"Lebam dan luka bekas cakar disekujur tubuh. Tulang kaki kanan patah, begitu juga dengan tulang tangan kanan. Tiga tulang rusuk retak, sama halnya dengan tulang pundak kanan. Terakhir, tulang tengkorak kepala juga retak karena terbentur dengan keras hingga tidak sadarkan diri hingga kini," jelas Mamoru sambil menutup mata. Saat kedua kelopak matanya terbuka lagi, dia menatap tajam Shiro yang ada di sampingnya. "Bagaimana Shura bisa mendapatkan luka separah itu, Shiro? Apa yang telah kau lakukan padanya?"
"Bukan aku!" bela Shiro. "Aku hanya berbaik hati menolongnya dengan membawanya kemari, bukan membiarkannya di bawah pohon, tahu!?"
"Kalau begitu, siapa?" tanya Aya, sedangkan saudara kembarnya, Maya hanya diam membisu membalut luka Shura yang sedang terbaring tidak sadarkan diri di atas futon kamarnya sendiri.
"Akihiko. Serigala berengsek itu." Jawab Shiro kesal.
Aya, Maya dan Mamoru terkejut mendengar jawaban Shiro. Mata mereka bertiga terbelalak tidak mempercayai apa yang dikatakannya, "Kau yakin, Shiro?" tanya Mamoru lagi.
"Kalau tidak percaya, ya sudah? Yang penting memang bukan aku yang melakukannya, walau sesungguhnya aku ingin sekali!" jawab Shiro sambil membuang wajahnya.
Mamoru, Aya dan Maya yang melihat sikap Shiro tahu, hanyou itu tidak berbohong. Shiro bukanlah orang yang bisa berbohong. Hanya saja, mereka tidak mengerti kenapa Akihiko melakukan itu. Memang, mereka tahu, hubungan antara Penguasa Tanah Barat dan Selatan tidak selalu baik. Namun, sikap yang diperlihatkan Akihiko dan Shura saat mereka tiba di Istana Tanah Selatan ini pertama kali juga tidak dikatakan buruk. Terlebih lagi, kalau menilai siapa sesungguhnya Shura itu, Akihiko tidak mungkin menyerang Shura hingga luka separah ini.
Ketiga bersaudara taijiya itu kemudian menolehkan kepala mereka menatap inuyoukai yang masih terbaring tidak sadarkan diri itu, kepala mereka penuh dengan pertanyaan yang tidak mereka miliki jawabannya.
Shiro juga menolehkan wajah menatap Shura dengan pelan. Melihat sosok yang tidak sadarkan diri itu, ada perasaan sedih, tidak tega dan marah yang tumbuh dalam hatinya. Dia ada di sana saat itu, melihat dengan kepala matanya sendiri, Shura yang menyerang Akihiko dengan segenap tenaganya, serta Akihiko yang juga tidak segan-segan dalam melawannya. Dia ingat ekspresi kesakitan yang dipelihatkan wajah selalu tanpa ekspresi itu—ekspresi wajah yang mati-matian menahan teriakan kesakitan saat Penguasa Tanah Selatan itu mematahkan tulang tangannya.
Pertarungan mereka memang bukan pertarungan biasa. Kedua pihak tidak main-main, hanya saja, tidak peduli betapa kerasnya Shura mencoba, seorang youkai yang baru berusia kurang dari sepuluh tahun tidak mungkin dapat mengalahkan Akihiko yang telah berusia ratusan tahun. Namun, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia memang berusaha menghentikan pertarungan itu, tapi yang besangkutan tidak mempedulikannya, mereka tetap saja maju untuk saling menyerang. Ekspresi wajah Shura saat itu penuh dengan tekad, seakan pertarungan yang dilakukannya itu adalah sesuatu yang harus dan wajib dimenangkannya untuk melanjutkan hidupnya. Shiro tidak mengerti, eskpresi wajah dan juga kegigihan Shura. Apa yang sebenarnya terjadi pada inuyoukai kecil ini? Mengapa dia bisa berada di selatan? Dan yang paling penting, jika apa yang dikatakan Akihiko padanya kemarin benar, bagaimana mungkin Shura bisa tidak mengenal Rin?
Di tengah kebingungan mereka, pintu kamar Shura tiba-tiba terbuka, dan Sakura berlari masuk dengan wajah pucat pasi penuh ketakutan. "Kak Shura!" teriaknya. Air mata mengalir menuruni pipinya. Tidak mempedulikan siapa pun yang ada di sana, dia langsung berlari mendekati Shura. "Kak Shura! Bangun! Kakak!" teriak Sakura terus sambil mengenggam tangan Shura.
Shiro yang melihat air mata adiknya segera berjalan mendekati hanyou kecil itu dan menghiburnya, "Jangan menangis, Sakura. Anjing mesum ini tidak apa-apa, dia tidak akan mati." Namun, yang bersangkutan tidak mempedulikannya, tangisannya malah semakin keras.
"Sakura-chan, dengan tangisan sekeras itu, kau akan membangunkan Shura-sama dari istirahatnya." Ujar seseorang tiba-tiba. Mata semua yang ada di sana termasuk Sakura segera mengarah pada sumber suara itu dan melihat Tsubasa yang berjalan memasuki kamar dengan tenang.
"T-tapi, K-kak Shu—" ujar Sakura terisak-isak. Namun, suara tenang seseorang tiba-tiba memotong ucapan hanyou kecil tersebut. "Aku tidak apa-apa."
Semua pasang mata yang ada di sana kembali menoleh pada pemilik suara tersebut, yakni inuyoukai yang semenjak tadi tidak sadaran diri. Mata emasnya kini telah terbuka kembali. Ekspresi wajahnya pun tetap seperti biasa; tidak berekspresi, seakan luka yang ada disekujur tubuhnya bukanlah sebuah masalah.
"Kak Shura, Kakak sudah bangun? Kakak tidak apa-apa, kan? Mana yang sakit?" tanya Sakura terus menerus. Air matanya yang mengalir tidak terhenti, butiran-butiran air mata itu jatuh membasahi pipi Shura.
Merasakan air mata Sakura, melihat wajah penuh ketakutan dan kesedihan di wajah cantik kecil itu, Shura merasakan kesakitan dalam hatinya. Dia membenci air mata dan ekspresi wajah Sakura yang seperti itu. Namun, dia lebih membenci dirinya sendiri sekarang. Karena dialah penyebab air mata dan ekspresi itu ada di wajah Sakura. Dengan mengumpulkan segenap tenaga, dia mengangkat tangan kirinya menghapus air mata di pipi Sakura. "Bukankah sudah aku katakan? Jangan menangis. Luka ini akan segera sembuh, tidak ada yang perlu kau tangiskan."
Sakura segera menangkat kedua tangannya menyentuh tangan Shura. Meski Shura memintanya berhenti menangis, air matanya tetap saja terus mengalir turun. Dia hanya bisa berusaha mati-matian menahan air mata dan tangisan yang sudah pecah. Dia mungkin memang masih kecil, tapi, dia jelas tahu luka disekujur tubuh Shura bukanlah sebuah luka biasa. Dirinya sangat takut saat terbangun dan mendapatkan kabar dari Tsubasa bahwa Shura terluka, dan saat melihat luka disekujur tubuh inuyoukai itu, ketakutannya semakin membesar. Bagaimana jika Shura sampai mati? Bagaimana kalau dia tidak dapat melihatnya lagi? Tidak bisa mencium baunya, merasakan kehangatan badannya dan mendengar suaranya lagi? Dia tidak mau itu terjadi! Sebab Shura sudah menjdi orang yang sangat berarti baginya.
Shiro hanya bisa berdiam diri dan mencibir saat mendengar ucapan Shura yang mengatakan dirinya akan segera sembuh. Luka separah ini tidak akan sembuh secepatnya, memerlukan beberapa minggu agar inuyoukai itu bisa kembali seperti biasanya. Wajah tegar dan tanpa ekspresi itu mungkin bisa menipu Sakura maupun semua orang, tapi, tidak untuknya. Walau dia tidak tahu bagaimana, dia bisa melihat dengan jelas kekecewaan, kesedihan bercampur penyesalan yang ada. Inuyoukai kecil di depannya jelas jauh sekali dari kata 'Aku baik-baik saja.' . Namun, dirinya juga tidak bisa mempungkiri betapa leganya dia saat melihat kedua mata emas itu telah terbuka.
"Shura-sama, sepertinya anda tidak memerlukan bantuan hamba untuk mengobati luka anda kali ini. Hamba tidak akan menganggu istirahat anda lagi. Kurasa semua yang ada disini juga demikian." Ujar Tsubasa tiba-tiba memecahkan keheningan yang ada. Selir Penguasa Tanah Selatan itu sebenarnya benar-benar sangat sedih melihat kondisi Shura sekarang, tidak peduli sudah berapa puluh kali dia melihatnya. Berapa kali dia telah meminta, memohon Shura untuk menghentikan pertarungannya yang sia-sia. Namun, tubuh kecil yang babak beluk itu tidak pernah peduli. Separah apapun luka yang diterimanya, dia akan bangkit kembali, bertarung lagi, sesuai dengan arti namanya, Shura; pertarungan.
