NovelToon NovelToon

Re-Growth of Life

Buangan (1)

   “Kejar bocah itu! Jangan biarkan dia lari!” Salah satu pedagang berteriak marah.

   Aku melambai dengan satu roti di salah satu tanganku, “Aku hutang dulu ya, nanti aku bayar!” Aku tersenyum lebar, lari melewati kerumunan pembeli yang bingung apa yang terjadi.

   Dua menit kemudian aku berhasil lari dari pasar “keramat” itu.

   Napasku tersengal, laju lariku secara konstan menurun. Aku membuka tudung kepala jaketku, membiarkan angin segar di jalanan melewati kulit-kulitku yang kotor.

   “Haha, menu sarapan hari ini sudah siap. Tiga potong roti, satu potong nya buatku, dua potong nya lagi buat adekku.”

   Aku berlari-lari kecil kembali ke “rumah” ku, pasti dia senang setelah sekian lama tidak makan roti yang masih panas.

                              ***

   Lima menit berjalan dari pasar, kembali ke rumah itu keseharian seperti pertualangan hebat. Kadang aku “tidak” sengaja menjatuhkan barang belanjaan salah satu pembeli, pura-pura minta maaf, menunduk ikut mengumpulkan barang belanjaannya yang berserak. Dan jika orang itu lengah, aku memasukkan salah satu belanjaannya ke dalam kantong jaketku, lalu pergi dari pasar.

   Kadang juga aku bekerja sama dengan kucing liar. Haha, kelihatan mustahil bukan? Tapi inilah kenyataannya.

   Kucing mengalihkan perhatian mengambil dua ekor ikan bakar, sedangkan aku mengendap mengambil berapapun ikan bakar yang aku dapat dengan genggaman tanganku.

   Lalu kucing itu mengeong membuat pedagang itu sadar, lantas dia mengejek pedagang tersebut kemudian lari secepat mungkin.

   Aku? Jangan di tanya, hari itu kami berdua sama-sama mendapat tangkapan besar. Kucing itu dapat dua ekor, sedangkan aku empat ekor. Aku masukkan ikan bakar itu ke dalam kantong belanja, kemudian pergi lewat jalan belakang.

                              ***

   “Kakak pulang.” Aku menunduk, tiba di “rumah kecil” kami.

   Seperti katanya, “rumah kecil”. Pada dasarnya ini bukan rumah, aku dan adekku hanya hidup di belakang tong sampah besar yang atasnya ditutupi plastik besar berwarna biru sepanjang 2x2 meter, dengan pengait tongkat panjang.

   Melihat wajah adikku yang gembira hari ini bisa makan saja, aku... sudah bahagia. Aku meletakkan tiga potong roti, ikut duduk.

   “Wah... Roti, masih hangat pula. Kakak dapat uang dari mana?” Wajah adikku berseri-seri.

   “Kakak tadi habis kerja paruh sebentar, kemudian di upah. Karena upahnya banyak, kakak beli saja roti yang banyak.” Aku tersenyum– tidak, lebih tepatnya berusaha tersenyum agar adikku tidak curiga, lalu mogok makan karena ini barang curian.

   Adikku ber-oh pelan, kemudian tangannya gesit mengambil roti.

   Aku terkekeh melihat kelakuan adikku ini, seperti tidak makan seminggu saja. Padahal kan baru saja dua hari dia tidak makan.

   “Kamu sudah belajar?” Aku mencomot sembarang topik.

   Dia menyeringai, mengangguk. “Iya, aku belajar ini.” Dia menunjukkan buku tipis lusuh yang disampingnya kepadaku.

   Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, “Ini apa?”

   “Ini namanya huruf kak.”

   “Huruf?”

   “Iya kak, dari orang yang membuang ini sih katanya begitu. Dan katanya buku ini sudah tidak ada gunanya, jadi dia buang saja. Terus aku pungut deh.” Adikku tertawa. Aku pun ikut tertawa, walaupun aku tidak tahu maksud adikku.

   “Kak.” Dia menoleh.

   “Ya?”

   “Rotinya kan ada tiga. Sedangkan kita di sini ada dua saja. Nah, satunya ini untuk siapa Kak?”

   Aku pura-pura berpikir– mendongakkan kepala, “Ya untuk adikku tersayang lah.”

   Pipinya menggelembung, “Bukan!”

