Pak Muji pulang walaupun tadinya akhir pekan kemarin menjadi pekan ini. Ada di rumah untuk waktu yang cukup lama. Pak Muji berjalan-jalan dengan kain sarung dia jadikan jaket, angin begitu kencang dan tak bersahabat sore ini. Sesekali ia menjawab sapaan para tetangga, langkahnya kini berhenti melihat Raihan dengan teman-temannya di saung tepi Empang sedang mengobrol dan salah satunya sibuk dengan buku.
“Eh, Pak Muji.” Raihan mengangguk pelan sambil tersenyum ramah. “Dari mana, Pak?” sambungnya.
“Cuman jalan-jalan saja, bapakmu ada, Rai?” sahut pak Muji.
“Kebetulan ada di depan, lagi minum kopi sendirian, temui saja, Pak.” Raihan menjelaskan dan Pak Muji mengangguk, tak lupa senyum. Mata Pak Muji beralih pada Amarendra yang diam mendengarkan sambil menatap.
“Kenapa wajah temanmu itu, Rai?” Tunjuk Pak Muji dan Amarendra menunduk.
Raihan tertawa dan merangkul bahu Amarendra. “Gelut dia, Pak,” jawabnya asal dan Pak Muji menggeleng lalu pergi.
“Apaan kamu, bohong segala.” Amarendra protes.
Raihan cengengesan dan dari belakang bahu Amarendra ditoel.
“Itu bapaknya Kani.” Berbisik pelan di telinga Amarendra dan Amarendra terbelalak, dia pukul bahu Raihan dan Raihan tertawa terbahak-bahak. Memalukan, jika dia tahu itu ayahnya Kani, mungkin dia akan membantah dan menjelaskan. Raihan benar-benar membuat mood-nya rusak.
“Tenang, Maren.” Raihan dan yang lain masih tertawa dan Amarendra tak mau mendengarkannya lagi.
“Nggak bener kamu, Rai.” Amarendra kesal dan membereskan bukunya. Satu Minggu dia tak masuk, banyak pelajaran yang tertinggal, itu sebabnya dia datang dan berharap juga ada Kani lewat, tapi sudah sangat lama, gadis itu tak kunjung muncul. Agak kecewa tapi ya sudahlah, yang penting besok Senin, bisa melihatnya di sekolah.
Hari yang dia tunggu tiba, pertama masuk sekolah langsung dipanggil ke ruangan guru, mereka hanya bertanya kenapa bisa pengeroyokan itu terjadi. Amarendra bingung harus jelaskan atau tidak, dia tak berani berbicara, dan akhirnya hanya menjelaskan secara ringkas bahwa ada kaitannya dengan keluarga, utang, hanya itu dan kemudian dia diizinkan keluar untuk menikmati waktu istirahatnya.
“Maren.” Kani memanggil dan Amarendra menghentikan langkahnya kemudian berbalik. Kani menatap wajahnya. “Benar-benar sudah merasa baikkan?” Dia terlihat khawatir dan Amarendra mengangguk.
Tangannya menyentuh perutnya. “Aku lapar, Kani. Ayo.” Amarendra melangkah dan Kani mengekor. Keduanya menuju ke sebuah warung, Amarendra ingin makan Mie kuah dengan telur dan sayuran, potongan cabai juga mungkin akan semakin membuat Mie enak. Dia memesan dua kemudian duduk di sebelah Kani. Kani masih saja memperhatikannya, menyusuri wajahnya dengan saksama dengan kedua mata beningnya itu.
“Betapa parahnya mereka memukulmu.” Kani berhenti menatap dan Amarendra tersenyum. “Apa tidak sakit saat makan? Bibirmu masih begitu. Kau meminum obatmu dengan benar?”
“Aku sampai bosan meminum obat, mungkin obat lain bisa membantu membuat segalanya lekas sembuh.” Amarendra memasukkan biskuit ke mulutnya untuk mengganjal sambil menunggu Mie.
“Obat apa yang mujarab untuk bibirmu?” Kani berpikir keras dan Amarendra menatap bibir mungil merah muda itu.
“Mungkin anu...” Amarendra menghela napas, nyaris keceplosan. “Kau mau?” Amarendra mengulurkan tangannya, masih ada dua keping biskuit di sana.
“Apa maksudmu tadi?” Kani mendekat, mendesak agar dijawab. Amarendra menjauh dan menyumpal mulut gadis itu dengan biskuit. Kani mendelik dan terpaksa mengunyah. Tak lama Mie diantar dan Amarendra menerimanya. Dia tak sempat sarapan tadi, kesiangan, malas cari sarapan. Kani sesekali melirik Amarendra, betapa lahapnya laki-laki itu, jika besok dia membawa sesuatu dari rumah apa dia mau memakannya? Kani tahu bahwa Amarendra hanya tinggal dengan Abahnya, keduanya tak bisa memasak, sering sekali membeli tidak sesuai ekspektasi kemudian banyak makanan yang terbuang.
Keduanya mengobrol sesekali dan ponsel Amarendra bergetar, pesan masuk dari Bundanya yang memberitahu bahwa ia sudah di rumah. Amarendra hampir tersedak, pulang mendadak dengan keadaannya yang masih begini? Pasti Abah pun bingung untuk menjelaskannya nanti.
