Shiena bersiap untuk mendengar cerita Litha. Sepertinya kehidupan Litha tak semudah yang orang-orang bayangkan.
"Aku menceritakan ini padamu, bukan karena aku meminta pembelaan darimu. Aku merasa aku bisa percaya padamu, Shiena."
Litha menjeda kalimatnya. "Aku dan Mas Arya sudah saling mengenal sejak aku kecil. Kami bertetangga saat tinggal di desa dulu. Setelah lulus SMA, Mas Arya memutuskan untuk hijrah ke kota untuk mencari pekerjaan. Mas Arya adalah cinta pertamaku. Bagiku dia juga seperti kakak untukku."
Litha menatap ke depan menerawang. Shiena bisa melihat jika Litha memiliki cinta yang besar terhadap Arya.
"Saat usiaku 20 tahun, aku memutuskan untuk merantau juga ke kota. Dan di kota aku dibantu Mas Arya untuk menemukan pekerjaan. Saat itu, perusahaan mas Arya belum sebesar sekarang. Dia bilang dia baru saja merintis usahanya itu. Dan ya, aku harus kembali patah hati karena mas Arya sudah menikah dengan Mbak Esti dan memiliki Willy."
Litha menatap Shiena. "Kamu boleh menganggapku bodoh, karena aku mau menikah dengan pria beristri. Tapi kamu harus tahu kenapa aku menerima pinangan mas Arya."
Shiena mengerjapkan mata. Shiena berpikir apakah ia pantas mendengar semua pengakuan Litha ini atau tidak. Shiena ikut gugup mendengar lanjutan kisah Litha dan Arya.
"Sejak usia Willy menginjak 5 tahun, rumah tangga mas Arya dan mbak Esti mulai bermasalah. Mas Arya yang sibuk mengembangkan usahanya malah dibuat tak nyaman dengan sikap mbak Esti yang terlalu berlebihan."
(Berlebihan? Berlebihan bagaimana ya?)
Sebenarnya Shiena ingin langsung bertanya pada Litha, tapi lidahnya terlalu kelu untuk bertanya. Shiena akan membiarkan Litha melanjutkan ceritanya saja. Untuk sekarang Shiena harus menjadi pendengar yang baik untuk Litha. Toh dia sendiri yang memang ingin mendengar kisah keluarga Willy.
"Mbak Esti adalah seorang perawat. Aku sendiri gak paham kenapa mbak Esti bisa bersikap seperti itu. Menurut mas Arya, mbak Esti mengalami gangguan kejiwaan yang mengakibatkan dirinya bersikap posesif yang berlebihan dan juga cenderung menyakiti dirinya sendiri dan orang lain. Bahkan dulu mbak Esti pernah menyakiti Willy hanya untuk menahan Mas Arya agar gak pergi bekerja. Mbak Esti takut jika mas Arya meninggalkannya. Padahal saat itu mas Arya hanya memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami."
Shiena melamun. Ingatannya tertuju kepada Esti, yang hingga di masa depan pun masih tinggal di rumah sakit jiwa.
"Shiena..."
Shiena tersentak ketika tangan Litha menggenggamnya.
"Eh? Iya Tante."
"Jika kamu gak percaya dengan cerita Tante, kamu bisa bertanya pada Bik Sumi. Dialah yang menyelamatkan Willy saat mbak Esti berniat menyakitinya. Tapi sayangnya, mbak Esti berhasil membawa Willy pergi dan mengatakan jika mas Arya sudah meninggalkan mereka dan aku sudah merebut Mas Arya dari mereka."
"Bik Sumi?" Shiena belum pernah mendengar soal Bik Sumi dari Willy.
"Bik Sumi adalah asisten rumah tangga kami. Dia juga yang dulu merawat Willy saat masih kecil."
Shiena makin bingung. "Tapi... kenapa kak Willy sama sekali gak mengingat tentang Bik Sumi?"
Litha tersenyum. "Datanglah ke rumah kami. Dan biar Bik Sumi yang menjelaskan semuanya padamu."
Litha melirik jam tangannya. "Tante harus menjemput Martha. Maaf ya, Shiena. Tante rasa cerita Tante berakhir sampai disini. Maaf gak bisa menceritakan semuanya padamu. Mungkin lain kali mas Arya bisa bercerita sendiri denganmu."
Litha pamit undur diri. Meninggalkan Shiena yang masih diliputi rasa penasaran yang besar.
"Mana ada Om Arya mau cerita. Tadi aja dia berusaha menghindar. Om Arya gak ingin kisah masa lalu keluarganya di ketahui oleh orang lain," gumam Shiena.
Shiena menghela napas kasar. Hari sudah mulai sore. Shiena memilih pergi dari kafe itu.
Sepanjang perjalanan, Shiena memikirkan tentang apa yang sudah dialami Willy selama ini.
(Ini terlalu rumit, Shiena. Kamu gak akan bisa mengerti gimana perasaan mas Willy. Ternyata dia menyimpan luka yang begitu dalam. Apa yang harus kulakukan?)
Suara supir taksi membuyarkan lamunan Shiena. "Sudah sampai, Non."
"Eh, iya Pak. Ini ongkosnya."
"Makasih, Non."
Shiena turun dari taksi dan memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Hari ini rasanya lelah sekali. Shiena memilih langsung menuju ke kamar dan membersihkan diri lebih dulu.
#
#
#
Cerita Litha masih terngiang di ingatan Shiena. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui apapun tentang pria yang hidup bersama dengannya selama 10 tahun? Willy terlalu menutup rapat kisah hidupnya dan tidak ingin Shiena ikut campur terlalu dalam.
(Atau sebenarnya akulah yang gak pernah perhatian dengan mas Willy? Aku yang egois yang mengira kehidupan kami baik-baik saja. Padahal Mas Willy menyimpan lukanya sendiri)
Tiba-tiba Shiena ingat tentang Esti. Ibu mertuanya di masa depan itu memang tetap menjadi misteri hingga saat ini dan masa depan. Tidak ada yang tahu pasti kisah hidupnya.
(Apa sebaiknya aku menemui Bu Esti?)
Usai jam perkuliahan berakhir, Shiena memilih untuk mendatangi rumah sakit jiwa tempat Esti tinggal selama ini. Bahkan Shiena tak paham kapan tepatnya Esti akhirnya dirawat di rumah sakit jiwa.
"Non mau ngapain kesini?" tanya si supir taksi bingung.
"Saya ingin menjenguk kerabat saya yang dirawat disini, Pak." Shiena mengulas senyumnya ketika memberikan uang ongkos taksinya.
Kaki Shiena melangkah menuju tempat yang bernuansa serba putih itu. Shiena memegangi dadanya yang terasa deg-degan.
(Ya Tuhan, apakah ini adalah keputusan yang tepat? Gimana bisa aku sekarang ada disini?)
"Maaf, ada yang bisa dibantu, Mbak?" Seorang security bertanya pada Shiena.
"Eh? I-itu Pak... Saya..." Shiena merasa keputusannya sekarang sangatlah terburu-buru. Ia belum memikirkan semuanya dengan matang.
"Shiena! Apa yang kamu lakukan disini?" Suara seseorang membuat Shiena menoleh. Itu adalah Willy.
Mata Shiena membola. (Aduh! Bagaimana ini? kenapa mas Willy ada disini?)
"Oh, jadi mbak nya ini temannya mas Willy? Berarti mbak nya mau menjenguk Bu Esti ya?" Ucapan pak satpam membuat raut wajah Willy berubah seketika.
Shiena hanya bisa menundukkan kepalanya. Sungguh ia tak sanggup menatap Willy.
Willy mengulas senyum terpaksa kepada pak satpam. "Iya, Pak. Dia temen saya."
Willy menarik tangan Shiena dan membawanya pergi dari sana. Shiena yang merasa jika cekalan tangan Willy begitu kuat mulai meringis kesakitan. Bahkan langkah kakinya terseok-seok karena mengikuti langkah Willy yang lebar.
"Mas, lepasin! Sakit! Mas mau bawa aku kemana sih?"
Willy membawa Shiena agak jauh dari area rumah sakit. Willy menghempaskan tangan Shiena dengan kasar.
"Aw! Kamu tuh kenapa sih Mas? Kasar banget!" Shiena memegangi pergelangan tangannya yang memerah.
Baru kali ini Shiena melihat wajah Willy memerah karena amarah yang tertahan.
"Aku tanya sekali lagi, apa yang kamu lakukan disini?" Kilatan mata tajam Willy membuat Shiena ketakutan. Baru kali ini Shiena melihat kemarahan di mata Willy.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments