Malam ditemani gelegar petir yang saling bersahutan. Di ruko yang hampir jadi itu, semua pekerja sedang istirahat sambil memperhatikan Pak Muji sedang salat. Masjid jauh, waktu salat magrib sudah hampir habis, Pak Muji tak bisa mengambil risiko. Digelarnya bungkus bekas Semen dan ditimpa karpet warnanya sudah pudar. Dia salat, itu juga yang selalu menjadi alas tidurnya.
“Pak Muji, kemari, Pak. Waktunya makan,” seru temannya yang sudah selesai. Pak Muji mendekat setelah melipat sajadahnya yang berbulu, bukan empuk, tapi saking lamanya, sudah lapuk.
Dengan semangat dia menerima nasi bungkus, nasi putih dengan satu potong tempe. Teman-temannya menatap jeri. Makanan sederhana itu tak sepadan dengan keringat yang setiap saat dikeluarkan, apa salahnya menitip lauk makan sedikit mewah atau setidaknya agak banyak? Mereka semua merasa tak tega. Satu memberanikan diri berbicara, Haryawan namanya.
“Pak, jangan lembur terus, nanti sakit. Saya yang muda saja malas, kita manusia bukan robot, robot juga ada rusaknya, Pak. Bapak dari kemarin lembur terus, cuman hari ini yang enggak. Saya takut lihatnya, takut pingsan atau gimana, kita punya mandor yang kurang peduli. Mau sakit mau sehat, nggak ada bedanya,” katanya pelan dan Pak Muji tersenyum. Mengunyah makanannya perlahan.
“Saya butuh uang tambahan buat beli Hp, itu Hp kayak kamu berapaan, ya? Ada kameranya itu, bagus.” Pak Muji menatap ponsel Haryawan, diberi kesempatan untuk memegang dan melihat-lihat. Teman kerjanya yang lain sudah rebah sambil mendengarkan, sambil main hp juga.
“Itu murah, Pak. Bisa, sih, buat foto tapi nggak bisa banyak-banyak. Memori nggak cukup.” Dia tersenyum tapi bagi Pak Muji itu sudah sangat luar biasa.
“Berapaan, ya, yang begini?” Pak Muji serius, sampai berhenti makan.
“Itu 450 ribu, Pak.” Haryawan menatap lekat.
Pak Muji menelan ludah kasar, mahal sekali, batinnya. Dia diam, terus menatap Hp di tangannya. Terbayang wajah Kani yang penuh harap, disusul wajah istrinya yang membujuk agar tak jadi beli, tapi sebagai seorang ayah, mana dia tega.
“Tapi kalau bisa menawar, nanti dikurangi. Ini sih, karena saya malas menawar, Pak.” Dia memberikan secercah harapan dan Pak Muji bernapas lega.
Sambil mencondongkan tubuh, Pak Muji bertanya. “Beli di mana?”
“Di Gerai nggak jauh dari sini. Saya antar nanti kalau mau.” Dia tersenyum lebar, dengan senang hati membantu Pak Muji yang tak paham apa-apa, dia takut Pak Muji yang polos kena tipu. Pak Muji terus berterima kasih, memberikan ponsel itu kembali perlahan. Takut jatuh.
****
Hari ini sepulang sekolah, Kani diajak ke rumahnya Reva, dengan Teti dan Citra juga, mereka semua berjalan kaki. Bukan tidak ada angkutan umum seperti angkot, tapi itu di jalan raya, bukan di jalan kampung kecil dan rusak.
Kata Reva, Ayahnya pulang dari Kuningan, membawa oleh-oleh. Sale, Tape ketan hitam, dan masih banyak lagi. Kani ragu-ragu menikmatinya, tidak seperti Citra yang memang pemakan segala dan Teti yang sudah biasa sering main ke rumah tersebut.
“Ini Kani bukan? Pangling banget, sudah lama tak main.” Ibunya Reva yang wajahnya percis seperti Reva itu mendekat. Kani hanya tersenyum canggung.
“Dia sangat susah buat main, Bu. Orang tuanya nggak kasih izin, nggak tahu, nih. Sekarang dia dapat izin atau enggak main ke rumah kita.” Reva yang baru keluar dari dapur berseru, dengan nampan berjajar gelas terisi sirop. Kani menunduk saat Ibunya Reva menatap.
“Sudah izin belum? Aduh, jangan sampai ada masalah, nanti Reva ke bawa-bawa,” katanya khawatir sesuatu terjadi pada anak semata wayangnya yang begitu dia manjakan itu.
“Sudah izin, Bi.” Kani bohong dan semuanya tenang.
Mereka semua menghabiskan waktu di rumah Reva sampai lupa waktu. Reva sudah pucat ketika melihat jam, pukul empat sore. Mati dia. Kenapa tidak terasa?
Ketiganya pamit pulang. Teti cengar-cengir berkirim pesan dengan kekasihnya. Citra diam dan Kani memperhatikan semua rumah yang dia lewati, bagus-bagus, kapan dia punya rumah begitu? Kapan gubuknya terganti?
“Itu mereka.” Teti tersenyum. Aldi, Heri, dan Anam sudah menunggu di tepi jalan dengan motor masing-masing.
“Tet, kamu ngapain?” Kani kesal.
Teti mendelikan matanya. “Apaan, sih kamu? Mereka lagi nongkrong, kalau aku sama Citra memang dari awal mau dijemput pacar kami. Tuh, ada Heri juga.”
“Aku tahu Heri kayak apa, dia nggak bakal datang kalau kamu nggak kasih tahu ada aku juga di sini. Kamu kenapa, sih, Teti? Aku nggak suka sama Heri.” Kani berbicara dengan nada tinggi.
Mata Teti melotot, tak terima.
“Apaan kamu bentak-bentak aku kayak begitu? Nggak usah kepedean kali, Heri juga nggak tahu kamu di sini.” Teti mendelik. Keduanya ribut dan Citra melerai.
“Sudah, kenapa ribut? Ayo, sudah sore.” Citra menunjukkan jam tangannya. Kani menggeleng dan melangkah di belakang keduanya. Citra naik dan Teti juga. Mereka berlalu tanpa pamit, masa bodo dengan Kani dan Heri.
“Aku mau ngomong.” Heri menghadang jalan Kani. Kani dengan mudah menghindar. “Kaniraras!” bentaknya sambil mencekal pergelangan tangan gadis itu.
“Ya ngomong aja, jangan begini! Aku bisa teriak!” Kani balas menyentak, menepis tangan Heri. “Kita sudah nggak ada apa-apa lagi dan sebelumnya pun memang nggak ada apa-apa. Tolong, jangan ganggu aku terus. Aku mau pulang.” Kani lelah, hampir menangis, dia bukan takut pada Heri, tapi pada Ibunya di rumah jika lewat Magrib dia baru sampai di rumah.
“Ya ayo naik.” Heri menepuk jok motornya kencang.
“Enggak!” Kani berusaha menahan getar di bibirnya. Dia berjalan dan Heri terus mengekor. Berseru-seru, mengungkap cinta, kata-kata gombal yang bikin mual. Kani menarik Hoodie jaketnya, terus melangkah dan lagi, Heri menghadang jalannya. Kali ini pemuda itu lebih kasar karena kesal terus ditolak. Kani menangis dan suara kring, kring, kring, sepeda membuat keduanya menoleh, itu Amarendra, entah dari mana, pakaiannya terlihat santai, rambutnya berantakan dan ada kantong plastik menggantung di sepedanya.
Kani menyeka pipi, Amarendra sudah turun dari sepeda dan mendekat. Pemuda itu bingung kenapa Kani ada di sini, jauh dari sekolah apalagi kampung tempatnya tinggal.
“Kamu kenapa?” tanyanya dengan wajah lembut tapi berubah kaku saat beralih menatap Heri. Kani menepis tangan Heri dan mengempit tangan Amarendra. Amarendra jelas panik. “Kani...” Menatap Kani lekat.
“Aku pacar dia sekarang,” kata Kani begitu enteng. Amarendra berusaha melepaskan tangannya tapi Amarendra menahan. Matanya melotot agar dia diam. “Jangan ganggu lagi, dia bilang akan memukulmu kalau menggangguku lagi.” Kani mendelik, merapatkan diri pada Amarendra penuh bangga, dagunya terangkat begitu angkuh. Sungguh, Amarendra sangat ingin tertawa melihat gadis itu pandai bersandiwara.
Heri merapatkan rahang, dia mundur dan akhirnya pergi sambil menahan amarah. Kani merasa lega dan melepaskan tangan Amarendra. Keduanya saling menatap bingung.
“Terima kasih, Kak.” Begitu sopan dia berucap, Amarendra tersenyum dan Kani melangkah pergi. Kani diam walaupun sadar pemuda itu mengikuti, Kani berhenti karena Amarendra berhenti di sebelahnya.
“Mau aku antar, Kani?” ajaknya dan Kani diam.
“Kakak tahu namaku?” Kani menatap.
“Kamu cukup populer di kalangan anak SMA,” kata pemuda itu sambil menyimpul senyum.
“Populer?” Kani menggaruk kepala dan Amarendra memegang setang sepedanya kuat. Menunggu Kani mau atau menolak. “Kak Maren...” Dia takut.
“Kamu tahu namaku Amarendra, tak perlu pakai ‘Kak’. Maren saja cukup.” Dia melirik ke belakang. Kani mengangguk. Pemuda merinding saat gadis itu berpegangan pada bahunya. Setelah Kani duduk menyamping, dia mengayuh sepedanya. Kani diam, membiarkan rambutnya tertiup angin. Dia pernah saat kecil punya sepeda dan sekarang dia merasakan serunya naik sepeda lagi walaupun dibonceng. Amarendra menggerakkan kepalanya berulang karena tangan Kani meremas bahunya, gadis itu takut jatuh.
“Kani.” Dia memanggil.
“Hmm?”
“Bisa pegang baju atau pinggang saja, aku tak bisa disentuh bahunya, geli.” Amarendra tertawa kecil dan Kani melepaskan tangannya. Dia tatap punggung lebar laki-laki itu, mana dia berani memeluk pinggangnya. Tapi refleks, Kani melakukannya sekaligus meminta pemuda itu berhenti. Kani buru-buru turun, naik ke tembok pendek pembatas jalan.
“Ada apa?” Pemuda itu sudah turun, ikut-ikutan naik. “Hei, mau ke mana mereka?” Amarendra ikut bingung melihat Aldi dan Anam membawa Teti dan Citra ke jalan bukan arah pulang, tapi menuju jalan raya.
“Aduh, aku takut, Kak.” Kani menggigit kuku jarinya dan Amarendra terus memperhatikan dua motor itu yang kini sudah lenyap di kelokan.
“Mungkin mereka main,” kata Amarendra enteng. “Itu hal biasa, tapi aneh bagimu.” Dia menatap dan Kani turun. Dia juga ikut turun.
“Mau menyusul?” tawarnya walaupun dia sadar diri tak akan sanggup mengejar dengan sepedanya.
Gadis itu menggeleng, Amarendra akhirnya lekas memintanya naik untuk segera dia antar karena dia pun harus segera pulang. Mereka hanya bicara singkat, Amarendra berhenti di tengah-tengah perjalanan, Kani memintanya. Kani turun dan berterima kasih, terus menunduk tak berani menatap pemuda yang jauh lebih dewasa darinya itu. Amarendra mengangguk dan pergi.
Kani melangkah dan sedang memikirkan cara jika Ibunya marah dan banyak tanya. Kani terus melangkah, tidak tahu bahwa Amarendra berhenti, berdiri di dekat sepedanya dan terus mengamati pergerakannya. Amarendra tak mau ada masalah pada gadis itu.
Sesampainya Kani di rumah, di luar dugaan, Ibunya bungkam, tak acuh saat dia datang. Hanya menjawab salamnya dengan suara rendah. Ibunya sedang sibuk menyuapi Syamsir.
Kani mengerjakan pekerjaan rumah, setelah itu mandi, pergi mengaji dan saat pulang mengaji. Dia kaget melihat Ibunya Citra sudah ada, tengah menunggunya.
“Kani, ini Ibunya Citra menanyakan Citra, kalian pergi bersama, kan, ke rumah Reva. Kenapa Citra belum pulang?” Ibunya berseru dan Kani langsung tegang.
“Kami pulang sama-sama, Bibi.” Kani sedikit takut saat Ibunya melotot.
“Kani...tapi Citra belum juga pulang.” Sambil menangis, Ibunya Citra mendekat. “Bibi telepon tak diangkat, bisa tolong telepon dia, mungkin dia mau kalau kamu yang telepon,” bujuknya tenang walaupun air matanya terus berlinang.
Kani menunduk dan Ibunya menjawab.
“Kani dan kami di rumah tak punya ponsel, Bu. Cuma bapaknya Kani yang punya, lagi kerja juga sekarang.”
Kani menutup matanya beberapa detik, jika Ibunya Citra bilang sama Citra, Citra pasti bilang juga pada Reva dan Teti kalau dia bohong tentang ponsel.
Ibunya Citra akhirnya pamit dengan tergesa-gesa, dia mengatakan akan mencari anak bungsunya itu dengan anaknya yang paling besar.
“Kani, kamu dengan teman-temanmu itu tak membuat masalah, kan? Awas saja jika ada masalah dan kamu terlibat, sudah banyak maunya, biang masalah juga.” Ibunya marah lagi dan bangkit meninggalkannya. Kani duduk dengan kasar dan terus menebak ke mana perginya Citra, jika Citra belum pulang jam segini apa Teti juga sama?
“Entah ke mana dua berandal itu membawa teman-temanku,” gumam Kani dan malam ini, dia tak bisa tidur, sibuk menunggu pagi untuk memastikan Citra dan Teti baik-baik saja, juga terbayang sekilas wajah ramah dan senyuman hangat Amarendra tadi, untuk pertama kalinya dia berdekatan dengan laki-laki asing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
🌻 G°°Rumai§ha°° 🌵
Ealahh abg tanggung ketemu laki2 omes, ruwet angel angeelll 😅
2023-04-13
0
SM06💜💜💜💜💜💜💜
kmna Citra ya???
2023-03-09
0