Amarendra hanya mengiyakan kemudian meletakkan ponselnya. Gara-gara kejadian itu, ponselnya retak lumayan parah dan itu menjadi pusat perhatian Kani.
***
KANIRARAS dengan adik-adiknya pergi ke kebun membantu orang tua mereka.
Ada yang memanen kangkung, Dahlia dengan Kenanga, begitu antusias. Ada yang membantu menggali tanah merah itu untuk mengambil singkong, Kani dan Ibunya. Sementara Syamsir sedang memegang ember kecil dan Pak Muji masuk ke selokan yang surut airnya dan membuat ikan-ikan kentara serta mudah mengambilnya. Syamsir terus berteriak pada Ibu dan Kakak-kakaknya saat mendapatkan ikan besar. Mereka semua tertawa riang.
“Digoreng kering, ya, Bu nanti.” Dahlia sudah tak sabar.
“Asal kalian yang membersihkannya, Ibu yang masak.” Bu Ismi tanpa ekspresi dan tanpa menoleh menimpali. Dahlia dan Kenanga tak masalah tapi Kani, dia tak pernah sanggup membersihkan ikan.
Suara Adzan Ashar berkumandang, mereka semua pulang dan Kani lebih dulu sampai dengan Syamsir. Kani langsung mandi, sudah tak nyaman dengan tubuhnya yang bau, berkeringat.
Belum lama dia mandi, Dahlia sudah menggedor-gedor ingin pipis katanya, memaksa masuk dan keduanya ribut, habis kena marah Ibu mereka.
Pak Muji diam terpekur menatap Syamsir sedang melihat Kenanga siap membersihkan ikan. Pak Muji mengusap peluh dan menerima susu jahe yang diberikan istrinya, dia sudah jarang minum kopi, tak sesering sebelumnya, mengurangi rokok juga dan Pak Muji teringat dengan ucapan Haryawan. Memintanya pergi untuk memeriksakan diri karena batuknya yang tak kunjung sembuh. Pak Muji akan pergi ke Puskesmas besok untuk bertandang ke Toko kawannya juga di dekat Terminal.
“Kani, bantu adik-adikmu biar semuanya cepat beres.” Bu Ismi memerintah dan Kani menggeleng.
“Aku sudah mandi, Bu. Tak mungkin harus menyentuh ikan-ikan bau amis itu.” Kani berlalu, cepat mandi adalah alasannya.
Bu Ismi mencak-mencak sambil mengulek bumbu. Dahlia dan Kenanga saling berbisik bahwa Kani sengaja mandi duluan agar tak membantu mereka dan setelah Kani salat, dia diminta ke Warung. Di jalan ia bertemu dengan Kalingga. Entah kenapa pria itu menjadi sering pulang dan membuat Kani akhirnya memberanikan diri bertanya.
“Aku berhenti dari pekerjaanku kemarin, mau cari pekerjaan lain.” Kalingga menjelaskan.
“Oh...” Kani bingung harus menimpali atau bereaksi seperti apa.
Kalingga menoleh, menatap rambut basah gadis itu. “Masih dekat dengan laki-laki bernama Maren itu? Aku hanya khawatir, Kani.”
“Iya, Mas, aku tahu. Tapi dia baik, kok. Semakin lama kami mengenal, aku merasa semakin nyaman, dia sudah seperti kakak bagiku.” Kani tersenyum, berusaha meyakinkan dan Kalingga menatapnya.
“Kakak? Lalu aku kamu anggap apa?” Kalingga terkekeh, ia penasaran dengan apa yang dipikirkan Kani tentangnya. Kani menggaruk kepala dan tak bisa menjawabnya. “Dia sepertinya suka sama kamu,” ujarnya kembali serius.
Kani menggeleng keras. “Mana mungkin, Mas. Mana ada yang suka sama aku apalagi Amarendra, sama seperti aku berteman sama Yana, aku sama dia juga begitu.” Kani melebarkan senyumnya dan Kalingga mangut-mangut.
“Jaga diri, ya. Jangan terlalu luas bergaul. Perempuan itu lebih bagusnya ya di rumah.” Kalingga tersenyum dan Kani mengangguk paham.
Entah mengapa Kani merasa sikap Kalingga berubah, lebih perhatian. Dia tak mengerti isi pikiran laki-laki. Kalingga tak suka dia dekat dengan Amarendra.
Kani pamit masuk ke warung, apesnya dia mendadak lupa apa yang harus dia beli, percakapannya dengan Kalingga membuat dia lupa segalanya. Kalingga laki-laki pertama yang dia sukai dan itu sejak lama. Awal mula dari takjub lalu suka disusul perasaan istimewa apalagi sekarang Kalingga sering mengajaknya bicara, membuatnya senang dan ke pikiran untuk bisa memiliki nomor ponsel pria tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
SUMI 🐊🐊
hei hei Maren jgn berpikir yg gak² ya
2023-03-27
0
SUMI 🐊🐊
astga jd lapar
2023-03-27
0
SUMI 🐊🐊
wah ntar Maren d anggp anak nakal loh krn gelud
2023-03-27
0