   “Eh?” Aku salah tingkah.

   “Seharusnya ini di bagi setengah kak. Supaya adil gitu lho.”

   “Hm? Kan supaya gizi kamu terpenuhi. Makanya Kakak kasih lebih.” Waw, aku terlihat seperti ahli gizi bukan?

   “Giza Gizi, badan Kakak saja kurus begitu. Seharusnya Kakak beli yang banyak juga buat Kakak sendiri. Jangan aku doang dong!” Celaka! Dia mencengkeram pinggangnya!

   Hidungku mengembang, “Hehe, maaf... lain kali Kakak juga beli yang banyak buat Kakak sendiri deh.”

   “Janji?”

   “Janji.”

   “Nah itu dia!” Kami terperanjat kaget melihat begitu banyak orang yang datang ke sini.

   Salah seorang dari mereka bertubuh kekar maju, “Mau ke mana lagi kau bocah? Tadi pagi kau mencuri roti pedagang lain. Lalu, nanti siang kau akan mencuri apalagi heh?! Ayam bakarku? Atau ikan bakan orang itu?” Dia menunjuk orang yang kukenal, pedagang yang menjual ikan bakar.

   Salah satu dari mereka memberikan balok kayu kepada si Kekar itu, dia menepuk-nepuk balok kayu tersebut.

   “Hah! Kalian jangan berpikir kita tidak menangkap kalian berdua selama ini karena Maria si tukang–”

   “DIAM! Dia tidak jahat!” Belum genap dia bicara, adikku sudah memotong kalimatnya.

   Wajah orang itu merah padam seperti kepiting rebus, “Siapa yang boleh memotong pembicaraan orang tua hah?! Apa dia juga mengajarkan kalian–”

   “DIAM!” Kali ini aku yang memotongnya.

   Napasku tersengal, dadaku mendadak sesak, meski tidak lari. Mereka salah! Mereka hanya dipermainkan oleh si pendeta tua itu!

   “Oh... Mereka juga mengajari kalian ya... Bawa mereka berdua.” Seru si Kekar bontot itu.

   Dua orang dari mereka maju mendekati kami. Meski sempat melawan, tapi usaha kami sia-sia. Mereka duluan memukul perut, membuat kami terkulai lemas, lantas kami berdua di gendong kedua orang itu.

   BRAK! Kitab kecil dari sakuku jatuh. Pedagang ikan bakar itu mengambilnya, “Hm? Kitab suci? Pastilah ini karena kalian diajari yang tidak-tidakkan sama Ibu kalian itu! Membawa kitab ke mana-mana, bahkan saat mencuri? Hah! Mau dikata apa dunia ini.”

   Adikku sudah pingsan di gendongannya, mataku mengerjap-ngerjap, samar melihat langit mendung yang akan segera turun hujan.

   Tanganku berusaha menggapai adikku, “Naa... Taa... N.” Mataku tertutup.

                              ***

   “Nak...” Suara lembut itu, ketenangan lembut itu, tidak salah lagi! Mama!

   Mataku terbuka. Melihat Mama berdiri di depanku. Aku melihat sekitar dengan saksama, putih. Semuanya putih! Di mana langit yang biru? Pasar? Bak sampah? Oh ya! Adikku di mana!

   “Jangan panik seperti itu, Adrian.”

   “Mama!” Mataku berbinar melihat wajah Mama. Tunggu, itu artinya...

   “Tidak Nak, kamu belum mati. Kita berada di alam bawah sadarmu. Saat ini kalian akan dibawa ke perkampungan. Maaf mengatakannya, tapi...” Baru kali ini aku melihat Mama begitu gelisah.

   “Tapi apa Ma?” Aku berusaha tersenyum, setidaknya itu bisa membuat Mama senang.

   “Tapi, kalian... Tidak jadi. Ingat saran Mama, jangan pernah khawatir.”

   Mama balik badan membelakangiku. Aku ingin meraih tangannya dengan tanganku, tapi tidak bisa. Tembus.

   “Pesan Mama hanya satu. Jaga baik-baik adikmu.” Setelah Mama mengatakan pesan terakhirnya, Mama sudah menghilang tertiup debu.

Buangan (2)

“Oi bocah, bangun!” Seseorang membangunkanku. Aku bangun dengan pandangan yang masih sempoyongan, melihat sekitar, masih mencerna apa yang terjadi.

BRUK! Aku dijatuhkan dari gendongan. Kesadaranku sudah kembali seratus persen. Natan? Oh iya! Adikku! Aku segera bangkit, melihat sekeliling.

Pondok. Atau lebih tepatnya bisa disebut gudang. Hawanya lembab, dengan tumpukan jerami yang mengisi sudut-sudut ruangan, dan dua gerobak tua yang biasanya digunakan untuk mengangkut jerami-jerami ini.

Tidak ada Natan. Hanya ada aku, dan ketiga preman botak lainnya.

“Paman. Paman lihat tidak adikku?” Aku maju satu langkah, bertanya sesopan mungkin.

Mereka saling lirik, lantas tertawa kecil. “Adikmu? Kami tidak lihat tuh. Kau betul-betul pingsan?”

Aku mengangguk sesopan mungkin. walaupun aku tidak tahu bagaimana cara untuk sopan.

Salah satu preman tersebut maju satu langkah lebih dekat, “Sedari awal kami tidak lihat tuh kau punya adik. Toh tidak ada gunanya kau mencari adikmu itu, sebentar lagi juga kau akan dijual.”

“Dijual?!” Aku terperanjat mundur satu langkah.

Mereka kembali saling tatap satu sama lain, lantas tertawa terbahak-bahak setelah beberapa detik kemudian.

“Hahaha, lucu ya. Kau sudah kami beli dari salah satu penduduk yang perawakannya kekar itu. Lalu, satu hari setelahnya klien kami mau membelimu. Jadi, sekarang kami hanya perlu menunggu lagi beberapa menit, lalu kau akan dibawa deh oleh klien kami.”

Aku menelan ludah, “Berapa lama aku pingsan?”

Salah satu dari mereka berhitung, “Dua setengah hari.”

“Dua hari?!”

Preman disampingnya tertawa, “Hei, hei. Seharusnya kami yang terkejut. Kau pingsan dua hari tanpa makan dan minum, kami kira kau sudah mati. Jadi, kami turunkan sedikit harganya. Ternyata kau masih bisa hidup rupanya, kelihatan sehat pula.” Preman itu mengangkat sedikit daguku, lalu diturunkannya lagi.

Dua menit lengang setelah pembicaraan tadi. suara ketukan pintu terdengar dari luar, salah satu preman berjalan membukakan pintu sedikit, mengangguk. Beberapa saat kemudian, dia membukakan pintu lebar-lebar.

Terlihat sepasang kekasih yang sudah renta dari balik pintu tersebut, mereka mulai melangkah mendekatiku. Kami saling bertukar pandang beberapa detik, lalu mereka mengeluarkan kantong berisi uang.

“Itu berisi seribu lima ratus koin perak, hitung saja jika kalian tidak percaya.”

Ketiga preman itu menyengir lebar, “Iya, pas seribu lima ratus. Jaga diri kalian baik-baik ya.”

Sepasang kekasih itu membantuku berdiri, lantas berjalan– aku menyusul dari belakang, meninggalkan gudang tempat penyimpanan tumpukan jerami tersebut.

“Jaga diri kalian baik-baik ya.” Ketiga preman itu melambaikan tangannya dari kejauhan. Cih, bisa juga ya mereka bersikap baik.

...----------------...

Lima belas menit kemudian, kami tiba di sebuah rumah, hampir semua sisi rumah tersebut terbuat dari anyaman rotan dan beratapkan tumpukan jerami dan ilalang kering yang kemudian diikat kencang dengan seutas tali panjang, membentuk pola layaknya jaring laba-laba.

Tampak dua orang satunya seumuranku dan satunya lagi mungkin masih berumur tujuh tahun, duduk bersila di pelataran rumah, melambaikan tangan– menyambut kedatangan kami (mungkin termasuk aku?).

“Ibu sudah pulang?” Salah satu dari kedua anaknya bertanya.

Wanita paruh baya tersebut senyum sembari mengangguk, “Iya Nak. Dia seumuran dengan Abel. Eh, umur kamu sepuluh tahun kan?” Wanita paruh baya itu menengok kearahku, lalu tersenyum.

Aku balas tersenyum (canggung), “Iya, umurku sepuluh tahun.”

Apa sekarang aku harus memanggilnya “ibu”? Oke.

