Re-Growth of Life

Re-Growth of Life

Buangan (1)

   “Kejar bocah itu! Jangan biarkan dia lari!” Salah satu pedagang berteriak marah.

   Aku melambai dengan satu roti di salah satu tanganku, “Aku hutang dulu ya, nanti aku bayar!” Aku tersenyum lebar, lari melewati kerumunan pembeli yang bingung apa yang terjadi.

   Dua menit kemudian aku berhasil lari dari pasar “keramat” itu.

   Napasku tersengal, laju lariku secara konstan menurun. Aku membuka tudung kepala jaketku, membiarkan angin segar di jalanan melewati kulit-kulitku yang kotor.

   “Haha, menu sarapan hari ini sudah siap. Tiga potong roti, satu potong nya buatku, dua potong nya lagi buat adekku.”

   Aku berlari-lari kecil kembali ke “rumah” ku, pasti dia senang setelah sekian lama tidak makan roti yang masih panas.

                              ***

   Lima menit berjalan dari pasar, kembali ke rumah itu keseharian seperti pertualangan hebat. Kadang aku “tidak” sengaja menjatuhkan barang belanjaan salah satu pembeli, pura-pura minta maaf, menunduk ikut mengumpulkan barang belanjaannya yang berserak. Dan jika orang itu lengah, aku memasukkan salah satu belanjaannya ke dalam kantong jaketku, lalu pergi dari pasar.

   Kadang juga aku bekerja sama dengan kucing liar. Haha, kelihatan mustahil bukan? Tapi inilah kenyataannya.

   Kucing mengalihkan perhatian mengambil dua ekor ikan bakar, sedangkan aku mengendap mengambil berapapun ikan bakar yang aku dapat dengan genggaman tanganku.

   Lalu kucing itu mengeong membuat pedagang itu sadar, lantas dia mengejek pedagang tersebut kemudian lari secepat mungkin.

   Aku? Jangan di tanya, hari itu kami berdua sama-sama mendapat tangkapan besar. Kucing itu dapat dua ekor, sedangkan aku empat ekor. Aku masukkan ikan bakar itu ke dalam kantong belanja, kemudian pergi lewat jalan belakang.

                              ***

   “Kakak pulang.” Aku menunduk, tiba di “rumah kecil” kami.

   Seperti katanya, “rumah kecil”. Pada dasarnya ini bukan rumah, aku dan adekku hanya hidup di belakang tong sampah besar yang atasnya ditutupi plastik besar berwarna biru sepanjang 2x2 meter, dengan pengait tongkat panjang.

   Melihat wajah adikku yang gembira hari ini bisa makan saja, aku... sudah bahagia. Aku meletakkan tiga potong roti, ikut duduk.

   “Wah... Roti, masih hangat pula. Kakak dapat uang dari mana?” Wajah adikku berseri-seri.

   “Kakak tadi habis kerja paruh sebentar, kemudian di upah. Karena upahnya banyak, kakak beli saja roti yang banyak.” Aku tersenyum– tidak, lebih tepatnya berusaha tersenyum agar adikku tidak curiga, lalu mogok makan karena ini barang curian.

   Adikku ber-oh pelan, kemudian tangannya gesit mengambil roti.

   Aku terkekeh melihat kelakuan adikku ini, seperti tidak makan seminggu saja. Padahal kan baru saja dua hari dia tidak makan.

   “Kamu sudah belajar?” Aku mencomot sembarang topik.

   Dia menyeringai, mengangguk. “Iya, aku belajar ini.” Dia menunjukkan buku tipis lusuh yang disampingnya kepadaku.

   Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, “Ini apa?”

   “Ini namanya huruf kak.”

   “Huruf?”

   “Iya kak, dari orang yang membuang ini sih katanya begitu. Dan katanya buku ini sudah tidak ada gunanya, jadi dia buang saja. Terus aku pungut deh.” Adikku tertawa. Aku pun ikut tertawa, walaupun aku tidak tahu maksud adikku.

   “Kak.” Dia menoleh.

   “Ya?”

   “Rotinya kan ada tiga. Sedangkan kita di sini ada dua saja. Nah, satunya ini untuk siapa Kak?”

   Aku pura-pura berpikir– mendongakkan kepala, “Ya untuk adikku tersayang lah.”

   Pipinya menggelembung, “Bukan!”

   “Eh?” Aku salah tingkah.

   “Seharusnya ini di bagi setengah kak. Supaya adil gitu lho.”

   “Hm? Kan supaya gizi kamu terpenuhi. Makanya Kakak kasih lebih.” Waw, aku terlihat seperti ahli gizi bukan?

   “Giza Gizi, badan Kakak saja kurus begitu. Seharusnya Kakak beli yang banyak juga buat Kakak sendiri. Jangan aku doang dong!” Celaka! Dia mencengkeram pinggangnya!

   Hidungku mengembang, “Hehe, maaf... lain kali Kakak juga beli yang banyak buat Kakak sendiri deh.”

   “Janji?”

   “Janji.”

   “Nah itu dia!” Kami terperanjat kaget melihat begitu banyak orang yang datang ke sini.

   Salah seorang dari mereka bertubuh kekar maju, “Mau ke mana lagi kau bocah? Tadi pagi kau mencuri roti pedagang lain. Lalu, nanti siang kau akan mencuri apalagi heh?! Ayam bakarku? Atau ikan bakan orang itu?” Dia menunjuk orang yang kukenal, pedagang yang menjual ikan bakar.

   Salah satu dari mereka memberikan balok kayu kepada si Kekar itu, dia menepuk-nepuk balok kayu tersebut.

   “Hah! Kalian jangan berpikir kita tidak menangkap kalian berdua selama ini karena Maria si tukang–”

   “DIAM! Dia tidak jahat!” Belum genap dia bicara, adikku sudah memotong kalimatnya.

   Wajah orang itu merah padam seperti kepiting rebus, “Siapa yang boleh memotong pembicaraan orang tua hah?! Apa dia juga mengajarkan kalian–”

   “DIAM!” Kali ini aku yang memotongnya.

   Napasku tersengal, dadaku mendadak sesak, meski tidak lari. Mereka salah! Mereka hanya dipermainkan oleh si pendeta tua itu!

   “Oh... Mereka juga mengajari kalian ya... Bawa mereka berdua.” Seru si Kekar bontot itu.

   Dua orang dari mereka maju mendekati kami. Meski sempat melawan, tapi usaha kami sia-sia. Mereka duluan memukul perut, membuat kami terkulai lemas, lantas kami berdua di gendong kedua orang itu.

   BRAK! Kitab kecil dari sakuku jatuh. Pedagang ikan bakar itu mengambilnya, “Hm? Kitab suci? Pastilah ini karena kalian diajari yang tidak-tidakkan sama Ibu kalian itu! Membawa kitab ke mana-mana, bahkan saat mencuri? Hah! Mau dikata apa dunia ini.”

   Adikku sudah pingsan di gendongannya, mataku mengerjap-ngerjap, samar melihat langit mendung yang akan segera turun hujan.

   Tanganku berusaha menggapai adikku, “Naa... Taa... N.” Mataku tertutup.

                              ***

   “Nak...” Suara lembut itu, ketenangan lembut itu, tidak salah lagi! Mama!

   Mataku terbuka. Melihat Mama berdiri di depanku. Aku melihat sekitar dengan saksama, putih. Semuanya putih! Di mana langit yang biru? Pasar? Bak sampah? Oh ya! Adikku di mana!

   “Jangan panik seperti itu, Adrian.”

   “Mama!” Mataku berbinar melihat wajah Mama. Tunggu, itu artinya...

   “Tidak Nak, kamu belum mati. Kita berada di alam bawah sadarmu. Saat ini kalian akan dibawa ke perkampungan. Maaf mengatakannya, tapi...” Baru kali ini aku melihat Mama begitu gelisah.

   “Tapi apa Ma?” Aku berusaha tersenyum, setidaknya itu bisa membuat Mama senang.

   “Tapi, kalian... Tidak jadi. Ingat saran Mama, jangan pernah khawatir.”

   Mama balik badan membelakangiku. Aku ingin meraih tangannya dengan tanganku, tapi tidak bisa. Tembus.

   “Pesan Mama hanya satu. Jaga baik-baik adikmu.” Setelah Mama mengatakan pesan terakhirnya, Mama sudah menghilang tertiup debu.

Terpopuler

Comments

Kita_Yama

Kita_Yama

Kalo cerita gini lebih pas pake kata "adik" ketimbang "adek"

2023-05-10

0

Tanata✨

Tanata✨

awal yang penuh haru🥲

btw aku tandain sampai sini dulu kak... hehe nanti lanjut kapan-kapan.

oh, iya kalau senggang mampir juga ya.

2023-05-03

1

Tanata✨

Tanata✨

walaaaahh🤣🤣

2023-05-03

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!