Selesai sarapan pagi Dinda pergi dari rumah. Ia masuk ke dalam mobil dan meraih ponselnya. Tiba-tiba saja gadis berparas cantik itu mendapatkan notifikasi pesan. Ia sengaja membuka pesan itu dan membacanya.
Isi pesan itu adalah
Kenapa kamu meneror calon istriku! Kalau kamu nggak suka dengan Kanaya. Jangan menerornya! Kamu tahu dia ketakutan melihat kepala hewan yang berlumur darah. Jika kamu menerornya lagi. Akan aku bawa kasus ini ke kepolisian.
Dinda tidak mau kalah dari Kanaya. Kemudian Dinda membalasnya, "Laporkan saja kepada polisi sana. Aku tidak takut sama laporan kamu itu! Aku tunggu nanti jam dua belas. Kalau laporan itu tidak sampai di mejaku. Berarti calon istrimu sialan itu yang akan ku laporkan sebagai pihak yang bersalah. Enak saja playing victim di depanmu. Dasar Budi setan!"
Dinda pun mengirim pesan itu ke nomor Budi. Dinda tidak peduli lagi dengan Budi. Ia sengaja mengibarkan bendera peperangan. Ia tidak akan mau menyerah pada keadaan.
Sementara itu, Budi yang sudah sampai di kantor langsung duduk di kursi kebesarannya. Ia meraih ponsel itu dan mendapatkan sebuah pesan dari Dinda. Ia membaca pesan tersebut kemudian menyuruh Tio masuk.
"Gue ngancem kok dia malah ngancem ya. Bukannya dia yang dulu mengirimkan kardus itu ke calon istri gue! Seenaknya dia ngomong kayak gitu sama gue! Ini nggak bisa dibiarkan. Gue harus ngomong sama pengacara. Agar pengacara itu bisa menyeret Dinda ke penjara."
Ceklek.
Pintu terbuka.
Tio segera masuk dan menghadap ke arah Budi. Tidak sengaja Tio melihat wajah Budi yang mulai geram. Tio pun berpikir sejenak dan merasakan hawa yang tidak enak. Setelah itu Tio bertanya, "Ada apa Tuan?''
"Tolong panggilkan Pak Agus ke sini! Aku ingin dia membuat laporan atas peneroran Kanaya," jawab Budi dengan tegas.
"Maaf tuan, jika berhubungan dengan Kanaya. Tuan besar dan nyonya besar tidak akan memberikan fasilitas kantor ini. Begitu juga pesan dari Nyonya Dinda. Nyonya Dinda tidak akan pernah menyetujui apapun yang diminta oleh Kanaya. Titik nggak pakai koma," balas Tio dengan tegas.
"Apa-apaan ini? Bisa-bisanya Dinda mencampuri urusanku!" teriak Budi yang tidak terima dengan perlakuan Dinda.
"Maaf tuan. Nyonya Dinda memiliki status yang sah dimata hukum dan negara. Nyonya Dinda adalah istri anda. Jadi Nyonya Dinda berhak dengan kehidupan anda. Saya tidak akan membantah apa yang telah diperintah oleh Nyonya Dinda. Karena ridho istri membuat para suami menjadi tambah sukses," jelas Tio yang membuat Budi mengambil jasnya lalu meraih kuncinya dan meninggalkannya sendirian.
Melihat kepergian Budi, Tio hanya bisa menghela nafasnya dengan kasar. Ia menggerutu dalam hati karena Budi tidak mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah.
Memiliki istri yang cantik, pintar, wibawa, bijaksana dan dermawan. Itulah impian Tio semenjak dahulu. Jika Dinda tidak dinikahi oleh Budi. Maka Tio akan melamarnya dan menikahinya. Meskipun barbar Tio tidak memperdulikannya. Justru sifat barbar itu membuat perempuan tidak terkena mental. Jika dihadapkan langsung oleh pelakor seperti Kanaya.
SM Company.
Dinda yang baru saja sampai di kantor langsung menyapa para karyawannya. Sedari dulu aktivitas seperti ini Dinda tidak pernah meninggalkannya. Ia termasuk bos paling murah senyum dan loyal. Ditambah lagi Dinda memiliki kecantikan dan rupawan. Banyak sekali pria-pria di kantor tersebut ingin mempersunting Dinda menjadi istrinya.
