“Wah, ternyata kita bersebelahan.” Tetam mulai duduk, memakan camilan.
Aku menoleh, kemudian tetap melanjutkan memakan es krim. Seseorang berpakaian jas keluar dari balik tirai, membunyikan lonceng di tangannya. Menandakan acara festival akan di mulai.
Suara ruangan di penuhi tepuk tangan dan sorak-sorai para penonton.
Acara di awali dengan orang bernyanyi secara berkelompok. Nyanyiannya indah, sayu, dan enak di dengar. Sekitar dua menit mereka bernyanyi, suara tepuk tangan segera memenuhi langit-langit ruangan.
Acaranya memang seru. Kadang kala kami juga ikut terbawa emosi dengan pertunjukkannya. Emosi senang, sedih, marah seakan bisa mereka permainkan. Kadang aku yang menontonnya senang karena tokoh utama bisa selamat. Lalu di buat langsung turun emosi senang tersebut.
Dua jam tidak terasa kami berada di dalam ruangan tersebut. Juga bersamaan dengan habisnya es krim ku. Saat acara itu selesai, suara tepuk tangan segera memenuhi langit-langit ruangan.
Orang lain segera beranjak dari kursi mereka, keluar dari ruangan.
Aku menyikut Abel, “Abel, acara festivalnya hanya segini saja? Tidak seru, ah.” Abel menoleh, melambai-lambaikan tangan sambil tersenyum.
“Oh kalau hanya segini, mana ada orang mau membeli stamp mahal-mahal cuma buat menonton pertunjukkan seperti ini.”
“Pertunjukkan yang sebenarnya ada pada malam hari, Adrian.” Abel dan Tetam beranjak dari kursi mereka, begitu juga dengan yang lain.
Abel mengulurkan tangan, “Ayo, kita keluar. Makan-makan. Atau bermain game di luar. Ada banyak lho...” Aku mengangguk, menerima uluran tangannya tersebut.
...****...
“Ayo Adrian! Tembak yang itu. Itu yang di sebelah kanan!” Tetam berteriaknya bukan main.
DUM! Tembakan ku meleset. Tetam yang antusias, seketika berubah. “Yah... masih ada satu peluru lagi, Adrian! Tembak lagi Adrian! Satu kali kena, kita dapat boneka beruang besar itu Adrian!”
DUM!
Kena! Tetam bersorak melompat-lompat, hingga orang yang sedang sibuk makan, beli pakaian, dan yang lainnya, langsung beralih fokus memandang Tetam.
“Nah, paman. Paman tidak bisa mengelak lagi, semua balonnya sudah teman kami pecahkan.” Abel tersenyum layaknya orang jahat yang sedang menagih harta mereka yang lemah.
Paman yang tidak bisa mengelak tersebut, mendengus kesal. Langsung memberikan boneka beruang coklat berukuran besar kepadaku.
Tetam berteriak kegirangan. Katanya tidak pernah seumur hidup ada orang yang menang main game seperti ini. Karena orang yang menjaganya berbuat curang. Entah dari peraturan yang mendadak jadi berubah, atau yang lainnya.
“Mau main sekali lagi dik? Kalau menang lagi, paman beri hadiah kalung ini lho. Tapi kalau kalah, kembalikan boneka beruangnya. Bagaimana?” Paman tersebut menyedekapkan tangan, menawarkan.
Aku berhitung dengn tawarannya. Tapi sebelum aku menjawab, Tetam lebih dulu menghentikanku. “Jangan Adrian! Jangan mau di bodoh-bodohi! Di lihat dari mana pun sudah jelas bukan? Boneka ini lebih berharga daripada kalung berlian itu. Boneka besar ini bisa di peluk, sedangkan kalung itu? Paling juga berlian palsu.”
Aku tidak mengerti, mengangguk saja. Paman itu mendengus, tidak terima. “Wah, baru kali ini aku melihat bocah sepintar kau. Biasanya mereka terima-terima saja kalau sudah menang. Nih untuk kalian berdua, paman beri, GRATIS.” Paman itu memberikan boneka berukuran sedang.
“Wah... keren. Boneka golem tanah!” Tetam mengangkat boneka tersebut sambil memutar-mutarkan badannya.
Abel juga dapat boneka dari paman itu. Tapi, punyanya sedikit agak aneh. “Ini boneka apa, paman?”
Paman tersebut mendekat, menyipitkan matanya. “Oh... itu hewan naga air.”
“Naga air?” Tanya Tetam dengan lagak menyelidik.
“Iya. Menurut cerita orang dahulu, naga air itu di buat seseorang dengan kekuatan air untuk menyegel musuh utamanya. Kalah tidak salah namanya Markrasta.” Paman itu duduk sambil minum air.
Abel membolak-balikan boneka tersebut, “Bukannya Markrasta itu nama kerajaan ini ya, paman?”
Paman tersebut tersedak. “Iya, karena pendiri kerajaan ini adalah sahabatnya sendiri, jadi di beri nama Markrasta, nama sahabatnya sendiri. Tapi sekali lagi, itu hanya dongeng sih.”
“Ish, kukira betulan lho, paman.” Tetam berhenti mencium-ciun bonekanya. Paman tersebut hanya mengangkat bahu, membuang muka.
Tetam melihat tempat makanan yang bagus, “Ya sudah, kita cari makan dulu yuk. Makasih ya paman, bonekanya.” Aku dan Abel mengangguk, melambaikan tangan ke pamannya.
“Kita ke mana, Tetam?” Abel menyelaraskan jalannya dengan Tetam.
“Kita pergi ke sana. Kelihatan kan asap yang mengepul itu? Kita pergi ke sana.” Tetam menunjuk gerai berwarna merah yang sepi pengunjung, dan hanya ada dua orang yang mengurus gerai tersebut.
Abel menepuk bahu Tetam, menghentikannya. “Memangnya kamu tidak salah? Di sana tidak ada yang beli lho. Biasanya kan kalau orang tidak ada yang membelinya, maka mungkin saja makanan di sana tidak enak, Tetam.”
Tetam menyeringai, “Wah, wah, wah... seorang Abel bahkan meragukan lidah sang pencicip handal? Ck, ck, ck... daripada menunggu lama dan ragu-ragu, ayo. Kita langsung ke sana saja.”
Tentu Abel tidak setuju dan meragukannya, tapi mau bagaimana lagi? Tetam itu pekerjaannya kalo tidak jahil, ya makan.
Dengan segala keraguannya, Abel memutuskan untuk tetap mengikuti Tetam. Begitu pula denganku, yang hanya ikut-ikutan, tanpa tahu apapun.
...****...
Dua menit berjalan, sampai. Kedua penjaga gerai tersebut hanya duduk termangu sembari melihat dan menerima makanannya tidak ada yang di jamah seorang pun, di tengah keramaian gerai lain yang banyak pembeli dan banyak juga penjaga gerai mendapatkan stamp dari pembeli yang menukarkan nya dengan makanan mereka tersebut.
“Kak, gurita nya satu tusuk ya.” Tetam memecah lengang kedua penjaga gerai tersebut. Tidak percaya mereka mendapatkan pelanggan untuk pertama kalinya.
Salah satu kakak tersebut mengusap matanya, “Iya dik? Mau ukuran yang mana?” Dia mempersilakan.
“Nah, Abel. Pilih gurita yang kamu mau. Kamu juga, Adrian. Tapi jangan lupa beri stamp nya ya.” Setelah itu, Tetam memberikan satu stamp nya dan langsung memilih ketiga ukuran gurita. Kecil, sedang, dan besar.
Kakak tersebut mengangguk dan mengambil ketiga gurita itu dan langsung membakarnya di atas pemanggang dengan di olesi dengan bumbu khusus.
Abel terkesiap. Wah... memang sebesar itu ya guritanya?. Dan memilih gurita ragu-ragu sambil menyerahkan stamp miliknya.
Tetam menutup mata, tersenyum menghirup aroma bumbu dari gurita nya yang sedang di panggang. “Wah... ini sih bukan main baunya. Pasti ini bau resep yang sudah di wariskan turun-temurun.”
Terlepas dari Tetam yang berlebihan atau tidak, tapi aroma bumbunya memang kuat dan harum. Seolah sangat memanjakan lidah, walaupun kami belum memakannya sekalipun.
“Aku gurita yang besar kak, dua ya.” Aku menunjuk gurita besar, dan kemudian menyerahkan satu stamp ku.
“Oke dik, di tunggu ya. Dua gurita berukuran besar sebentar lagi akan segera matang.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments