Lima belas menit? Belum cukup untuk menghabiskan semua daging babinya. Baru juga setengah.
Abel diam-diam melangkah dari belakang Tetam, dan Hap! Abel mengambil daging babi di piring Tetam dan lari dengan gesitnya.
Tetam yang diganggu dari tadi sudah tidak tahan, dia mengubah bayangan Abel menjadi tangan-tangan yang panjang, lalu bayangan tersebut cepat mengikat tubuh yang mengganggunya itu.
“Kena juga! Abel!” Tetam mendengus kesal, segera mengambil daging babi yang terjatuh dari tanah, dibakarnya kembali lalu kemudian dia makan.
Abel tersenyum, mengubah tangan-tangan bayangan menjadi air, dan bayangan Abel kembali seperti semula. Kemudian mendekat kearah Tetam.
Tetam tahu apa yang terjadi selanjutnya pun menggeram seperti kucing yang mengancam, tidak ingin diganggu.
Aku dan Abel yang melihat kejadian itu tertawa. Aku hampir menumpahkan dagingku ke tanah.
“Nak, dagingnya masih banyak lho. Jangan ganggu adikmu itu, dia sudah menunggu-nunggu acara berburu babi hutan ini.” Daging yang Ibu makan di piring habis, kemudian beranjak berdiri, kembali memutar babi guling agar tidak mendingin.
Di tengah mereka yang sedang bertengkar, Abel menghentikan gerakannya untuk mengecoh Tetam, segera beralih mendekatiku yang terlihat lesu memakan daging.
“Kamu kenapa? Dagingnya nggak enak?” Abel mendekat, memotong kecil daging babi, kemudian menaruhnya di piring, kemudian duduk di sampingku.
Aku menggeleng, “Bukan.”
“Terus kenapa?” Tanya Abel dengan mulut yang masih penuh dengan daging dan kulit babi yang kriuk.
Aku menunduk, menghela napas berat, “Nggak apa-apa, cuman... jadi teringat saja. Dulu waktu kedua orangtua ku masih hidup, setiap tiga bulan sekali, Papa selalu membawakan seekor babi untuk dibakar nanti malam. Dan adikku selalu menunggu setiap tiga bulan sekali.” Aku mulai memakan kembali daging babi tersebut, meskipun tidak selahap sebelumnya.
Tetam yang masih lahap memakan daging sembari berdiri, segera mendekat ikut mendengar percakapan kami.
Abel menatap wajahku sekejap, lalu beralih pandang menatap babi guling yang masih diatas perapian, kemudian memegang bahuku. “Kamu rindu dengan adikmu, Adrian?” Abel menatap prihatin.
Aku tidak menjawab, hanya mengangguk sembari mengambil gelas minum.
Tetam berdiri di depanku, menghalangi pandanganku dari perapian. “Kalau kamu sangat rindu dengan adikmu itu, nih kamu makan!” Dia menyeringai, menyumpal banyak daging dari piringnya ke mulutku, hingga mulutku penuh dengan daging dan kulit babi.
Abel yang terkejut, sontak berdiri melototi Tetam. “Apa-apaan kamu Tetam?! Dia lagi sedih! Bukannya dihibur, malah di sumpal daging!”
Tetam terus menyumpal daging ke mulutku, walaupun mulutku sudah penuh dengan daging. “Haha, aku hanya membantu menaikkan moodnya saja kok. Supaya dia tidak terus-terusan sedih memikirkan adiknya itu.”
“Lagipula nih ya, keluarga itu tidak akan pernah terpisah walau sejauh apapun kamu pergi. Pasti dia akan kembali lagi. Percaya saja. Lagipula, pasti kamu bakal bertemu dengan adikmu lagi kok, suatu hari nanti.” Tetam mencengkeram pinggangnya, menyeringai lebar.
Aku mengangguk, tersenyum tipis. Lantas melanjutkan memakan daging di piringku hingga habis.
Matahari segera timbul dari arah timur, siap menyiram pepohonan dipagi hari. Udara yang sebelumnya dingin, perlahan menjadi sedikit menghangat.
Lalu di saat yang bersamaan, babi guling yang kami makan telah habis, dan hanya menyisakan tulang-belulang.
Ayah dan Ibu juga segera kembali ke wujud sebelumnya. Aku, Abel, dan Tetam membersihkan sisa-sisa dari perapian tersebut. Lalu segera berkemas dan siap untuk pulang.
...----------------...
Saat sampai dirumah, aku langsung pergi ke kamar dan langsung merebahkan badanku, kemudian tanpa sadar aku sudah tertidur.
Tetam minta izin untuk main diluar menemui teman-temannya. Setelah diizinkan, dia pergi berlari ke rumah temannya kegirangan.
Abel membantu meletakkan barang belanjaan sewaktu di pasar tadi ke atas meja, setelah itu dia berjalan ke kamar, penasaran kenapa aku tadi berlari sangat kencang ketika sesampainya dirumah tadi.
Abel yang melihatku tidur lelap, sontak mengambil selimut dan menutupi setengah badanku dengan selimut tersebut. Kemudian dia melanjutkan pergi ke dapur untuk membantu Ayah dan Ibu.
Tiga jam berlalu tanpa terasa. Aku bangun dari kepulan selimut yang menghangatkanku, lantas pergi ke dapur untuk membasuh wajah.
Di selang aku membasuh wajah, Abel, Ayah, dan Ibu cekatan melakukan tugasnya masing-masing.
Abel gesit menganyam rotan-rotan yang ada di dalam bakul. Ayah ke halaman belakang sedang menanam sesuatu untuk dijual nantinya dengan harga yang sedikit lebih berkualitas. Dan Ibu, jangan ditanya lagi. Ibu selalu cekatan membersihkan buah, sayur, serta organ dalam ayam yang harus di buang sebelum memasaknya di atas panci.
Aku meregangkan badan sebentar, lantas pergi membantu Abel menganyam rotan hingga selesai.
Lima belas menit berlalu dihabiskan hanya untuk menganyam rotan. Tidak seperti sebelumnya, pesanan kali ini agak sedikit. Makanya anyaman yang kami buat juga tidak sebanyak kemarin.
Setelah selesai menganyam rotan, kami pamit untuk main diluar sama seperti Tetam.
Aku yang baru beberapa hari disini bingung, mau main dengan siapa? Ben? Karl & Kerl? Sementara itu aku tidak tahu di mana rumah mereka. Tapi Abel mengajakku main kerumah temannya, mengingat aku baru satu-dua hari disini, aku setuju-setuju saja.
Sepuluh menit menempuh perjalanan, akhirnya sampai juga. Rumah sederhana, sedikit lebih besar dibandingkan rumah kami sebenarnya. Tapi dengan hiasan beberapa perabotan membuat rumah ini terlihat seperti elok dan sedap dipandang mata.
Abel melepas sendalnya dan mulai mengetuk pintu. Setelah beberapa ketukan, seseorang membuka sedikit celah pintu rumah.
“Eh... Nak Abel ada apa datang kemari?” Tanya orang itu dengan senyum yang ramah.
Abel balas tersenyum, sedikit menggaruk lehernya yang tidak gatal, “Thomi nya ada Bu?”
Siapa dia? Ibu Thomi?
Ibu Thomi pun membukakan pintu dengan lebar, lalu melangkah seraya memanggil nama “Thomi” berkali-kali dan bilang “Ada temanmu yang datang”.
Aku dan Abel segera masuk ke rumah tersebut dan duduk di lesehan yang beralaskan tikar gulung yang terbuat dari sedotan warna-warni bermotif bunga.
Thomi datang ke ruang tengah sambil menggosok matanya yang mengerjap-ngerjap, “Oh, Abel. Ada apa? Tumben datang kesini, biasanya kamu datang setiap hari minggu saja.”
“Ini kan hari minggu, Thomi.” Abel menepuk dahinya. Mungkin yang batinnya berkata begini : Aduh, kok bisa lupa sih kalau hari ini ya hari minggu.
Thomi menyeringai, lantas duduk bersebelahan dengan Abel. “Abel, dia siapa? Teman baru kamu?”
Abel menengok kearahku sekejap, lalu kembali menengok Thomi, “Bukan, dia saudaraku. Kebetulan orangtuanya menitipkan dia ke rumahku.”
Thomi mengangguk paham sembari tetap mengucek matanya, “Oh... berarti makin banyak dong orang dirumahmu. Seperti tempat penampungan saja.”
Abel mengangguk selintas, “Hari ini kamu senggangkan Thom?”
Thomi mengangguk, “Iya, memangnya kenapa?”
Abel menyeringai lebar, seperti ada niat jahat didalamnya. Tapi tepat sebelum dia mengutarakan pertanyannya tersebut, Thomi sudah menimpalinya.
“Kamu mau hari ini kita latihan? Setiap minggu kan kamu bilang begitu. Dia juga sekalian ikut. Aku sudah tidak sabar mengeluarkan teknik baruku.” Thomi tersenyum lebar sambil meninjukan kedua kepalan tangannya kearah yang berlawanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments