Cerita ini bermula dari tempat yang saaaaangat terpencil dari ibukota. Tempat itu bernama Gauses, tempat pertanian. Dan satu-satunya sumber makanan ibukota.
TOK! TOK! TOK!
“Bangun! Dasar pemalas!”
“Iya, Iya.”
Aku membuka pintu kamar, mengucek-ucek mata. Hah? Vey? “Ada apa Vey?”
Dia mengetuk-ngetuk kakinya dengan cepat sembari jarinya menunjuk jam dinding yang memang kelihatan dari kamarku. Aku mengangguk-angguk, mengambil handuk dari balik pintu, lalu keluar kamar, berjalan menuju belakang rumah.
“Kak, aku mau ikut mandi boleh?” Aarav berlari kecil, sedikit mendongak menatap wajahku. Matanya sedikit berbinar-binar.
Aku mengangguk, tersenyum simpul.
...----------------...
Aku dan Aarav menaruh handuk di atas gantungan belakang pintu kamar mandi.
“Aarav.”
“Ya Kak?” Dia mendongak.
Aku menatapnya tersenyum, “Kamu mau mandi air hangat atau air dingin?”
Dia berpikir sejenak, “Air hangat saja Kak. Masih pagi soalnya.” Lalu tersenyum.
Aku menghembuskan napas (bukan yang terakhir), menyalakan kran air yang secara ajaib mengubahnya menjadi air hangat.
Bagi yang tidak tahu, kran kamar mandi kami ada tiga. Air yang paling kanan adalah dingin, yang tengah adalah biasa, dan yang paling kiri adalah panas.
Karena Aarav maunya air hangat, aku taruh ember besar di kran air panas. beberapa menit kemudian setelah embernya terisi seperempat, aku pindah ke kran yang airnya biasa. Supaya hangatnya bisa satu ember gitu.
Setelah embernya terisi penuh, aku dan Aarav melepaskan pakaian dan celana kami, lalu mandi deh.
“Nih Aarav, sabunnya.”
“Iya Kak, makasih.” Aarav mengambil sabunnya.
“Oh iya Kak, aku boleh ikut Kakak latihan nggak di hutan?” Aarav mencomot sembarang topik.
Aku membilas sabun di tubuhku dengan air, lalu berganti menoleh ke arah Aarav, “Eh? Memangnya kenapa? Tumben-tumbenan Aarav mau ikut latihan. Kemaren aja Kakak ajak, tapi Aarav nya malah menolak.”
Aarav menggaruk kepalanya, “Hehe, soalnya Aarav mau jadi kuat kayak Kakak. Tuh liat, badan Kakak saja bagus, pasti latihannya nggak main-main.” Aarav menyengir lebar.
“Hm? Oke, tapi latihan yang ringan dulu ya. Dilihat dari mana pun, Aarav kan masih anak kecil umur delapan tahun.” Wajah simpul Aarav padam, kali ini aku yang menyengir lebar.
“Ih! Aku sudah dewasa tau! Nih liat, aku bukan anak kecil lagi kan!” Haha! Dia mulai lagi.
Aku mengusap rambutnya yang berantakan, “Iya, iya. Kamu sudah dewasa kok.”
“Dan lebih kuat kan?” Pipinya menggelembung.
“Iya, iya. Dan lebih kuat.”
Kami melanjutkan kegiatan mandi yang terakhir– sikat gigi. Aku dan Aarav mengambil sikat gigi yang sudah usang, memakaikannya pasta gigi. Kemudian menyikat gigi kami sambil menghadap cermin.
Tidak terasa ya. Aarav, yang dulunya masih di gendongan Vey. Yang dulu masih suka mengompol dan buang air besar di tangan Vey, sekarang dia sudah sedikit lebih besar. Delapan tahun, seperti tidak terasa.
“Lalu habis ini apa kak?” Aarav bertanya dengan mulutnya yang masih berbusa akibat pasta gigi.
Aku tertawa, sedikit tersedak. “Ikuti Kakak. Setelah itu, kamu ludahkan saja ke sini. Puh, Lalu kumur-kumur deh. Selesai.”
Aarav mengangguk, melakukan seperti yang kusuruh.
Acara mandi kami selesai. Aku mengambil handuk, begitu juga dengan Aarav, mengeringkan badan kami yang basah oleh air.
“Boleh kan Kak?” Aarav bertanya sekali lagi, memastikan.
Aku mengangguk, menyuruhnya memasang baju terlebih dahulu. Karena setelah ini, aku, Vey, Aarav, dan beberapa teman sepanti asuhan akan mengunjungi Gereja untuk ibadah.
...----------------...
Lima belas menit selesai, berpakaian rapi. Tapi kok Aarav belum muncul juga ya? Padahal sudah jam sembilan lho. Aku memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Aarav. Setelah beberapa kali aku mengetuk pintu dan memanggil namanya, akhirnya Aarav membukakan pintu kamarnya.
Aku menatap penuh selidik, “Eh? Kenapa matamu kayak baru bangun tidur gitu? Apa jangan-jangan kamu ketiduran? Iya?”
Aarav menyengir tipis, lalu menggaruk rambutnya yang berantakan. “Ya sudah, Kakak bantu rapikan rambut dan pakaianmu itu.”
Sepuluh menit aku habiskan tak terasa di kamar Aarav yang awalnya tertidur di kasur, dengan air liur basi yang menetes di bajunya. Tidak lupa dengan rambut berantakannya. Dan setelah aku bantu menggantikan baju dan menyisir rambutnya. Sekarang, dia mutlak menjadi adik ter-imut sedunia.
“Oke, sudah rapi. Ayo berangkat. Jangan buang waktu, pasti nanti habis ini Kak Vey marah. Terus bilang ‘Kenapa lambat? Ini sudah jam berapa? Mana ada sejarahnya Tuhan suka orang yang terlambat’ dan bla, bla, bla...” Aku mengikuti gaya bicara Vey yang cerewet itu.
Aarav terkekeh, tersenyum simpul. “Iya juga ya. Pasti hari ini Kak Vey marah besar.”
...----------------...
“Dari kisah ini, tidak mungkin kan kita disuruh harus taat sama Tuhan? Atau yang lain? Disuruh ke Gereja setiap minggu?” Tetam menghentikan gerak tangannya yang menjadi ilustrasi.
Ayah terkekeh, “Tentu saja tidak Nak. Cerita ini lebih seru daripada cerita-cerita rohani itu sayang. Oke Ayah lanjutkan ceritanya, tapi garis besarnya saja. Masakan makan malamnya hampir siap tuh.”
...----------------...
Setelah selesai beribadah, Gerald dan Aarav meminta izin kepada pengasuh (orangtua di panti asuhan) mereka untuk pergi ke hutan. Mereka mengizinkannya, dengan syarat jaga Aarav baik-baik. Lalu Gerald pun meng-iyakan, lantas kedua orang itu pergi ke hutan tempat Gerald biasa latihan berpedang dan fisik.
Di hari pertama, Aarav dilatih hanya disuruh melakukan gerakan seperti push up dan sejenisnya.
Di hari kedua, pun sama. Hingga sudah genap satu bulan, Gerald menaikkan tingkat kesulitan dari latihan fisiknya.
Awalnya Gerald menyuruh Aarav mengayunkan pedang, tapi kekuatannya terlalu lemah. Akibatnya, pedang yang diayunkan Aarav tidak seimbang dan selalu jatuh ke tanah.
Sembari melatih Aarav, Gerald juga tidak lupa dengan kesehariannya di hutan. Yap, latihan fisik dan berpedang. Tidak tanggung-tanggung, sekali Gerald latihan, belum cukup rasanya sampai keringat mengucur ke seluruh tubuhnya.
Satu bulan, tidak ada perubahan yang signifikan dari Aarav. Dua bulan, tiga bulan pun sama.
Empat tahun tidak terasa. Kini umur Gerald genap dua puluh tahun, sedangkan Aarav dua belas tahun.
Gerald sejak awal, dia sudah bulat mau menjadi salah satu prajurit terhebat di Ibukota Kerajaan. Dan Gerald terpaksa meninggalkan tempat dia dibesarkan dari kecil sampai sekarang. Dan juga Aarav, yang sudah dia anggap sebagai murid sekaligus orang yang paling dia sayangi.
Dia meninggalkan Aarav dengan sebuah pedang yang dia beri, untuk kenang-kenangan.
Gerald pun berkemas dan membawa bekal selama seminggu dari Ibunya untuk sampai menuju Ibukota. Test tahunan untuk setiap penduduk yang ingin menjadi prajurit Kerajaan pun dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Kenka-san
Semangat 🔥🔥
2023-05-04
1