Alex menghampiri mejaku dan menatapku tajam. Ya, aku tahu jika dia ingin bicara banyak padaku, tapi dia menghormati persahabatan kami, makanya dia hanya diam sambil mengepalkan tangan.
Malam hari ketika aku pulang ke rumah, aku mendapati rumahku gelap gulita. Aku membuka pintu rumah yang masih terkunci.
"She, kenapa lampunya gak dinyalakan?"
Refleks aku tertegun karena tak ada siapapun di rumahku.
Rumah ini terasa sunyi. Tidak ada sentuhan tangan wanita disini.
Aku membersihkan diri dan memasak makan malam sendiri. Ya, aku harus terbiasa hidup tanpa Shiena.
Minggu depan sidang perdana perceraian kami akan digelar. Setelah kembali dari rumah ayah mertuaku, aku mendapatkan surat gugatan itu sudah ditandatangani oleh Shiena.
Aku bertahan hidup sendirian selama satu minggu ini. Ya, sudah seminggu sejak Shiena pergi dari hidupku.
Kini aku hidup sendiri lagi sama seperti dulu. Tidak ada keluarga dan sahabat yang menemani. Alex pun mulai menghindariku. Ia masih kesal padaku.
Pagi itu aku mendapatkan panggilan dari rumah sakit tempat ibuku dirawat. Sejak ayah meninggalkan kami, kondisi ibuku tidak stabil. Hingga membuatnya harus tinggal di rumah sakit jiwa.
Sesekali aku berkunjung bersama Shiena. Tapi hari ini aku mengunjungi ibu sendirian.
"Mana Shiena?"
Kondisi ibu membaik setelah bertemu dengan Shiena. Ibu mengenaliku sebagai putranya. Tidak seperti dulu yang selalu menganggap jika aku adalah ayah.
"Shiena mana, Willy?"
Ibu kembali bertanya. Lidahku kelu. Aku tidak mungkin menyakiti hati ibu.
Ya Tuhan, kenapa aku tidak ingat jika ada ibu yang membutuhkan Shiena? Kenapa aku egois dengan memikirkan diriku sendiri?
"Willy, Shiena mana?"
Ibu mulai berteriak. Kondisi mulai tak stabil. Hanya Shiena yang bisa menenangkan Ibu.
Aku yang tak kuasa melihat kondisi ibu memilih untuk pergi dari sana.
"Kondisi Ibu Esti membaik jika ada mbak Shiena disini. Kenapa hari ini pak Willy gak datang bersama mbak Shiena?" tanya perawat Ibu.
Aku hanya menundukkan kepala. "Maafkan saya, Suster. Sebaiknya mulai sekarang kalian bisa mengatasi ibu tanpa bantuan Shiena. Saya permisi!"
Aku yakin jika Suster Ira tertegun mendengar ucapanku. Bagaimana bisa aku membiarkan kondisi ibu makin memburuk? Aku bukanlah anak yang baik, maafkan aku, Ibu...
#
#
#
Pagi itu aku terbangun dengan meraba sebelah tempat tidurku untuk mencari keberadaan Shiena.
"She, kamu udah bangun? She?"
Aku mengerjapkan mata. Aku tatap ruangan kosong disampingku. Tidak ada siapapun disana.
"She... Benarkah kamu tidak akan kembali lagi?"
Aku menatap nanar bantal yang biasa digunakan Shiena. Masih tercium wangi miliknya yang tertinggal.
Kamar ini, menjadi saksi bisu jika kami menghabiskan waktu disini. Saling bercerita, saling berkeluh kesah, dan saling memberi solusi.
Sekarang tak ada lagi kita. Yang ada hanya aku. Aku yang sendiri...
Ponselku berdering cukup nyaring. Aku meraihnya diatas nakas. Panggilan dari rumah sakit.
Aku bergegas menuju ke rumah sakit secepat yang aku bisa. Suster Ira mengatakan jika Ibuku mengamuk lagi. Dia mencari Shiena.
Ya Tuhan, kenapa ibu harus mencari Shiena di saat begini? Apakah mungkin firasat seorang ibu tidak pernah salah? Ibu pasti merasa jika aku sedang tidak baik-baik saja dengan Shiena.
Aku melihat kondisi ibu yang memprihatinkan. Ibu berteriak dan meronta. Beberapa perawat datang untuk membantu suster Ira.
Sementara aku hanya bisa diam menyaksikan ibuku lagi lagi diberikan obat bius. Aku menggeleng lemah. Aku tidak kuat lagi untuk melihat penderitaan Ibu.
Aku berlari menuju ke parkiran rumah sakit dan melajukan mobilku dengan kecepatan yang cukup tinggi.
"Aku ingin kita kembali seperti dulu, She! Aku ingin kembali... Aku ingin kamu kembali padaku, She..."
Pikiranku terus tertuju pada Shiena.
"Kumohon kembalilah padaku, She. Aku janji akan memperbaiki semuanya. Aku janji. Jika aku bisa mengulang waktu, maka aku akan melakukan yang lebih baik untuk hubungan kita. Aku janji..."
Tiba-tiba terlihat cahaya putih dari arah depan mobil. Cahaya itu amat menyilaukan mata hingga aku harus terpejam dan menutupi wajah dengan satu tanganku.
"Shiena.... Maafkan aku..."
#
#
#
Suara mesin pemotong keramik terdengar bersahut-sahutan. Aku benci suasana ini. Suasana yang tidak menyenangkan ketika diriku masih berjuang sendiri untuk bertahan hidup.
Dug dug dug
Suara gedoran pintu membuatku terpaksa harus bangun dari tidur panjangku.
"Ck, siapa sih? Kenapa rumahku jadi berisik gini sih? Jam berapa ini?"
Aku mencari keberadaan jam dinding yang ternyata tidak ada di dalam kamarku.
Aneh!
Sejak kapan tidak ada jam dinding di kamarku? Bukankah Shiena yang mengatur interior kamar kami?
HAH?!
Dimana aku? Tempat apa ini? Aku telah sadar sepenuhnya dan mengetahui jika ini bukanlah kamarku dan Shiena.
Dug dug dug
Gedoran pintu semakin kencang saja.
"Mas Willy! Ini Siti, anaknya mbok Yem. Tolong buka pintunya, Mas!"
Aku melihat penampilanku yang tampak kacau setelah bangun tidur. Aku keluar dari kamar dan...
Tidak mungkin! Ini adalah kamar kos lamaku!
Bagaimana bisa aku ada disini?
"Mas Willy!"
Suara itu memanggilku lebih keras. Melebihi kerasnya mesin pemotong keramik yang masih bersahut-sahutan.
Aku membenahi penampilanku sebelum membuka pintu.
"Hah! Akhirnya Mas Willy bukain pintu juga. Nih!"
Gadis muda yang ada dihadapanku menyerahkan sebuah kantong plastik yang isinya bisa kutebak adalah lontong sayur.
"Hehe, maaf ya lama. Makasih ya Siti."
"Iya sama-sama. Bayarnya nanti aja sekalian Mas Willy berangkat ngantor."
Aku kembali masuk ke dalam rumah. Rumah kecil yang menjadi saksi bisu perjalanan hidupku.
Tunggu! Tapi bagaimana bisa aku ada disini? Bukankah tadi...
Aku menatap lontong sayur yang masih ada didalam kantong plastik. Warung Mbok Yem adalah warung langgananku saat aku masih kuliah hingga bekerja di perusahaan ayah Shiena.
Aku berlari ke dalam kamar mandi dan menatap diriku di cermin wastafel.
"Tidak mungkin! Apakah aku kembali ke masa saat aku belum berkenalan dengan Shiena?"
Aku kembali berlari mencari ponsel atau kalender yang bisa kugunakan untuk menyadarkanku.
"Tahun 2012?" Aku menggeleng kuat. Kutatap kalender dan juga ponselku.
"Apakah ini nyata?" Aku menampar wajahku sendiri.
"Aw, sakit!" Aku mengusap pipiku. Aku tidak bermimpi!
Aku benar-benar kembali untuk memperbaiki keadaan. Shiena, aku mengulang waktu untuk memperbaiki semuanya.
Aku tersenyum lebar. Aku bahkan tertawa terbahak menghadapi kenyataan yang terasa mustahil ini.
Ponselku berdering. Sebuah pesan masuk dari Shandy.
"Shandy? Jadi, aku kembali ke masa dimana Shandy masih hidup."
Aku kembali mengulas senyum karena dipesan itu Shandy mengundangku ke pesta ulang tahun perusahaan. Acara dimana aku pertama kalinya memberanikan diri berkenalan secara langsung dengan Shiena.
#
#
#
Malam harinya aku mencari keberadaan Shiena di pesta. Aku berkeliling dan mengingat dimana persisnya aku bertemu dengan Shiena.
"Aneh, kenapa dia tidak ada dimanapun?"
"Jika pertemuan kita hanya menyisakan perpisahan saja, maka seharusnya kita gak perlu bertemu! Aku akan berdoa pada semesta agar aku gak pernah dipertemukan denganmu!"
Aku ingat kalimat yang diucapkan Shiena malam itu. Mungkinkah Shiena juga mengulang waktu seperti yang aku alami dan dia mengubah takdir dengan menghindari pertemuan denganku?
Aku menatap langit malam dan merutuki semuanya. Apakah aku memang tidak bisa mengubah takdir kita, Shie?
#
#
#
(Willy Pramudya, 22 tahun)
(Shiena Larasati, 19 tahun)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
🟢❤️⃟WᵃfAͬyͧuᷤdͧiaͪℛᵉˣ
Jadi Willy juga kembali ke masa lalu,, apa Alex juga gitu. 🤔🤔
2023-04-03
2
VYRDAWZAmut
crazy dong ka😂
2023-04-03
3
Nona M 𝓐𝔂⃝❥
kan....nyesel kan..?
2023-04-03
3