Kani menyibak anak rambut yang menutupi wajahnya, dia menunggu sambil memasukkan kedua tangan ke saku, di depan sebuah rumah, gang sepi, Yana memintanya diam. Dia pergi untuk mengambil sepeda dan Kani juga malas ikut. Ponselnya dia terus cek, dia mengumpat karena masih saja sama seperti tadi, Amarendra tak membalas.
“Ngapain kamu!” bentak Kani saat melihat Heri. Dia lupa jika Heri juga berasal dari kampung ini, rumahnya entah di sebelah mana, seharusnya dia ikut Yana, ini sebuah kebetulan yang menjengkelkan baginya karena Heri mendekat, berdiri di hadapannya.
“Kamu yang ngapain di tempat gelap begini, sengaja menungguku? Di depan banyak orang sok menolak, tahu-tahunya mau gelap-gelapan.” Dia menjawil dagu Kani dan Kani menepisnya. Keringat keluar begitu saja dan rasa takut yang menyeruak hebat membuat tangan Kani gemetar.
“Aku bisa teriak, Heri! Minggir!” Kani berusaha melawan dengan mendorong dada laki-laki itu. Tapi dia tersudut dan terjepit, punggungnya sangat keras membentur tembok.
“Kamu kira aku sebaik itu, Kani? Kamu kira aku akan diam saja setelah kamu hina di depan semua orang, menolakku dengan cara rendahan, kamu kira aku diam karena nggak becus melakukan apa-apa, hah! Kamu menantangku, mana si Maren, mana dia yang selalu sok jadi pahlawan, sok pintar. Mana dia sekarang, hah?!” Dia menyentak dengan wajah beringas, mendorong-dorong bahu Kani dan Kani merasakan ngilu. Kani tak kuasa menahan tangis, bajunya bahkan dicengkeram kuat-kuat membuatnya sesak. “Jangan kamu kira aku diam pasrah bahwa aku lemah. Aku sebatas menghargai kamu, Kani. Tapi kamu... selalu merendahkanku, mengabaikanku.” Kini, suaranya terdengar berat. Kani berusaha menahan dan dia berhasil mendorongnya, pikirannya hanya terlintas Amarendra, dia lekas membuat panggilan serta berharap laki-laki itu mengangkatnya kemudian datang menolongnya.
“Kani,” geram Heri yang lagi-lagi jengkel karena diabaikan.
“Karena memang aku nggak suka sama kamu, Her. Seharusnya sebelum kamu berani bilang suka, kamu cari tahu dulu apa aku menunjukkan sinyal balasan? Enggak, kan? Jelas aku terpaksa menerima kamu, terus kamu berharap hal yang lebih? Itu nggak bakalan terjadi, Her. Aku nggak suka apalagi kamu begini, bukan nggak suka lagi tapi aku benci sama kamu, Her. Aku benci!” Dengan suara tercekat, bibir bergetar, Kani membalas ucapannya.
Tubuh Kani merosot jatuh saat Heri ditarik dan cengkeramannya yang sudah mengendur terlepas.
“Gila!” Yana berteriak, meninju wajah Heri yang sebelumnya dia buat jatuh dahulu dengan keras ke atas tanah. “Merasa jago dengan kayak begini, hah? Lihat Kani!!” Yana menunjuk, berteriak kalap dan Heri diam.
Kani menangis sesenggukan, Reva dan Citra yang baru pulang dari warung mendekat, bertanya tapi tak ada jawaban, kemudian Kani dibantu berdiri perlahan-lahan.
“Sinting! Kayak BANCI, LO!” Yana menghempaskan baju Heri kasar yang sudah tak terbentuk itu. Yana mendorong Reva dan menarik Kani. “Ayo pulang. Banyak orang-orang nggak waras dan bermuka dua.”
“Kani.” Citra mendekat dan saat mata Yana melotot, dia ciut.
Kani menatap Reva yang terlihat biasa saja, dia memulas air matanya dan lekas naik kemudian Yana mengayuh sepeda kencang.
“Aduh, ketinggalan.” Citra meraih tas milik Kani dan Reva menatap Heri yang terduduk di atas tanah. Entah apa yang di pikirkannya, tatapannya kosong. “Ada apa, sih, ini? Kita bakalan kena masalah atau gimana?” Citra berbicara lagi dan Reva berlalu begitu saja sambil menatap ponselnya.
***
Di sepanjang perjalanan, Kani terisak-isak, Yana terus memintanya berhenti dan gadis itu tak bisa menahannya. Dia takut dan kesal tapi tak bisa melakukan apa-apa, seharusnya dia menampar Heri tadi, Kani kesal kepada dirinya sendiri yang begitu lemah.
Sesampainya di rumah, Kani bingung saat Ibunya bertanya ada apa, Yana kabur duluan sebelum ditanyai. Kani akhirnya bohong, dia hanya bertengkar dengan temannya di rumah Rosi.
Bu Ismi dengan mudah percaya, meminta anaknya lekas membersihkan diri kemudian istirahat. Namun, Kani tak bisa tidur, dia terus memeriksa ponselnya tapi tak ada perubahan sampai dia lelah sendiri kemudian terlelap.
Besoknya, Rara mengantarkan tas Kani, tanpa banyak basa-basi karena Bu Ismi yang menerimanya. Kani merasa bersyukur karena bukan Rere yang suka cerewet itu yang mengantarkan tasnya.
Sehari kemudian, Kani yang masih menunggu balasan dari Amarendra berharap bisa bertemu dengannya, tapi dia tidak masuk sekolah begitu juga dengan hari Selasa, Rabu, Kamis...entah ke mana dia tiada kabar, tidak bertanggungjawab setelah membuatnya nyaman dalam pertemanan yang mereka jalin. Sangkaan pun muncul begitu saja di benak Kani. Apa dia pindah sekolah lagi? Atau ada masalah sampai lenyap begitu saja bagai ditelan bumi? Atau dia sekolah tapi tak mau bertemu dengannya? Kani merasa frustrasi sampai hari ini dia berniat untuk bertanya pada Raihan sepulang sekolah.
Sementara kejadian malam itu diketahui semua orang di kelas, siapa lagi kalau bukan di antara Yana, Citra, atau Reva yang memberitahu. Kani jengkel, tak mau menjawab apalagi saat Rere mendesak agar dia jujur. Dia tak mau menjelaskan apa-apa dan saat jam istirahat, Heri mendekat entah ingin membicarakan apa tapi jangankan menerima, melihat mukanya saja Kani tak sudi. Tapi yang jelas, raut wajah Heri tampak menyesal atas kejadian malam itu. Seharusnya ia tak melakukannya.
“Raihan.” Kani melangkah mendekati Raihan yang sedang berjalan sendirian. Terlihat buru-buru menuju tempat parkir. “Apa dia masuk sekolah hari ini?” tanya Kani dan Raihan menatapnya.
“Kamu belum tahu?”
“Belum tahu apa?” Kani mengulang ucapannya dan mendekat. “Dia...pergi, pindah sekolah?” tanyanya serak dan Raihan menggeleng.
“Dia di rumah sakit, aku dan yang lain mau ke sana. Aku kira kamu sudah tahu.” Raihan menjelaskan sambil naik ke atas motornya.
Kani menarik bahunya kasar. Matanya panas dan berkaca-kaca.
“Kenapa bisa?” Dia terkejut dan Raihan menggeleng. Dia juga tak tahu, dia baru mendengar itu dua hari lalu, Kani mendesak ingin ikut dan Raihan menolaknya. Dia takut kena masalah membawa gadis itu. “Aku mau ikut, Rai. Dia juga temanku. Tolong.” Kani merengek, memohon-mohon juga, Raihan mendesis dan teman-temannya sudah menunggunya.
“Bawa saja dia, Rai. Mungkin Maren juga akan senang!” seru salah satu dari keempat pemuda itu yang siap berangkat, mereka memang diminta guru untuk menjenguk Amarendra karena ini terlalu lama, jelas serius sampai dirawat berhari-hari di rumah sakit.
“Ya sudah, ayo!” Raihan terpaksa dan Kani naik. Ketiga motor itu melaju meninggalkan sekolah.
Reva dan Heri yang melihat hanya kebingungan.
“Mau ke mana mereka?” tanya Reva sambil memegang bahu Heri, Heri menepisnya galak.
“Seharusnya aku nggak setuju sama ide kamu, Rev. Seharusnya aku nggak usah menemui Kani malam itu dan macam-macam sama dia, dia benar-benar benci sama aku sekarang, gara-gara kamu! Kamu bilang dengan dipaksa pasti Kani mau, dia hanya malu. Nyatanya dia bukan perempuan rendahan kayak kamu, Rev. Kani itu beda!!” Membentak-bentak sambil menoyor kepala gadis itu dan Reva menangkisnya.
“Aku cuman kasih solusi biar kamu sama dia dekat, kalau gagal ya bukan salah aku. Mana aku tahu kalau Kani bakalan nangis kamu gituin, aku kira dia juga mau, dia nggak nafsu lihat kamu kali. Maunya sama si Maren.” Reva menyolot dan memukul lengan Heri karena kepalanya terus dipukul. Reva berlalu sambil bersungut-sungut dan Heri tidak memiliki kesempatan lagi. Apa yang dia lakukan itu membuatnya semakin rendah di hadapan Kani. Seharusnya dia tak perlu meladeni ide tolol dari Reva dan semua ucapannya yang sebenarnya hasutan. Reva menghasutnya, bukan memberikan solusi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
SUMI 🐊🐊
akhirmya bakal terjawab apa penyebab Maren masuk RS
2023-03-27
0