Sekolah (2)

Kegiatan gotong-royong dimulai.

Beberapa murid dibagi menjadi beberapa kelompok. Dan setiap kelompok memiliki tugasnya tersendiri.

Aku sekarang berada di kelompok menanam bibit tanaman. Ya, kalian tidak salah. Kelompok kami diminta untuk menanam bibit tanaman di belakang sekolah.

Total anggota di kelompok kami ada empat orang, sebenarnya masih ada dua kelompok lagi yang ditugaskan menanam bibit tanaman juga di belakang sekolah.

“Sebelum kita menanam, mari perkenalkan diri kita masing-masing.” Anak laki-laki, perawakan sedikit gendut, rambut mangkok, dengan mata yang jeli, maju selangkah mengulurkan tangannya ke tengah lingkaran kosong yang kami buat.

Dia menunjuk dirinya, “Dimulai dari aku dulu. Hehe, perkenalkan namaku Ben. Umurku tujuh tahun, makanan favoritku mie, warna kesukaanku adalah biru. Seperti yang kalian lihat, baju, celana, sampai syal ku juga berwarna biru.”

Salah satu dari dua anak perempuan maju memasang wajah percaya diri, “Perkenalkan, namaku Karl dan disebelahku ialah adikku, Kerl. Makanan favorit aku adalah kentang rebus, sedangkan Kerl dia lebih suka kentang goreng yang dipotong tipis-tipis.”

Karl mundur selangkah, dan mendorong Kerl selangkah yang masih malu-malu. “Emm... dan warna favorit aku adalah merah muda, sementara dia warna favoritnya adalah merah.”

“Wah, baju kalian bagus sekali ya, pasti mahal.” Aku mengangguk, kemudian melihat saksama baju yang mereka kenakan.

Karl melambaikan tangan, tersipu malu. “Ah tidak, baju kami ini hasil dari memungut sampah setiap hari di pusat pembuangan sampah. Duitnya kami tabung, lalu terkumpul. Setelah itu barulah kami ke pasar dekat sekitaran sini untuk membeli baju ini.”

Ohh... aku mengangguk takzim.

“Nah sekarang giliran kamu lagi.” Ben memajukan kaki kanannya kedepan, lantas menunjukku.

Aku terkesiap sebentar, kemudian segera memperbaiki sikap. “Perkenalkan namaku Adrian, umurku sepuluh tahun. Makanan favoritku semua makanan yang bisa dimakan. Lalu warna favoritku adalah warna hijau.”

“Hijau?” Karl menggaruk pelipisnya.

“E-eh? Iya, karena itu warna kesukaan adikku.” Aku mengangguk pelan, menunduk.

Mata Kerl berbinar-binar, “Wah... kamu juga punya adik Adrian?”

Mataku sekarang juga ikut berbinar-binar seperti Kerl, kemudian mengangguk.

“Baiklah, cakap-cakapnya sudah cukup. Sekarang ayo bantu aku menanam bibit-bibit ini.” Ben balik badan, segera mengambil salah satu bungkusan berisi biji-bijian.

Aku, Karl, dan Kerl mengangguk. Lantas ikut membantu menanamkan bibit di tempat yang sudah di tandai dan dilingkari oleh Pak Arion.

Tiga puluh menit melintas dengan cepat. Aku dan murid yang lain merebahkan badan di atas rerumputan yang sudah dipangkas oleh kelompok lain.

Beberapa saat kemudian, Pak Arion datang ke halaman belakang sekolah.

Pak Arion menyeka keringat di pelipisnya, memandangi sekitaran halaman, “Wah... Semuanya sudah rapi, bibit-bibitnya pun sudah di tanam sesuai arahan Bapak. Anak-anak Bapak memang bisa diandalkan.” Aku dan murid yang lain tersenyum dipuji Pak Arion. Beberapa lagi tertawa karena Bapak merasa puas dengan hasilnya.

Pak Arion menepuk tangannya, “Baiklah semuanya, setelah kalian sudah istirahat sebentar, nanti kembali lagi ya ke lapangan tadi.”

“Baik Pak!” Kami menjawab serentak.

...----------------...

Lima menit kami menghempaskan lelah, saatnya kembali ke lapangan.

Saat tiba di lapangan, sudah ada hampir semua murid lain yang telah berbaris rapi. Sepertinya hanya enam kelompok (kelompok kami) saja yang tersisa.

Aku dan yang lain berlari-lari kecil, mulai membuat barisan yang baru.

“Baik anak-anak, karena semuanya sudah berkumpul, Bapak akan memberikan hadiah dari kepala sekolah dikarenakan kalian telah bekerja keras membersihkan lingkungan sekolah.” Pak Arion bergerak gesit memberikan lima buah stamp untuk setiap muridnya.

Kami melihat stamp di tangan kami, seperti stamp biasa.

Setelah memberikan stamp, Pak Arion kembali berdiri ke tempat semulanya. “Nah, apa kalian tahu gunanya stamp ini?”

Banyak dari kami menggeleng, dan sebagian yang lain masih memperhatikan stamp di tangannya.

Pak Arion menengok dari ujung ke ujung, lalu menjelaskan. “Kelima stamp ini punya fungsinya masing-masing. Stamp yang ada nomornya untuk nomor kursi yang akan kalian tempati di festival nanti. Lalu keempat stamp sisanya bisa kalian tukar dengan jenis makanan dan minuman yang kalian mau.”

“Hah? Acara Festival?” Salah satu murid bertanya, membuat mereka berbisik-bisik. Sebagian karena gembira bisa datang ke festival, sebagian yang lain bertanya-tanya apa itu festival (termasuk aku).

Tetam mengangkat tangan, “Tapi kami tidak baju untuk ke festival Pak.” Suara setuju saling sahut menyahut membuat suara tersebut seakan menggema.

Pak Arion tertawa kecil, “Tenang saja. Stamp tempat duduk kalian itu juga sekalian dengan setelan baju untuk ke festival nanti. Tinggal pencet saja nomornya, dan BUM! Kalian sudah berganti baju.”

Satu-dua dari kami memencet angka stamp nya, dan BUM (memang ada suara bum nya teman-teman) baju lusuh mereka yang habis dari gotong-royong, dalam sekejap berubah menjadi setelan baju yang terlihat mahal.

Mataku mengerjap-ngerjap tidak percaya. Baju semahal ini untuk kami ke festival? Terlebih lagi, yang memberikannya kepala sekolah? Sekaya apa kepala sekolah ini.

Pak Arion menepuk-nepuk tangannya, menghentikan keributan. “Oke, sekolah hari ini sampai siang saja. Festival akan dimulai dalam lima hari lagi, dan dalam lima hari itu akan kami gunakan untuk renovasi sekolah. Jadi, dalam lima hari kedepan sekolah libur. Paham semuanya?”

“Paham Bapak!”

...----------------...

Sekarang tepat pada tengah hari, terik. Aku, Abel dan Tetam memetik daun dari pohon pisang untuk melindungi kepala kami dari teriknya sinar matahari.

Abel menatap stamp-stampnya“Wah... pasti Ayah dan Ibu senang mendengar kita akan pergi ke acara festival.”

Tetam mengangguk haru, menyeka air matanya.

“Festival itu apa?” Aku bertanya sembari melihat stamp-stampku.

Tetam menghapus air matanya dengan baju, “Festival itu semacam acara perayaan, setiap orang bisa pergi ke acara itu. Tapi kita harus menukarkan stamp nya dengan uang.”

“Memangnya berapa koin?”

Tetam menyelaraskan langkahnya, “Stamp bernomor ini biasanya untuk menonton acara festival secara langsung. harganya tiga koin emas atau tiga ratus koin perak.”

Aku terkesiap, tiga ratus?! Dapat dari mana uang segitu?

“Lalu ketiga stamp yang ini, untuk menukarkannya dengan makanan. Harganya tiga puluh koin perak Adrian.”

“Jadi satu stamp tempat duduk untuk menonton langsung setara dengan sepuluh stamp makanan?” Tanyaku sambil mengelus stamp ditangan.

Tetam tersenyum, mengangguk. “Iya. Dan yang keren adalah kita punya satu stamp nonton festival secara langsung plus baju mahal yang di pinjamkan dan empat stamp untuk makanan. Jika dihitung, hanya untuk satu orang saja bisa menghabiskan empat ratus dua puluh koin perak atau empat koin emas dan dua puluh koin perak.” Sekarang Tetam terlihat sangat antusias.

Yah... padahal aku tidak tahu apa yang dibicarakan Tetam. Tapi kalau dilihat dari mukanya, pasti itu hal yang sangat luar biasa.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!