Saat berada di dalam kamar Aisyah, Dealova merasa pengap. Apalagi dia tidak biasa memakai hijab apalagi cadar.
Ia pun segera melepas hijab dan cadar miliknya, lalu membuangnya ke sembarang arah. Tidak lupa sebelum memulai aksinya, ia sudah mengunci pintu kamar terlebih dahulu agar tidak ada satu pun warga yang mengetahui aksinya.
"Untung gue dah kunci pintu, kalau enggak gimana coba?"
"Gue nggak habis pikir kok bisa betah ya Aisyah memakai cadar setiap waktu?"
Dealova tampak berbicara pada dirinya sendiri. Mencoba mengeluarkan segala unek-unek yang mengganggu pikirannya.
Beruntung, di kamar itu ia sendirian tidak menjadi satu bersama santriwati lainnya. Sehingga ia sedikit bisa merasakan sebuah hal yang spesial.
Terkadang Abah tidak memberikan hak istimewa pada Aisyah agar ia bisa belajar bertanggung jawab. Namun, ada kalanya hal itu diberikan sebagai bonus untuknya.
"Akhirnya bisa lepas dari Uminya Aisyah," ucapnya sambil mengipasi wajah dan lehernya dengan kedua tangannya secara bergantian.
"Gerah, euy!"
Kamar bercat warna putih itu memang sangat terlihat bersih dan rapi. Namun, tidak banyak foto yang terpasang di sana. Sehingga bagi Dealova tetap terlihat sepi.
"Cukup rapi dan bersih, tetapi sepi."
Mata Dealova masih terlihat memindai setiap barang yang berada di dalam kamar Aisyah. Melihat detail aksesoris yang berada di sana. Akhirnya, Dealova bisa menemukan sebuah kipas angin di pojok kamar.
Bagaikan menemukan sebuah harta karun, Dealova segera berlari ke arahnya.
"Penyelamatku," ucapnya senang sambil memeluk kipas tersebut.
Dengan cepat Dealova mendekatinya dan menghidupkan kipas. Matanya terpejam saat menikmati setiap hembusan angin yang diputar oleh kipas tersebut.
"Sejuknya ... daritadi kek gini 'kan enak!"
Seketika ingatan Dealova langsung tertuju pada kakaknya Michael. "Abang lagi apa, ya? Gue jadi kangen bentakan dan kasih sayang dia! Huhuhu ... Semua karena Geng Halilintar gue jadi begini."
Terlihat tangannya mengepal, ia masih saja menyalahkan dirinya yang salah ambil jalan sewaktu menyelamatkan diri. Hingga takdir Tuhan justru membawanya pergi ke sebuah pondok pesantren karena permintaan kecil Aisyah, seorang gadis yang menyelamatkan nyawanya.
"Andai kamu bisa berpikir lebih jernih lagi dan nurut sama Abang Michael sudah pasti semuanya akan baik-baik saja! Asem! Sial banget hidup gue!"
Meskipun awalnya menggerutu, tetapi setelah beberapa saat akhirnya ia merasa baik-baik saja. Apalagi setelah kipas itu berhasil meredam amarahnya.
Setelah dirasa cukup sejuk dan nyaman, maka Dealova segera mematut tubuhnya di depan cermin. Diambilnya kalung pemberian Aisyah dan dipakainya saat itu juga.
"Cantik, kamu sangat cantik, tapi ... menyedihkan."
Dealova membandingkan dirinya dengan foto Aisyah yang berada di samping cermin rias. Setiap detailnya ia perhatikan. Hanya satu perbedaan yang terlihat di sana.
"Senyuman kita berbeda, ya itu yang membedakan aku dan kamu. Cara bertutur kata dan sikap pun berbeda. Akan tetapi, kenapa aku merasa jika kita sangat dekat?"
Seketika otaknya berpikir sesuatu yang sangat mencurigakan. Tidak pernah ia merasa berhutang budi seperti ini, hingga akhirnya Aisyah datang dan mengorbankan nyawanya untuk Dealova.
"Aisyah, kenapa kamu begitu baik, kepadaku?"
Dealova mendudukkan wajahnya di depan cermin. Menghela nafas panjang, lalu membuangnya perlahan. Biasanya setiap kali dia kepanasan sudah pasti ada jus alpukat di depannya. Belum lagi Michael yang selalu siap sedia menyiapkan makanan ringan untuknya.
"Jus alpukatnya Nona."
Wajah Dealova berbinar, tetapi sayang saat tangannya hendak meraih gelas di hadapannya ternyata hanyalah sebuah ilusi. Padahal Michael selalu memastikan jika Dealova selalu bahagia. Bahkan untuk detail apapun ia selalu perhatian.
"Aku rindu Abang, hiks ...."
Dealova menangkupkan kedua tangannya lalu ia bertumpu pada lututnya. Sejenak kemudian ia memasukkan wajahnya di dalam sana. Punggungnya terlihat bergetar hebat. Menandakan jika sedang menangis dan mungkin saja sedang merindukan seseorang.
"Umi mau kemana?"
"Melihat Aisyah, Abah. Umi lihat sedari tadi sikap Aisyah begitu berbeda."
"Apanya?"
"Entahlah, perasaan seorang ibu tidak akan berbohong."
"Ya, sudah. Hati-hati sana."
Saat Dealova sedang menikmati kesendiriannya, beberapa saat kemudian terdengar pintu kamarnya diketuk dari luar. "Aisyah ... kamu di dalam, Nak?"
Dealova menoleh, "Astaga, pasti Umi mau mencari putrinya. Atau aku bilang saja jika aku bukan Aisyah dan namaku Dealova? Karena bagaimana pun kami berbeda."
Seolah putus asa dengan ucapannya sendiri, Dealova membiarkan pintu kamarnya tetap tertutup dan ia tidak beranjak sedikit pun dari tempat duduknya.
Umi Najwa menurunkan pandangannya ke arah pintu. Terdengar suara lirih dari dalam kamar putrinya, tetapi ia tidak mau mengganggu. "Mungkin dia ingin sendirian, sebaiknya aku tidak mengganggunya saat ini."
"Selamat tidur, Sayang," bisik Umi tepat di sisi daun pintu.
Tepat di belakang Umi, arwah Aisyah menangis. Ingin rasanya ia mengatakan jika dirinya sudah meninggal dan jasadnya belum dikebumikan secara sempurna. Teringat ada seorang gadis yang mirip dengannya, Aisyah mencoba masuk ke dalam kamarnya.
"Aku ingin berbicara sekali lagi dengannya, bisakah itu terjadi?"
Benar saja, saat arwah Aisyah masuk terlihat jika Dealova sedang menangis sambil memeluk lututnya. "Kenapa dengan gadis itu? Apa dia juga merindukan keluarganya?"
Ingin rasanya Aisyah bertanya padanya tetapi ia justru takut Dealova akan memberontak. Sehingga ia hanya melihatnya dari kejauhan.
"Maafkan aku Dealova, karena hal ini kamu jadi terlibat," ucap Aisyah sambil terisak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Selon
dasar bengek, 🤣🤣🤣
2023-05-22
0
Wong kam fung
ada yabg lebih beaar angin topan mau?
2023-04-15
0
al-del
sekuat " nya wanita pasti pernah menangis 😭
2023-04-14
0