Karena malam sudah larut, mereka bertiga telat pulang, Kani bersuara untuk lekas undur diri dan kedua adiknya sudah kenyang menikmati kudapan yang dihidangkan. Ditambah lagi Bu Wati memberikan satu kantong plastik berisi makanan untuk mereka bawa. Kani dan kedua adiknya tak cukup sekali mengucap terima kasih. Ketiganya pun keluar berurutan.
“Heh, Kani!” Mendadak Bela yang sedari tadi begitu ketus memanggil, Kani menoleh dan keduanya saling menatap. “Kamu pacaran sama Amarendra? Kalau ibu dan bapakmu tahu akan bagaimana jadinya?” ujarnya menekan dan Kani menatap tak ramah.
“Apa, Kani punya pacar?” Dari dalam Kalingga keluar, mendengar ungkapan adiknya yang agak mustahil baginya. “Benar itu?” Kalingga menatap Kani lekat.
“Dia murid baru di sekolah, satu kelas dengan Teh Bela, hanya sesekali bertemu denganku dan itu juga kebetulan, hanya sebuah gosip yang entah siapa yang memulainya, Mas.” Kani dengan lugas menjelaskan, tak mau Kalingga salah paham dan Kalingga mangut-mangut sangat percaya.
“Pulanglah, hati-hati di jalan,” kata Kalingga dan Kani tersenyum, dia terbelalak saat berbalik dan adik-adiknya sudah jauh meninggalkannya. Kani berlari menyusul dan menjitak keduanya karena kesal dan malu.
Kalingga cengengesan dan Bela mendelik.
“Awas, ya, Mas. Jangan sampai kamu naksir dia.” Bela memperingatkan dan Kalingga menoleh, membuka mulut untuk menyahut tapi Bela sudah masuk.
***
Mata Kani berbinar, senyuman lebar nan manis mengembang di wajah jelitanya ketika dia melihat sebuah benda pipih di atas meja, bersebelahan dengan dusnya. Ponsel baru yang dia mau. Pak Muji yang sedang makan tersenyum melihat reaksi Kani, semakin lahap menyantap makanan yang disajikan istrinya.
Kani berbalik dan menatap Bapaknya penuh kasih. “Ini Hp Kani, kan, Pak?” Ia bertanya dengan antusias.
Pak Muji mengangguk dan Kani mendekat. Mencium tangan Bapaknya dan terus berterima kasih dan Bu Ismi hanya diam, tak senang dengan apa yang dilakukan suaminya. Baginya seorang pengatur keluarga, kebutuhan rumah tangga jauh lebih penting ketimbang ponsel seharga lima ratus ribu tersebut.
Malam ini suasana kembali hangat, seperti biasanya Pak Muji pulang, dia senang melihat Kani bahagia tapi tidak dengan Dahlia, ia merasa Bapaknya tidak adil. Pak Muji janji akan menambah uang jajan Dahlia dan Kenanga. Sementara Syamsir, dia sibuk mendekati Kani agar bisa melihat bagaimana bagusnya benda baru milik Kakaknya itu.
Paginya, wajah bahagia Kani sudah redup kembali, entah karena apa tapi dia mengembalikan ponsel barunya ke hadapan Pak Muji dengan kasar.
“Kenapa, Teh?” Pak Muji bingung dan Kani mendelik.
“Ini Hp apaan, Pak? Baru terisi sepuluh foto Syamsir saja memorinya sudah penuh, ditambah semua pesan, itu membuat ponsel baru ini sama aja kayak ponsel punya Bapak. Kani nggak mau, bukan yang kayak begini yang Kani prediksikan, Kani sudah bilang harus bisa dipakai menyimpan banyak foto dan menggunakan internet. Ini nggak bisa, ini ponsel biasa, cuman beda model sama yang punya Bapak!” ujarnya menjelaskan dengan suara tidak ramah. Pak Muji meraih ponsel tersebut dan menatap bingung, seperti apa yang dikatakan Haryawan saat mengantarnya ke Gerai Hp bahwa ponsel tersebut tidak akan cukup untuk menyimpan foto, tapi Pak Muji mana paham, yang dia lihat bagus, ada kameranya, sesuai yang dimau anaknya.
“Nggak ada bersyukurnya banget sudah dibelikan juga, mending nggak usah sekalian, Pak.” Dahlia menyahuti dari dapur, hampir selesai dengan sarapannya. Bu Ismi yang mendengar lekas keluar dari dapur dan melihat apa yang terjadi di ruang tamu. Wajah suaminya terlipat kembali dan wajah anak sulungnya terlihat kesal lagi.
“Serba salah kamu, kamu tahu ini harganya berapa? Sudah syukur Bapak belikan dengan terus lembur, ngerti kamu betapa lelahnya Bapakmu?” tegas Bu Ismi dan Kani tak mau tahu.
Pak Muji yang memijat dahinya pun berhenti, meletakkan ponsel itu lalu tersenyum.
“Ini masih pagi, Bu. Ini salah Bapak yang nggak tahu model ponsel yang bagus untuk anak sekarang. Biar Bapak tukarkan lagi dengan yang lebih bagus asal Kani mau sabar,” kata Pak Muji lemah lembut, semakin bagus ponsel yang diinginkan Kani pasti harganya jauh lebih tinggi dari ponsel yang dia beli itu. Dia sembunyikan kegelisahan yang dia rasa, melerai pertengkaran yang pasti akan terjadi jika istrinya tak dia tenangkan. Bu Ismi akhirnya berlalu sambil mencak-mencak dan Kani yang dijanjikan ponsel diganti baru mau menyantap sarapannya.
Dahlia, Kenanga, dan Syamsir hanya saling menatap kesal sekaligus iba melihat wajah penat ayah mereka.
Sehari setelah kepulangan, Pak Muji memutuskan pergi lagi, sempat ditahan istrinya agar dia beristirahat tapi dia tak mau. Bu Ismi merasa tidak tega melihat suaminya letih dan pusing tapi segan untuk mengungkapkan, sangat menjaga perasaan anak mereka yang sulung, yang tak mau paham dengan keadaan. Bu Ismi sampai malas untuk memarahi dan menjelaskan lagi pada Kani, dia lebih memilih diam dan satu Minggu kemudian, Pak Muji kembali tapi ponsel lebih bagus dari kemarin belum sanggup dia beli. Kani cemberut, kecewa, tak peduli dengan kelelahan yang didera Ayahnya. Tak peduli juga walaupun Pak Muji terdengar terus batuk-batuk, demam, dan Bu Ismi sempat melarang untuk kembali bekerja tapi Pak Muji mengatakan pembangunan Ruko hampir selesai, dia tak mau melewatkan itu, demi nafkah untuk keluarganya dan demi ponsel yang akan membuat keceriaan di wajah Kani dia lihat lagi.
Hari ini, Kani diam di Perpustakaan, biasanya dia di depan ruangan guru tapi sekarang dia di sana, duduk di dekat jendela, buku di pangkuan hanya pajangan, tak dia buka walau selembar.
Kani mendongak saat Amarendra mendekat.
“Ada masalah?” tanya laki-laki itu sambil menatap.
“Caramu waktu itu berlebihan, aku jadi dijauhi Rere,” kata Kani protes dan Amarendra membuang napas kasar.
“Aku membelamu karena dia keterlaluan, aku nggak bakalan ikut campur kalau itu hal sepele. Apa bedanya kalian dekat atau kamu dijauhi? Jangan merasa rugi untuk orang-orang yang menjauh karena tak suka ditegur atas kesalahannya.” Amarendra tersenyum lalu menyibak rambutnya yang tertiup angin. Kani diam memandangi wajah tampan di hadapannya sampai Amarendra salah tingkah dan meminum airnya. “Apa?” tanyanya berbisik dan Kani menggeleng, mengalihkan pandangan keluar jendela.
“Aku melihatmu jarang keluar dari kelas saat jam istirahat. Kenapa?” tanya Amarendra sambil ikut-ikutan melihat ada apa di luar sana, yang dia rasakan hanya embusan angin segar.
“Malas, setiap malam aku nggak bisa tidur, waktu istirahat aku gunakan untuk bermimpi.” Kani memejamkan matanya beberapa detik, terlihat jelas dia sangat frustrasi karena keinginan dan pusing dengan kebohongannya sendiri.
“Mimpi bukan sebuah solusi.” Amarendra tersenyum samar.
“Mimpi memang hanya bunga tidur tetapi itu indah. Bermimpi adalah caraku merasakan banyak hal yang belum jelas akan aku rasakan atau tidak ketika mata ini terbuka.” Kani menunduk sedih dan Amarendra kembali menatapnya.
“Terobsesi pada dunia padahal hidup hanya saling berprasangka. Semua orang memiliki masalah dan kerumitan sendiri, mungkin lebih pedih dari yang kau alami tapi mereka tak mengeluh separah dirimu.” Lagi, Amarendra meminum airnya dan Kani mendadak merebutnya, hendak mencoba karena tenggorokannya terasa gatal sampai dia ragu untuk menimpali ucapan Amarendra. “Jangan.” Amarendra gugup. Menahan Kani yang sudah mendekatkan mulut botol minumnya ke bibir.
“Kenapa? Pelit sekali!” Kani sewot.
“Kata orang kalau perempuan dan laki-laki makan atau minum pada satu tempat, biasanya sudah ciuman.” Amarendra terus menahan dengan wajah tanpa ekspresi.
“Alasan!” hardik Kani dan tetap meminumnya bahkan sampai habis. Amarendra diam, hanya bisa menelan ludahnya kasar, kemudian keduanya di tegur penjaga Perpustakaan karena berisik. Keduanya memutuskan meninggalkan perpustakaan, berpisah setelah keluar, dan hal itu dilihat murid lain termasuk Reva.
Semakin sulit untuk menyangkal bahwa keduanya tak ada hubungan, karena selalu kepergok saling melirik, memandang, dan mengobrol. Padahal tidak ada yang aneh jika semuanya bisa berpikiran positif. Tapi banyak yang iri karena Kani bisa dekat dengan Amarendra khususnya perempuan dan salah satunya Reva.
“Kamu kenapa, sih?” tanya Teti sambil menyenggol lengan Reva. Reva diam, terus memperhatikan Amarendra. “Kamu suka dia? Jangan macam-macam, deh. Ingat, kamu sudah punya pacar, kakak si Citra.” Teti mengingatkan karena dia tahu, Reva selalu ingin dekat dengan para laki-laki yang memiliki wajah rupawan. Amarendra terlihat menonjol di antara teman-teman sekelasnya saat ini walaupun masih banyak murid laki-laki yang ganteng, tapi Reva hanya fokus padanya.
“Kani terlalu biasa untuk Amarendra, iya, kan?” celetuk Reva dan Teti nyaris tersedak, itu jelas-jelas penghinaan.
“Diam, kamu. Kebangetan banget kalau ngomong, suka bener!” Teti terkekeh dan Reva mengakak begitu puas. “Tapi, ya biar saja mereka, aku juga sudah tak khawatir karena Heri sudah punya pacar lagi sekarang.”
“Harusnya kita membuat Kani sadar diri, sebagai teman yang baik sebelum dia dihina orang lain.” Reva memberikan usul yang amat tolol tapi Teti malah cengengesan sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
𝕸y💞𝕄𝕆𝕆ℕ🍀⃝⃟💙
ish Kani.. jahat banget mulut nya.. kasian dikit sama bpk kamu dong.. kek anak gak tau diri aja 🤭
2023-05-13
0
🌻 G°°Rumai§ha°° 🌵
Temen kog gitu modelan nya, udah punya sendiri masih aja sirik si kani deket sama maren
2023-04-13
0
SM06💜💜💜💜💜💜💜
smoga Maren beneran anak baik yg ga bakal bkin Kani baper trus d phpin
2023-03-09
1