Namun siapa sangka Dinda sekarang sudah memiliki seorang suami. Bisa dikatakan lah Dinda itu memiliki suami gila. Namun Dinda tidak mempermasalahkan hal itu. Dinda membiarkan sampai di mana Budi bersama Kanaya. Dinda tidak akan pernah tinggal diam dan akan melakukan sesuatu. Itulah kenapa Dinda akan selalu memberontak pada perkataan Budi.
Sesampainya di ruangannya, Dinda menghempaskan bokongnya di kursi kebesarannya. Tak lama ada seorang pria tampan dan rupawan masuk ke dalam ruangan tersebut. Pria itu langsung menyapa, "Dinda."
Sontak saja Dinda terkejut dan tersenyum simpul. Ia menatap wajah pria itu dan menyapanya kembali, "Paman Herman."
"Selama aku tinggal beberapa minggu, Apakah ada kendala di kantor ini?" tanya Herman.
Beberapa saat kemudian Neti masuk ke dalam sambil membawa banyak berkas. Di sana Netty tidak mengetahui ada Herman di ruangannya Dinda. Lalu Netty menyodorkan dokumen itu di hadapan Dinda, "Nanti sore akan ada meeting dengan klien berasal dari Jepang."
"Bersama Tuan Tetsuyo?" tanya Dinda.
"Iya Bu," jawab Netty.
"Kalau meeting bersama Tetsuyo aku ikut," seru Herman.
Mata Netty membulat sempurna. Tak disangka Dinda kedatangan seorang tamu. Namun Herman tidak mempersalahkan jika Dinda masuk tanpa mengetuk pintu. Justru itu Herman orangnya welcome.
"Ada Pak Herman ya Bu?" tanya Netty.
"Tuh ada di belakangmu. Dia ke sini katanya ingin bertemu denganmu," jawab Dinda sambil meledek Netty dan Herman.
"Memangnya kamu tahu kalau aku sudah jadian sama Netty?" tanya Herman.
"Ya tahulah. Masa nggak tahu sama sekali Jika sahabatnya berpacaran dengan pamannya sendiri. Jangan jadi orang kudet," jawab Dinda sambil tersenyum manis.
"Ya udah. Jaga rahasia ini jangan sampai bocor ke anak kantor. Aku nggak mau asistenmu itu di-bully sama mereka," pinta Herman.
"Aish... Bukannya itu adalah kabar bahagia?" tanya Dinda yang tidak mengerti maksud Herman.
"Kamu tahu, Aku memiliki ketampanan yang paripurna. Banyak wanita yang di sini mengejar-ngejarku untuk dijadikan seorang kekasih. Tapi mereka tidak bisa mendapatkanku begitu saja," jawab Herman sambil tersenyum kocak.
"Kamu itu sangat narsis sekali," kesel Dinda.
Herman dan Netty tertawa menatap Dinda. Memang Dinda orangnya terlalu jujur Jika mengatakan sesuatu. Lalu mereka berhenti tertawa karena ada telepon masuk.
"Sebentar guys, ada telepon masuk," ucap Dinda sambil mengangkat desk phone.
Tanpa berpamitan Netty langsung keluar. Beberapa saat kemudian Dinda terkejut. Karena di bawah ada Budi yang sudah menunggunya. Tak lama Dinda menyuruhnya naik ke atas.
"Ada apa?" tanya Herman.
Sambil membetulkan bajunya, Dinda menjawab, "Ada Budiman di bawah."
Sontak saja Herman terkejut. Mendengar nama Budiman, darahnya mulai mendidih. Ia tidak menyangka kalau dirinya bertemu dengan musuh bebuyutannya itu. Herman menatap tajam ke arah Dinda, "Kenapa Budiman itu masuk ke dalam kantormu ini?"
"Mungkin saja karena teror pagi tadi," jawab Dinda.
"Maksud kamu apa?" tanya Herman sekali lagi.
"Aku mendapatkan teror dari Kanaya. Dia mengirimkan kepala boneka yang berbentuk anjing. Namun di kepalanya itu banyak darah. Ibu sama ayah sangat ketakutan sekali," jawab Dinda.
"Kanaya?" tanya Herman sambil menatap mata Dinda.
"Ya... Dia playing victim dan mengadukan masalah ini ke Budiman. Kamu tahu ini sangat lucu sekali. Aku malah dituduh sebagai pelaku utamanya," jawab Dinda yang membuat Herman menggelengkan kepalanya.
"Pasti kamu mengirimkannya ke rumah Kanaya?" tanya Herman sambil menyandarkan tubuhnya di sofa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments