandu jalan mereka. Jun masih bertanya-tanya mengenai tempat yang tengah mereka lewati itu. Padahal tadi dia mendengar suara bisikan-bisikan para hantu, tetapi nyatanya tidak ada sesosok makhluk pun di sana. Bahkan hantu pengembara pun tidak ada. Lorong itu sepenuhnya sepi. Lantas suara apa yang tadi dia dengar? Masih menjadi misteri.

Saat tengah berjalan dalam diam, mendadak sorot lampu senter Jun menyinari ujung lorong tersebut. Namun, alih-alih ruangan, atau sekadar pintu, mereka justru menemui dinding batu padat yang tak tertembus. Tidak ada apa-apa lagi di sana selain jalan buntu yang tidak bisa dilalui.

"Sialan! Setelah berjalan selama ini, rupanya jalan ini buntu!" rutuk Brithon marah.

Jun diam saja, mencoba mengamati dinding sekitar dengan senternya. Tidak ada yang aneh di sana, kecuali tumpukan batu padat yang kasar. Lantas apa fungsi lorong itu kalau ujungnya tidak membawa mereka ke mana-mana. Entah kenapa Jun merasa jalan itu tidak sepenuhnya buntu. Pasti ada sesuatu yang harus mereka pecahkan untuk bisa membuka jalan ke tempat lain.

Kini jun mulai meraba-raba permukaan dinding itu. Mulai dari atas, sampai ke bawah, kanan ke kiri. Jun merasakan kontur permukaan dinding dengan sabar dan penuh perhatian. Biasanya ada semacam batu menjorok yang merupakan kunci pintu rahasia.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Brithon saat melihat tingkah absurd Jun yang lebih sepeti menirukan cicak dari pada mencari petunjuk.

"Siapa tahu ada kunci rahasia. Biasanya begitu kalau di film-film," jawab pemuda itu serius.

Brithon mengangkat satu alisnya, berpikir bahwa temannya itu mungkin sudah gila. Akan tetapi, karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi, Brithon akhirnya ikut melakukan hal yang sama.

"Kau terlalu banyak menonton film action," komentar Brithon meski sama-sama sedang merayapi dinding dengan telapak tangan.

"Terkadang beberapa adegannya terlihat masuk akal. Jadi siapa tahu–"

Kalimat Jun berhenti di tengah-tengah. Tak hanya berhenti bicara, Jun juga menghentikan kegiatannya mengusap dinding batu. Baru saja dia mendengar lagi bisikan-bisikan di telinganya. Suaranya pelan dan sayup-sayup, seperti bersal dari tempat yang jauh. Jun mencoba merapatkan pendangarannya. Namun suara gesekan tangan Brithon mengacaukan konsentrasi pemuda itu.

"Sstt ... diam dulu, Brith. Aku mendengar suara lagi," kata Jun menyuruh temannya untuk diam.

"Apa? Oh, oke," sahut Brithon kemudian berdiri diam tak bergerak.

Bisikan sahut-menyahut, seperti yang dia dengar sebelumnya, terdengar lagi. Akan tetapi, suaranya tidak berasal dari belakang punggung Jun, melainkan dari atas. Sontak, pemuda itu mengarahkan senternya ke atas. Langit-langit lorong itu sangat tinggi hingga tidak terjangkau oleh cahaya lampu senter. Meski begitu, Jun bisa menangkap kelebat-kelebat bayangan yang terbang mondar-mandir di atas sana. Para hantu. Jadi selama ini mereka mengamati anak-anak itu dari atas sana.

"Ada apa, Jun? Apa yang kau lihat?" tanya Brithon yang sama sekali tidak bisa melihat apa pun selain kegelapan.

"Para hantu. Rupanya mereka ada di atas sana. Terbang dan mengamati kita," jawab Jun apa adanya.

Tiba-tiba Brithon beringsut mendekat. "Kata-katamu mengerikan. Jangan buat aku merinding," ujar pemuda kekar itu tampak gelisah menyapukan pandangan ke segala arah.

Jun melirik teman baseballnya yang bertubuh tegap itu. "Aku tidak pernah tahu kau takut hantu," ujarnya sembari berdecak pelan penuh simpati.

"Aku tidak takut. Hanya saja kalau aku tidak bisa melihatnya, bagaimana caraku melindungi diri dari serangan mereka," kilah Brithon.

Jun mendengkus. "Jangan khawatir. Mereka tidak bisa menyerang manusia hidup, kecuali jenis yang penuh dendam dan berubah menjadi roh jahat," terangnya menenangkan. Namun, Brithon sudah kepalang takut. Tubuhnya merapat rekat dengan lengan Jun.

"Argh, kau membuatku geli. Menjauhlah. Tubuh besarmu itu menghimpitku sampai sesak," usir Jun mendorong Brithon dengan lengan dan sikunya. Namun Brithon tak bergeming, berdiri kokoh bagai batu karang.

Jun mendesah kesal. "Kau ini benar-benar ...," gerammnya merasa terganggu. Akan tetapi, karena Brithon sepertinya tidak berniat untuk menjauh, dan malah menatap sekeliling dengan cemas, Jun akhirnya membiarkan temannya itu menempel padanya.

Kini pemuda itu kembali mengarahkan senternya ke atas. Ia mencoba mencari jejak-jejak para hantu yang terbang memenuhi langit-langit lorong dan fokus pada bisikan-bisikan mereka.

"Pengorbanan ... mata di balas mata. Gigi di balas gigi." Potongan kalimat itu terdengar di telinga Jun, meski ia tidak mengerti maksudnya sama sekali.

"Hei, kalian," panggil Jun pada hantu-hantu itu. "Kalian kan yang membantuku mengalahkan patung Sekhmet tadi? Apa sekarang kalian bisa membantuku melewati lorong ini dengan selamat?" lanjutnya bertanya.

"Pengorbanan ... dengan perjanjian darah." Bisikan itu berlanjut, tetapi Jun masih tetap tidak mengerti.

"Apa maksudnya? Katakan dengan jelas," desak Jun dengan energi dominasi. Ia memaksa para hantu itu agar menurutinya.

"Pengorbanan dengan perjanjian darah akan membuka pintu ini ... gunakan darahmu ...." Ujar arwah-arwah itu dengan suara mendayu-dayu.

"Apa mereka bilang? Mereka bilang apa? Kau bicara dengan siapa? Apa itu arwah pemilik reruntuhan ini? Minta dia untuk membebaskan kita," cecar Brithon tak putus-putus.

"Bukan. Tenang dulu. Pertanyaanmu terlalu banyak. Tanya satu-satu," sahut Jun pusing sendiri dengan cecaran pertanyan Briton yang bertubi-tubi.

"Apa yang mereka katakan?" tanya Brithon mencoba untuk melontarkan pertanyaan satu per satu.

"Mereka bilang tentang pengorbanan. Dan perjanjian darah. Untuk membuka pintu ini harus menggunakan darah kita. Aku tidak mengerti. Apa maksudnya?" kata Jun menjawab.

Brithon tampak berpikir. "Perjanjian darah? Menggunakan darah kita?" gumamnya pada diri sendiri. Detik berikutnya, ekspresi Brithon berubah rileks. "Aku mengerti. Sepertinya kita harus menggunakan darah kita untuk melakukan perjanjian dan membuka pintu ini. Kalau di komik-komik, biasanya tokoh utama hanya melukai sedikit ujung jarinya untuk membuat perjanjian darah. Pasti itu yang harus kita lakukan," ujarnya tampak yakin.

Jun sedikit ragu dengan usulan Brithon. Meneteskan darah d tempat yang terkutuk biasanya membawa petaka.

"Kalau kau tidak mau, biar aku saja," tukas Brithon menyambar pisau lipat dari sakunya. Anak itu suka sekali membawa benda-benda aneh.

"Jangan!" cegah Jun cepat. Biar aku saja. Aku bisa melihat hantu, jadi kalau terjadi sesuatu, aku tidak akan ketakutan," lanjutnya.

"Aku tidak takut, dasar Breng –. Sudahlah. Terseah kau saja," ujar Brithon sembari menyerahkan pisau lipatnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!