Brithon sepertinya mendengar seruan Jun dari kejauhan. Meski hiruk pikuk pertarungan menimbulkan suara debam riuh batu-batu yang hancur, tetapi seruan Jun cukup keras untuk bisa menjangkau temannya tersebut. Sementara itu, Alex tengah membuat perisai pelindung yang menyelubungi Brithon dan Lana. Akan tetapi, menurut Jun, Alex mungkin tidak akan bertahan lama. Gempuran patung Sekhmet raksasa sama sekali tak berjeda. Replika dewi pembalasan dendam Mesir Kuno itu terus menghantam perisai kubus semi transparan buatan Alex dengan kedua tangan tanah liatnya.
"Cepat! Hancurkan altar batunya! Di bawah kaki makhluk itu!" seru Jun mengulangi perintahnya.
"Sabar!" sahut Brithon turut berseru keras.
Setelah melemparkan patahan pilar batu granit ke arah wajah Sekhmet –yang mana tidak menimbulkan kerusakan apa pun pada patung itu–, Brithon akhirnya mau mendengarkan Jun. Ia kembali mengangkat kedua tangannya sambil mengerang keras, tampak kepayahan. Sebuah lempeng marmer tebal sepanjang tiga meter bergerak melayang pelan di hadapan Brithon. Sepertinya itu bekas tatakan altar batu yang sudah pernah dihancurkan oleh penjelajah sebelum mereka.
Jun tidak peduli. Yang penting baginya sekarang adalah menyelamatkan teman-temannya dengan informasi yang dia peroleh dari para hantu. Terlepas informasi itu benar atau tidak, hanya bisa diketahui setelah mencoba.
Tiga puluh detik berlalu. Brithon terus mencoba menggerakkan lempeng marmer berat itu dengan kemampuannya. Hingga akhirnya, benda tersebut ahirnya berhasil melayang lebih tinggi. Dengan satu gerakan cepat, pemuda bertubuh kekar itu pun menghempaskan lempengan marmer itu ke arah altar batu yang dimaksud Jun. Hantaman keras menghancurkan altar batu itu dalam satu serangan, menimbulkan suara derak hebat diikuti kepulan pasir yang beterbangan.
Detik berikutnya, serangan patung Sekhmet itu pun berhenti seketika. Tidak ada lagi pukulan ke arah perisai Alex, atau bahkan gerakan sekecil apa pun dari sang monster batu. Jun bisa melihat di balik kepulan debu, tepat saat Brithon menghancurkan altar, patung Sekhmet itu langsung kembali ke posisinya semula, berdiri kaku dengan tatapan lurus ke depan. Dan selanjutnya, seluruh gerakan patung tersebut ikut berhenti begitu saja.
"Ini melegakan," ujar Brithon sembari menghela napas. "Sudah. Kau bisa melepaskan perisaimu, Alex," lanjutnya memberitahu.
Alex menurut. Ketiganya lantas berjalan gontai menuju lorong tempat Jun berdiri. Napas mereka pendek-pendek akibat aktivitas fisik dan penggunaan kekuatan yang tanpa henti.
"Syukurlah kalian baik-baik saja. Maaf karena aku tidak banyak membantu," ujar Jun menyambut teman-temannya.
"Kata siapa, Bung. Kau yang memberitahuku untuk menghancurkan altar. Berkat itu kita semua selamat," tukas Brithon sembari menepuk bahu Jun.
"Aku bahkan tidak melakukan apa-apa. Tapi tidak masalah. Itulah gunanya dua manusia berotot ini. Untuk melindungiku. Bukan begitu, Brithon? Alex?" celetuk Lana bergurau.
"Dasar beban," canda Brithon sembari menjitak pelan kepala gadis itu.
"Ah, menyebalkan." Lana mengusap kepalanya sambil meringis.
Sejenak, keempat anak itu menjadi rileks setelah berhasil melewati jebakan patung raksasa. Jun dan Alex hanya tertawa-tawa melihat tingkah dua temannya yang lain.
"Ngomong-ngomong. Kemana kita setelah ini? Apa kita harus menyusuri lorong gelap ini? Jun apa kau melihat ada makhluk tak kasat mata di sekitar sini?" tanya Alex kemudian.