“Ayo Nak, silakan duduk santai di pelataran sambil kamu bercerita tentang hidupmu.” Ibu dan Ayah sudah berjalan, lantas duduk bersama kedua anaknya di pelataran rumah.

Aku lagi-lagi menelan ludah, apakah mereka tetap mau mengasuhku walaupun Mama juga termasuk ke salah satu korban insiden itu? Aku mengangguk, memutuskan ikut duduk.

“Perkenalkan, namaku Adrian. Umurku sekarang sepuluh tahun. Aku juga punya adik, namanya Natan, umurnya sekitar sembilan tahunan. Kami berdua yatim piatu sejak umur enam tahun. Mama mati karena insiden ‘itu’.”

“Insiden itu?” Tanya Abel sambil sedikit memiringkan kepalanya.

Aku mengangguk sekaligus menelan ludah. Hatiku tidak bercampur aduk, “Iya, insiden ‘perburuan penyihir’ yang memakan banyak korban perempuan.”

Anak kecil disebelahku mengangkat tangan antusias, tapi dipadamkam oleh Bapak yang menyuruh dia untuk diam, dan mendengarkan seluruh cerita aku.

“Sebenarnya, yang diburu oleh pihak Gereja itu para wanita yang tidak menikah atau yang tidak punya anak kan ya? Tapi... entah kenapa Mama juga kena dan jadi salah satu korban di insiden itu.”

“Katanya sih, Mama dan Papa punya kekuatan, tapi tergolong kecil. Kekuatan itu cuman bisa membantu pekerjaan sehari-harinya. Tapi mereka menganggap lain ketika tahu bahwa Aku dan adikku tidak punya kekuatan seperti kedua orangtua ku.”

Dan tidak terasa, aku menghabiskan dua jam untuk bercerita. Reaksi mereka tidak seperti yang aku duga. Mereka hanya senyum, sesekali mengangguk dan bertanya, lalu aku jawab.

“Mama kamu sangat kuat ya.” Ibu tersenyum, yang aku lihat bukan sekedar tersenyum. Tapi seperti ada sesuatu yang berbeda dari senyumannya. Mungkin karena dia pernah mengalami hal-hal yang berat semasa hidupnya.

Ayah selesai menyalakan lampu yang berbahan bakar minyak tanah, kemudian menaruhnya ke gantungan yang ada di depan. Lalu, dia menyalakan petromaks lagi untuk penerangan di dalam rumah.

“Ayo, sudah larut. Kita makan malam dulu, baru habis itu tidur ya.” Tutur Ayah lemah lembut.

Kami bertiga mengangguk, segera masuk ke dalam rumah.

Aku menepuk bahu anak kecil disebelah kananku. Kebetulan dia berada tidak jauh dariku, “Hei, namamu siapa tadi?”

Dia menoleh, lalu tersenyum, “Tetam kak.”

Aku ber-oh pelan, tetap berjalan mengikuti jejak cahaya dari lampu petromaks Ayah dengan kecepatan yang konsisten.

Aku, Abel, dan Tetam disuruh duduk di lesehan, menunggu makan malam sedang disiapkan oleh kedua orangtua itu.

Di waktu yang senggang, sesekali kami main bayang-bayangan dari cahaya lampu petromaks yang sengaja di letakkan ke tengah-tengah lesehan. Kami mundur, menyesuaikan ukuran bayangan yang kami mau, lantas membuat beberapa hewan dan tanaman dari tangan-tangan kami.

Ya, kadang kala Tetam memakai sedikit kekuatannya untuk membuat bangunan istana dari bayangan.

Beberapa menit lengang, tidak ada permainan yang asyik, Ayah datang ikut duduk.

“Kalian mau Ayah ceritakan cerita yang menarik?” Ayah bersiap pada posisi ingin bercerita.

Kami bertiga menatap Ayah antusias. Tanpa sadar, kami mengangguk begitu saja.

“Baik. Tetam, kamu buatkan ilustrasi dari bayangan yang kamu buat ya. Ini akan menjadi cerita yang menarik.” Ayah sedikit memindah posisi lampu petromaks, menyesuaikan.

“Sudah siap?”

Kami mengangguk serempak.

“Cerita ini bermula dari tempat yang saaaaangat terpencil dari ibukota. Tempat itu bernama Gauses, tempat pertanian. Dan satu-satunya sumber makanan ibukota.”

Cerita Malam (1)

Cerita ini bermula dari tempat yang saaaaangat terpencil dari ibukota. Tempat itu bernama Gauses, tempat pertanian. Dan satu-satunya sumber makanan ibukota.

TOK! TOK! TOK!

“Bangun! Dasar pemalas!”

“Iya, Iya.”

Aku membuka pintu kamar, mengucek-ucek mata. Hah? Vey? “Ada apa Vey?”

Dia mengetuk-ngetuk kakinya dengan cepat sembari jarinya menunjuk jam dinding yang memang kelihatan dari kamarku. Aku mengangguk-angguk, mengambil handuk dari balik pintu, lalu keluar kamar, berjalan menuju belakang rumah.

“Kak, aku mau ikut mandi boleh?” Aarav berlari kecil, sedikit mendongak menatap wajahku. Matanya sedikit berbinar-binar.

Aku mengangguk, tersenyum simpul.

...----------------...

Aku dan Aarav menaruh handuk di atas gantungan belakang pintu kamar mandi.

“Aarav.”

“Ya Kak?” Dia mendongak.

Aku menatapnya tersenyum, “Kamu mau mandi air hangat atau air dingin?”

Dia berpikir sejenak, “Air hangat saja Kak. Masih pagi soalnya.” Lalu tersenyum.

Aku menghembuskan napas (bukan yang terakhir), menyalakan kran air yang secara ajaib mengubahnya menjadi air hangat.

Bagi yang tidak tahu, kran kamar mandi kami ada tiga. Air yang paling kanan adalah dingin, yang tengah adalah biasa, dan yang paling kiri adalah panas.

Karena Aarav maunya air hangat, aku taruh ember besar di kran air panas. beberapa menit kemudian setelah embernya terisi seperempat, aku pindah ke kran yang airnya biasa. Supaya hangatnya bisa satu ember gitu.

Setelah embernya terisi penuh, aku dan Aarav melepaskan pakaian dan celana kami, lalu mandi deh.

“Nih Aarav, sabunnya.”

“Iya Kak, makasih.” Aarav mengambil sabunnya.

“Oh iya Kak, aku boleh ikut Kakak latihan nggak di hutan?” Aarav mencomot sembarang topik.

Aku membilas sabun di tubuhku dengan air, lalu berganti menoleh ke arah Aarav, “Eh? Memangnya kenapa? Tumben-tumbenan Aarav mau ikut latihan. Kemaren aja Kakak ajak, tapi Aarav nya malah menolak.”

Aarav menggaruk kepalanya, “Hehe, soalnya Aarav mau jadi kuat kayak Kakak. Tuh liat, badan Kakak saja bagus, pasti latihannya nggak main-main.” Aarav menyengir lebar.

“Hm? Oke, tapi latihan yang ringan dulu ya. Dilihat dari mana pun, Aarav kan masih anak kecil umur delapan tahun.” Wajah simpul Aarav padam, kali ini aku yang menyengir lebar.

“Ih! Aku sudah dewasa tau! Nih liat, aku bukan anak kecil lagi kan!” Haha! Dia mulai lagi.

Aku mengusap rambutnya yang berantakan, “Iya, iya. Kamu sudah dewasa kok.”

“Dan lebih kuat kan?” Pipinya menggelembung.

“Iya, iya. Dan lebih kuat.”

Kami melanjutkan kegiatan mandi yang terakhir– sikat gigi. Aku dan Aarav mengambil sikat gigi yang sudah usang, memakaikannya pasta gigi. Kemudian menyikat gigi kami sambil menghadap cermin.

Tidak terasa ya. Aarav, yang dulunya masih di gendongan Vey. Yang dulu masih suka mengompol dan buang air besar di tangan Vey, sekarang dia sudah sedikit lebih besar. Delapan tahun, seperti tidak terasa.

“Lalu habis ini apa kak?” Aarav bertanya dengan mulutnya yang masih berbusa akibat pasta gigi.

Aku tertawa, sedikit tersedak. “Ikuti Kakak. Setelah itu, kamu ludahkan saja ke sini. Puh, Lalu kumur-kumur deh. Selesai.”

Aarav mengangguk, melakukan seperti yang kusuruh.

Acara mandi kami selesai. Aku mengambil handuk, begitu juga dengan Aarav, mengeringkan badan kami yang basah oleh air.

“Boleh kan Kak?” Aarav bertanya sekali lagi, memastikan.

Aku mengangguk, menyuruhnya memasang baju terlebih dahulu. Karena setelah ini, aku, Vey, Aarav, dan beberapa teman sepanti asuhan akan mengunjungi Gereja untuk ibadah.

...----------------...

Lima belas menit selesai, berpakaian rapi. Tapi kok Aarav belum muncul juga ya? Padahal sudah jam sembilan lho. Aku memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Aarav. Setelah beberapa kali aku mengetuk pintu dan memanggil namanya, akhirnya Aarav membukakan pintu kamarnya.

Aku menatap penuh selidik, “Eh? Kenapa matamu kayak baru bangun tidur gitu? Apa jangan-jangan kamu ketiduran? Iya?”

Aarav menyengir tipis, lalu menggaruk rambutnya yang berantakan. “Ya sudah, Kakak bantu rapikan rambut dan pakaianmu itu.”

Sepuluh menit aku habiskan tak terasa di kamar Aarav yang awalnya tertidur di kasur, dengan air liur basi yang menetes di bajunya. Tidak lupa dengan rambut berantakannya. Dan setelah aku bantu menggantikan baju dan menyisir rambutnya. Sekarang, dia mutlak menjadi adik ter-imut sedunia.

“Oke, sudah rapi. Ayo berangkat. Jangan buang waktu, pasti nanti habis ini Kak Vey marah. Terus bilang ‘Kenapa lambat? Ini sudah jam berapa? Mana ada sejarahnya Tuhan suka orang yang terlambat’ dan bla, bla, bla...” Aku mengikuti gaya bicara Vey yang cerewet itu.

Aarav terkekeh, tersenyum simpul. “Iya juga ya. Pasti hari ini Kak Vey marah besar.”

...----------------...

“Dari kisah ini, tidak mungkin kan kita disuruh harus taat sama Tuhan? Atau yang lain? Disuruh ke Gereja setiap minggu?” Tetam menghentikan gerak tangannya yang menjadi ilustrasi.

Ayah terkekeh, “Tentu saja tidak Nak. Cerita ini lebih seru daripada cerita-cerita rohani itu sayang. Oke Ayah lanjutkan ceritanya, tapi garis besarnya saja. Masakan makan malamnya hampir siap tuh.”

...----------------...

Setelah selesai beribadah, Gerald dan Aarav meminta izin kepada pengasuh (orangtua di panti asuhan) mereka untuk pergi ke hutan. Mereka mengizinkannya, dengan syarat jaga Aarav baik-baik. Lalu Gerald pun meng-iyakan, lantas kedua orang itu pergi ke hutan tempat Gerald biasa latihan berpedang dan fisik.

Di hari pertama, Aarav dilatih hanya disuruh melakukan gerakan seperti push up dan sejenisnya.

Di hari kedua, pun sama. Hingga sudah genap satu bulan, Gerald menaikkan tingkat kesulitan dari latihan fisiknya.

Awalnya Gerald menyuruh Aarav mengayunkan pedang, tapi kekuatannya terlalu lemah. Akibatnya, pedang yang diayunkan Aarav tidak seimbang dan selalu jatuh ke tanah.

Sembari melatih Aarav, Gerald juga tidak lupa dengan kesehariannya di hutan. Yap, latihan fisik dan berpedang. Tidak tanggung-tanggung, sekali Gerald latihan, belum cukup rasanya sampai keringat mengucur ke seluruh tubuhnya.

Satu bulan, tidak ada perubahan yang signifikan dari Aarav. Dua bulan, tiga bulan pun sama.

Empat tahun tidak terasa. Kini umur Gerald genap dua puluh tahun, sedangkan Aarav dua belas tahun.

Gerald sejak awal, dia sudah bulat mau menjadi salah satu prajurit terhebat di Ibukota Kerajaan. Dan Gerald terpaksa meninggalkan tempat dia dibesarkan dari kecil sampai sekarang. Dan juga Aarav, yang sudah dia anggap sebagai murid sekaligus orang yang paling dia sayangi.

Dia meninggalkan Aarav dengan sebuah pedang yang dia beri, untuk kenang-kenangan.

Gerald pun berkemas dan membawa bekal selama seminggu dari Ibunya untuk sampai menuju Ibukota. Test tahunan untuk setiap penduduk yang ingin menjadi prajurit Kerajaan pun dimulai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!