“Jangan pernah mengganggu Kani lagi, kami berteman, dan aku akan menjaganya mulai sekarang,” kata Amarendra penuh keyakinan, Kani tersenyum tipis dan menatap Heri tajam. Menantang.
“Pergi atau aku teriak dan kita semua dipanggil ke kantor guru, itu bukan hal yang baik untuk kamu apalagi...yang suka bolos.” Kani menyeletuk, melirik Aldi sinis. Aldi akhirnya merangkul bahu Heri, kuat, menariknya agar segera pergi. Keduanya melangkah, hendak meninggalkan Kani dan Amarendra yang diam memperhatikan. Heri terus menoleh walaupun ditarik kasar, dia terlihat belum teryakinkan.
Kani dan Amarendra bernapas lega kemudian saling tatap.
“Kamu bohong.” Kani mendelik dan Amarendra tersenyum.
“Mari berteman.” Amarendra mengulurkan tangannya, Kani diam termangu. “Setidaknya jika dia berulah lagi, aku akan bisa menolongmu sebagai teman. Kenapa? Kamu takut dengan gosip yang tersebar antara kita? Seharusnya kamu cuek saja. Toh, itu tidak benar, bukan?” Tangannya masih bertahan di posisi yang sama. Kani tetap tidak terlihat tertarik.
“Aku tidak berteman dengan laki-laki,” katanya ketus lalu meninggalkan Amarendra yang melipat kembali tangannya dengan bibir menyimpul senyum.
“Terus saja begitu, aku suka, kau menggemaskan.” Amarendra berjalan perlahan dengan wajah berseri-seri.
Sepulang sekolah, Kani berpapasan dengan Dahlia, keduanya diam tak saling menyapa seperti biasa, tapi tatapan keduanya melukiskan permusuhan karena malam tadi.
“Kalian bertengkar?” Iseng Citra yang melihat pun bertanya.
Kani mengangguk pelan. “Dia selalu mencari gara-gara.” Kani mendelik.
“Percekcokan antara kakak dan adik wajar, kok! Itu hal biasa,” kata orang yang tak punya adik, Reva. Kani diam, hanya membuang napas berat kemudian dia melirik kelas itu, di mana Amarendra berada, kelasnya belum bubar, terlihat guru laki-laki sedang menjelaskan, jelas karena pintunya terbuka lebar. Kani menunduk dan mempercepat langkah saat kepala Amarendra menyembul di balik kaca, menatapnya.
“Serius kalian ada hubungan?” tanya Reva yang penasaran.
“Sama sekali enggak.” Kani membantah tegas.
“Lalu, waktu Rosi bilang kamu diantar olehnya, itu benar?” Reva menyelidik.
“Ya! Karena Teti sembarangan mengundang Heri, sudah jelas aku dengannya putus, masih saja dia berusaha menyatukan kami. Aku terpaksa menerima tumpangan kak Amarendra, itu sudah sore, Teti dan Citra juga malah pacaran entah ke mana.” Kani menjelaskan dengan kesal, Citra terkesiap karena dia tak mau itu diungkit lagi. Dia tepuk bahu Kani, memintanya agar tak lagi membahas kejadian itu. Kani hanya mendelik, masih kesal dengan sikap Teti dan Citra sampai sekarang dia masih penasaran, ke mana dua temannya sampai pulang larut malam.
***
Tubuh tinggi tidak kurus tidak gemuk Pak Muji sudah rebah di atas karpet lusuh miliknya. Dia tatap langit-langit ruangan ruko yang menjadi tempat istirahatnya berserta teman-temannya. Sesekali ia mendesah, khawatir, tak mampu membelikan ponsel untuk Kani dan Kani akan terus menjauhinya. Mungkin dia harus lebih giat bekerja, lembur tanpa henti, padahal ia sudah melakukannya. Ditambah ke pikiran juga dengan kemarahan istrinya yang tak setuju dengan ponsel yang diinginkan anak mereka.
“Belum juga tidur, Pak?” tanya Haryawan, yang ponselnya selalu menarik perhatian Pak Muji, yang berjanji akan menemani Pak Muji membeli ponsel.
Pak Muji tersenyum kemudian duduk. “Bisa antar saya ke tempat ponsel yang kamu beli itu? Saya mau beli Minggu ini.” Pak Muji tersenyum.
“Waduh, saya mau pulang, Pak.” Haryawan bingung, dia sudah janji untuk pulang, setelah empat pekan dia lewatkan.
“Hari Jumat, bisa?” Pak Muji tak mau membuat Haryawan menunda kepulangannya. Pria lebih muda darinya itu memang jarang pulang agar uang yang dia bawa terkumpul dahulu.
“In sha Allah, Pak.” Haryawan tersenyum dan Pak Muji mengucap terima kasih kemudian rebah lagi. Haryawan diam, menatap, tak tega dengan kawan sekampungnya itu, yang lebih tua darinya pula, yang namanya selalu dikenal baik dan sekarang begitu terlihat stres karena masalah Hp untuk anaknya.
“Kani, Kani, andai kamu tahu bapakmu kerja gila-gilaan. Apa masih bisa kamu merengek ingin Hp? Anak itu dari dulu kalau mau apa-apa selalu tidak sabaran.” Haryawan bergumam sambil merebahkan diri. Rumahnya memang jauh dari rumah Pak Muji tapi dia mengenal baik keluarga tersebut, hafal semua anak Pak Muji apalagi yang besar.
***
Hubungan Kani dengan Ibunya masih begitu, tapi tetap saja seorang Ibu akan cemas ketika anaknya mogok makan, Kani malas makan, sering melewatkan sarapan, bahkan izin pula untuk pergi ke Terminal. Ada beberapa tugas yang harus dia foto copy, bersama sepupunya Rere. Bu Ismi lega jika dengan Rere, tak akan pernah dia izinkan jika perginya sendirian atau dengan teman laki-laki. Bu Ismi memberikan uang dan Kani menerimanya dengan wajah masam.
Kani sebenarnya malas, kenapa juga dia harus satu kelompok dengan sepupunya? Bukan dengan teman-temannya? Andai dia bisa menawar.
“Males banget, deh, satu kelompok sama Rosi.” Teti mengeluh dan Kani menoleh.
“Lebih bagus, ada juga Reva sama Citra di kelompok kalian. Tapi aku, sendirian di antara mereka,” sahut Kani jengkel dan teman-temannya tersenyum kemudian mendekat menenangkan.
Sepulang sekolah, mereka semua berpisah. Kani dan Rere melangkah bersama, sudah cukup jauh dari sekolah, tak ada jalan lain kecuali jalan kaki menuju ke sana. Mereka hanya bicara sesekali, Rere sibuk dengan ponselnya.
“Eh.” Rere mendadak agak serius dan Kani menoleh, wajahnya sudah pucat, tangannya sedari tadi memegang perut, tapi Rere yang melihat pura-pura tidak melihatnya. “Bukannya kamu punya ponsel, mana lihat?” tanyanya mendesak.
“Di rumah,” jawab Kani sambil menggigit bibir. “Apa kamu bisa berangkat sendiri? Aku mendadak tidak enak badan, perutku sakit.” Kani yang tak tahan akhirnya jujur. Kedua mata Rere langsung melotot tak terima.
“Apa-apaan, sih, kamu? Kan kita berdua yang sudah ditunjuk buat foto copy semuanya.” Rere membalas lantang dan Kani tak punya pilihan lain, daripada dia diadukan pada guru nanti, lebih berabe.
Keduanya melanjutkan langkah, dari kelokan, sebuah motor muncul dikendarai siswa SMA dari sekolah lain. Pemuda itu bernama Faisal, kekasihnya Rere, sontak saja hal tersebut membuat Kani tegang apalagi motor itu berhenti dan Rere cengar-cengir tebar pesona.
“Rere...” Kani menarik lengan sepupunya itu dan Rere menepis. Kani menunduk karena Faisal terus memandangnya, begitu dalam.
“Ayo, aku antar.” Faisal tersenyum, Kani masih terlihat bingung dan Rere sudah naik, duduk di jok motor tersebut sambil memeluk pinggang Faisal erat. Kani bergidik geli melihat sepupunya itu.
“Ayo kamu naik juga, di belakang aku, Faisal mumpung bisa nganterin.” Rere menarik tangan Kani, Kani akhirnya naik, berpegangan pada baju Rere dan Rere terus menghardiknya. Kani takut jatuh, satu motor dinaiki bertiga, jelas sempit juga Faisal, pemuda itu terus melirik Kani saat ada kesempatan walaupun Rere terus mengoceh mengajaknya bicara.
Sesampainya di Terminal, Kani yang menunggu semuanya beres, sesekali melirik Rere dan Faisal yang bermesraan. Si laki-laki duduk di atas motor dan yang perempuan berdiri di sebelahnya, sesekali bersandar, bergelayut manja, dan Kani menaikkan sudut bibirnya ketika melihat bagaimana Rere memukul lengan kekasihnya dengan manja. Mungkin itu menggemaskan bagi beberapa orang, tapi untuk banyak orang, itu menggelikan.
Mereka juga bertemu dengan teman sekelas yang memfoto copy tugas mereka. Setelah selesai mereka pulang duluan dan Kani, masih menunggu, cukup antre, dia harus sabar sekaligus menahan perih di perutnya.
“Kani.” Mendadak Rere memanggil dan Kani menoleh. “Aku dan Faisal mau pergi, awas kamu kalau mengadu.” Rere mengancam, karena Ayahnya dan Ibu Kani bersaudara. Ayahnya selalu bertanya pada Kani jika anak kembarnya telat pulang.
“Aku takut pulang sendirian, kita ke sini sama-sama, jangan begitu.” Kani tidak mau dan Rere merapat padanya agar Kani merendahkan suaranya. Faisal terus memperhatikan. “Ini jauh, Re.”
“Jangan manja, deh. Dari terminal ke rumah nggak sejauh itu. Aku mau main dulu.” Rere mendesak dan Kani mendelik.
“Lain kali saja, Re. Kasihan dia.” Faisal menengahi dan Rere tidak mau. Keduanya baru balikkan, Rere tidak mau putus lagi dengan Faisal gara-gara rencana jalan-jalan mereka berdua gagal.
Faisal akhirnya tak bisa menolak ajakan Rere. Sepasang kekasih itu berlalu, meninggalkan Kani yang marah dan hampir menangis. Setelah selesai, Kani membayar semuanya dan dia berlalu, berjalan kaki untuk pulang walaupun dia tahu tak akan bisa menempuh perjalanan dalam waktu singkat, apalagi sendirian, itu terasa menyeramkan baginya karena beberapa jalan yang akan dia lewati sangat sepi ditambah gelap kanan-kiri hutan bambu. Rumah masih jarang.
Kani hanya bisa terus melangkah dan pasrah, sampai dia membungkuk tak kuasa menahan sakitnya, dadanya juga terasa menyempit karena dia berusaha berjalan cepat untuk mempersingkat waktu, tapi nyatanya, itu malah membuatnya tersengal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
SM06💜💜💜💜💜💜💜
kyak Kani maag tuh
2023-03-09
0