Keempat anak itu berbalik dan menatap ujung lorong gelap yang sama sekali tidak terlihat. Jun mengangguk pelan, menceritakan tentang suara-suara yang barusan dia dengar.
"Mereka memberitahuku tentang altar batu yang bisa menghentikan Sekhmet. Jadi kurasa hantu-hantu di dalam sana tidak benar-benar berbahaya," ujar Jun menjelaskan.
Sebagian besar hantu yang ditemui Jun memang bukanlah jenis yang jahat. Biasanya arwah-arwah seperti mereka cenderung berenergi lemah dan hanya mondar-mandir karena tidak bisa pergi dari dunia ini. Mereka juga sangat rewel jika mengetahui ada manusia yang bisa melihat sosok mereka. Jun sering kali dimintai bantuan untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka saat masih hidup dulu. Hanya dengan cara itulah mereka bisa pergi ke alam yang lebih tinggi.
Dulu, Jun sering membantu para arwah. Namun belakangan, ia sudah bisa menolak permintaan-permintaan merepotkan itu dan membuat mereka menurutinya. Mungkin karena sudah mengenyam pendidikan di Akademi, jadi energi Jun pun semakin kuat hingga mampu membuatnya mengendalikan para arwah.
"A, aku takut hantu. Jadi jangan aku yang di depan," kata Lana tiba-tiba. Gadis itu mengulurkan senter yang dia bawa pada siapa pun yang mau menerima.
Jun mengambil senter itu dengan tenang. Kalau berhubungan dengan hantu, tentu harus Jun yang memimpin. "Biar aku saja," ujar pemuda itu lantas memandu ketiga temannya menyusuri lorong. Kegelapan total melingkupi mereka, seperti hendak menelan bulat-bulat. Bahkan cahaya senter hanya mampu menjangkau jarak sejauh dua hingga tiga meter di depan mereka. Jun mengarahkannya tepat ke depan sambil terus waspada terhadap berbagai bentuk jebakan tersembunyi.
Akan tetapi, sejauh ini lorong itu relatif aman. Dinding-dindingnya terbuat dari batu kasar kecoklatan. Lantainya juga terbuat dari bahan yang sama. Jun tidak bisa melihat langit-langit lorong itu karena terlalu tinggi meski lebarnya hanya muat untuk dua orang yang berjalan berjajar.
"Seberapa jauh lorong ini? Rasanya kita sudah berjalan lama sekali," ujar Brithon yang berdiri di sisi Jun. Alex dan Lana berjalan di belakang mereka dengan tenang.
"Entahlah. Tapi lorong ini cuma punya satu jalur. Itu artinya kita memang sedang menuju ke ruangan selanjutnya. Bukan begitu, Alex?" tanya Jun pada temannya yang merupakan murid berperingkat tinggi di Akademi.
Akan tetapi pertanyaan Jun tidak mendapat jawaban. Hanya kesunyian yang menggantung di belakang mereka. Sontak, Jun dan Brithon pun menoleh ke belakang. Gelap. Kosong. Alex dan Lana menghilang tak berbekas.
"Alex?" Lana?" panggil Jun memastikan. Siapa tahu kedua temannya itu hanya sedang iseng dan bersembunyi beberapa langkah di belakang mereka. Meski pemikiran itu meragukan, mengingat Alex dan Lana bukan anak yang suka melakukan candaan semacam itu, terutama dalam situasi genting.
"Hei, mereka menghilang," ujar Brithon menyadari kealpaan dua temannya. "Sial! Pantas saja aku tidak mendengar suara langkah mereka. tempat ini terlalu sunyi dan gelap. Sudah kuduga ada yang aneh di sini!" seru Brithon kesal.
Jun mencoba berpikir cepat. Apa yang harus mereka lakukan? Kemana Alex dan Lana menghilang? Lorong ini hanya memiliki satu lajur. Haruskah mereka menyusuri jalan yang sudah dilalui sebelumnya? Beragam pertanyaan dan pertimbangan memenuhi benak Jun. Namun tidak satu pun yang menghasilkan jawaban memuaskan. Rasa frustrasi dan kecemasan mulai melanda pemuda itu.
"Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?" desak Brithon menambah tekanan yang dirasakan Jun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments