“Oi bocah, bangun!” Seseorang membangunkanku. Aku bangun dengan pandangan yang masih sempoyongan, melihat sekitar, masih mencerna apa yang terjadi.
BRUK! Aku dijatuhkan dari gendongan. Kesadaranku sudah kembali seratus persen. Natan? Oh iya! Adikku! Aku segera bangkit, melihat sekeliling.
Pondok. Atau lebih tepatnya bisa disebut gudang. Hawanya lembab, dengan tumpukan jerami yang mengisi sudut-sudut ruangan, dan dua gerobak tua yang biasanya digunakan untuk mengangkut jerami-jerami ini.
Tidak ada Natan. Hanya ada aku, dan ketiga preman botak lainnya.
“Paman. Paman lihat tidak adikku?” Aku maju satu langkah, bertanya sesopan mungkin.
Mereka saling lirik, lantas tertawa kecil. “Adikmu? Kami tidak lihat tuh. Kau betul-betul pingsan?”
Aku mengangguk sesopan mungkin. walaupun aku tidak tahu bagaimana cara untuk sopan.
Salah satu preman tersebut maju satu langkah lebih dekat, “Sedari awal kami tidak lihat tuh kau punya adik. Toh tidak ada gunanya kau mencari adikmu itu, sebentar lagi juga kau akan dijual.”
“Dijual?!” Aku terperanjat mundur satu langkah.
Mereka kembali saling tatap satu sama lain, lantas tertawa terbahak-bahak setelah beberapa detik kemudian.
“Hahaha, lucu ya. Kau sudah kami beli dari salah satu penduduk yang perawakannya kekar itu. Lalu, satu hari setelahnya klien kami mau membelimu. Jadi, sekarang kami hanya perlu menunggu lagi beberapa menit, lalu kau akan dibawa deh oleh klien kami.”
Aku menelan ludah, “Berapa lama aku pingsan?”
Salah satu dari mereka berhitung, “Dua setengah hari.”
“Dua hari?!”
Preman disampingnya tertawa, “Hei, hei. Seharusnya kami yang terkejut. Kau pingsan dua hari tanpa makan dan minum, kami kira kau sudah mati. Jadi, kami turunkan sedikit harganya. Ternyata kau masih bisa hidup rupanya, kelihatan sehat pula.” Preman itu mengangkat sedikit daguku, lalu diturunkannya lagi.
Dua menit lengang setelah pembicaraan tadi. suara ketukan pintu terdengar dari luar, salah satu preman berjalan membukakan pintu sedikit, mengangguk. Beberapa saat kemudian, dia membukakan pintu lebar-lebar.
Terlihat sepasang kekasih yang sudah renta dari balik pintu tersebut, mereka mulai melangkah mendekatiku. Kami saling bertukar pandang beberapa detik, lalu mereka mengeluarkan kantong berisi uang.
“Itu berisi seribu lima ratus koin perak, hitung saja jika kalian tidak percaya.”
Ketiga preman itu menyengir lebar, “Iya, pas seribu lima ratus. Jaga diri kalian baik-baik ya.”
Sepasang kekasih itu membantuku berdiri, lantas berjalan– aku menyusul dari belakang, meninggalkan gudang tempat penyimpanan tumpukan jerami tersebut.
“Jaga diri kalian baik-baik ya.” Ketiga preman itu melambaikan tangannya dari kejauhan. Cih, bisa juga ya mereka bersikap baik.
...----------------...
Lima belas menit kemudian, kami tiba di sebuah rumah, hampir semua sisi rumah tersebut terbuat dari anyaman rotan dan beratapkan tumpukan jerami dan ilalang kering yang kemudian diikat kencang dengan seutas tali panjang, membentuk pola layaknya jaring laba-laba.
Tampak dua orang satunya seumuranku dan satunya lagi mungkin masih berumur tujuh tahun, duduk bersila di pelataran rumah, melambaikan tangan– menyambut kedatangan kami (mungkin termasuk aku?).
“Ibu sudah pulang?” Salah satu dari kedua anaknya bertanya.
Wanita paruh baya tersebut senyum sembari mengangguk, “Iya Nak. Dia seumuran dengan Abel. Eh, umur kamu sepuluh tahun kan?” Wanita paruh baya itu menengok kearahku, lalu tersenyum.
Aku balas tersenyum (canggung), “Iya, umurku sepuluh tahun.”
Apa sekarang aku harus memanggilnya “ibu”? Oke.
“Ayo Nak, silakan duduk santai di pelataran sambil kamu bercerita tentang hidupmu.” Ibu dan Ayah sudah berjalan, lantas duduk bersama kedua anaknya di pelataran rumah.
Aku lagi-lagi menelan ludah, apakah mereka tetap mau mengasuhku walaupun Mama juga termasuk ke salah satu korban insiden itu? Aku mengangguk, memutuskan ikut duduk.
“Perkenalkan, namaku Adrian. Umurku sekarang sepuluh tahun. Aku juga punya adik, namanya Natan, umurnya sekitar sembilan tahunan. Kami berdua yatim piatu sejak umur enam tahun. Mama mati karena insiden ‘itu’.”
“Insiden itu?” Tanya Abel sambil sedikit memiringkan kepalanya.
Aku mengangguk sekaligus menelan ludah. Hatiku tidak bercampur aduk, “Iya, insiden ‘perburuan penyihir’ yang memakan banyak korban perempuan.”
Anak kecil disebelahku mengangkat tangan antusias, tapi dipadamkam oleh Bapak yang menyuruh dia untuk diam, dan mendengarkan seluruh cerita aku.
“Sebenarnya, yang diburu oleh pihak Gereja itu para wanita yang tidak menikah atau yang tidak punya anak kan ya? Tapi... entah kenapa Mama juga kena dan jadi salah satu korban di insiden itu.”
“Katanya sih, Mama dan Papa punya kekuatan, tapi tergolong kecil. Kekuatan itu cuman bisa membantu pekerjaan sehari-harinya. Tapi mereka menganggap lain ketika tahu bahwa Aku dan adikku tidak punya kekuatan seperti kedua orangtua ku.”
Dan tidak terasa, aku menghabiskan dua jam untuk bercerita. Reaksi mereka tidak seperti yang aku duga. Mereka hanya senyum, sesekali mengangguk dan bertanya, lalu aku jawab.
“Mama kamu sangat kuat ya.” Ibu tersenyum, yang aku lihat bukan sekedar tersenyum. Tapi seperti ada sesuatu yang berbeda dari senyumannya. Mungkin karena dia pernah mengalami hal-hal yang berat semasa hidupnya.
Ayah selesai menyalakan lampu yang berbahan bakar minyak tanah, kemudian menaruhnya ke gantungan yang ada di depan. Lalu, dia menyalakan petromaks lagi untuk penerangan di dalam rumah.
“Ayo, sudah larut. Kita makan malam dulu, baru habis itu tidur ya.” Tutur Ayah lemah lembut.
Kami bertiga mengangguk, segera masuk ke dalam rumah.
Aku menepuk bahu anak kecil disebelah kananku. Kebetulan dia berada tidak jauh dariku, “Hei, namamu siapa tadi?”
Dia menoleh, lalu tersenyum, “Tetam kak.”
Aku ber-oh pelan, tetap berjalan mengikuti jejak cahaya dari lampu petromaks Ayah dengan kecepatan yang konsisten.
Aku, Abel, dan Tetam disuruh duduk di lesehan, menunggu makan malam sedang disiapkan oleh kedua orangtua itu.
Di waktu yang senggang, sesekali kami main bayang-bayangan dari cahaya lampu petromaks yang sengaja di letakkan ke tengah-tengah lesehan. Kami mundur, menyesuaikan ukuran bayangan yang kami mau, lantas membuat beberapa hewan dan tanaman dari tangan-tangan kami.
Ya, kadang kala Tetam memakai sedikit kekuatannya untuk membuat bangunan istana dari bayangan.
Beberapa menit lengang, tidak ada permainan yang asyik, Ayah datang ikut duduk.
“Kalian mau Ayah ceritakan cerita yang menarik?” Ayah bersiap pada posisi ingin bercerita.
Kami bertiga menatap Ayah antusias. Tanpa sadar, kami mengangguk begitu saja.
“Baik. Tetam, kamu buatkan ilustrasi dari bayangan yang kamu buat ya. Ini akan menjadi cerita yang menarik.” Ayah sedikit memindah posisi lampu petromaks, menyesuaikan.
“Sudah siap?”
Kami mengangguk serempak.
“Cerita ini bermula dari tempat yang saaaaangat terpencil dari ibukota. Tempat itu bernama Gauses, tempat pertanian. Dan satu-satunya sumber makanan ibukota.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Kita_Yama
semangat kak, udah aku kasi 1 mawar
2023-07-12
2
Tanata✨
nuansa yang classic
2023-05-03
0