Ucapan Tsubasa membuat Shiro, Mamoru, Aya dan Maya menyadari keadaan mereka sekarang. Apa yang dikatakan Selir Penguasa Tanah Selatan itu memang tidak salah. Shura perlu beristirahat untuk menyembuhkan luka disekujur tubuhnya. Tidak mengucapkan sepatah kata pun, Mamoru, Aya dan Maya langsung melangkahkan kaki berjalan keluar dari kamar Shura. Shiro segera mendekati Sakura, namun hanyou itu segera menggeleng kepala dan mengenggam semakin erat tangan Shura, menolak untuk melepaskan tangannya, menolak untuk meninggalkannya.
Mengetahui niat Shiro, mata emas Shura langsung berubah warna menjadi merah darah dan memperlihatkan seringai penuh kemarahan pada hanyou itu. Dia memang menginginkan semua yang ada di sini keluar, tapi tidak untuk Sakura. Dia tidak mau hanyou kecil itu meninggalkannya sekarang, sebab mungkin saja jika dia melepaskan pandangannya dari Sakura sejenak saja, hanyou itu akan menghilang selamanya dari hadapannya. Dia lemah sekarang, namun, itu tidak berarti dia akan berdiam diri saja melihat sesuatu yang sangat berharga baginya diambil darinya.
Seringai penuh kemarahan serta mata merah darah Shura membuat Shiro tahu maksud inuyoukai itu. Namun, dia memutuskan untuk mengalah kali ini. Sepertinya adik perempuannya dan juga sepupunya ini memang tidak mungkin dapat dipisahkan sekarang. Mencibir lagi, Shiro kemudian membalikkan badan dan berjalan menjauh. Namun, saat mencapai pintu kamar, dia menolehkan kepalanya menatap sosok Shura. "Kubiarkan kali ini, tapi, ingat! Jika kau berani melakukan sesuatu terhadap Sakura, aku tidak akan segan-segan membunuhmu."
Shura tidak mengatakan apapun, namun seringai dan mata merah darahnya segera menghilang, terkejut, sebab dia tidak menyangka Shiro akan menyerah secepat itu. Sedangkan untuk Sakura yang tidak mengerti apa-apa, dia hanya bisa bersyukur karena dia tahu, dirinya masih diijinkan untuk berada dalam kamar ini.
Saat Shiro telah melangkahkan kakinya keluar, Tsubasa pun segera meyusul. Dirinya hanya bisa tersenyum kecil melihat Sakura yang kini telah tersenyum lebar karena diijinkan untuk tinggal sebelum pintu shoji di depannya tertutup. Shura memerlukan Sakura, keberadaan hanyou kecil itu secara tidak langsung, mungkin telah menjadi keberadaan yang sangat penting bagi Shura secara tidak disadarinya sendiri.
Tsubasa kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan kamar Shura menuju kamarnya sendiri. Namun, baru berjalan tidak jauh, matanya menangkap sosok Shiro dan juga tiga beraudara taijiya di depannya. "Bisakah kita berbicara sebentar, Tsubasa-sama?" ujar Aya pelan.
Tsubasa tidak megatakan apa-apa, dia hanya diam menatap manusia dan hanyou di depannya.
"Bisakah anda menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi? Anda mengatakan 'Shura-sama, sepertinya anda tidak memerlukan bantuanku untuk mengobati luka anda kali ini.' Sepertinya, ini bukan pertama kalinya Shura mengalami luka seperti ini selama berada di selatan." Tambah Mamoru tenang. Aya dan Maya tidak mengatakan apapun lagi, tapi mata mereka menatap tajam Tsubasa, menginginkan jawaban, begitu juga dengan Shiro yang terlihat cuek dan tidak peduli.
Tsubasa tersenyum mendengar penjelasan Mamoru. Yang ada di hadapannya mungkin memang manusia dan hanyou, tapi daya tangkap dan intusi mereka sangat tajam. Mungkin memang sudah turunan dari orang tua mereka. "Silakan ikuti hamba. Tempat ini bukanlah tempat yang cocok bagi hamba untuk menjelaskan semuanya." Ujar Selir Penguasa Tanah Selatan pelan dan mempersilakan mereka mengikutinya.
Tidak membuang waktunya, Shiro, Mamoru dan Maya pun mengikuti Tsubasa. Mereka menuju pavilium selatan, tempat di mana kamar Selir Penguasa Tanah Selatan itu berada. Tsubasa mempersilakan mereka semua duduk. Hanyou dan ketiga bersaudara taijiya itu sebenarnya cukup ragu dengan sikap Tsubasa yag terlihat begitu sopan, perhatian dan baik. Namun, mereka memutuskan untuk mempercayainya.
Dengan tenang, Tsubasa pun menceritakan pada Shiro dan ketiga saudara tersebut apa yang sesungguhnya terjadi. Mengapa Shura bisa ada di sini, mengapa Shura bisa bertarung dengan Akihiko, mengapa dia begitu ingin pulang ke barat. Jawaban akan itu semua sebenarnya sangat mudah, yakni satu kata; Rin.
....xOxOx....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments