“Itu benar ayah. Sampai saat ini aku belum mendapatkan jawabannya,” jawab Dinda.
“Bagaimana keputusanmu tentang pernikahan ini? Apakah kamu akan bercerai dari Budi?” Tanya Tia yang tidak rela jika sang Putri disakiti.
Dinda menghela nafasnya sambil berpikir sejenak. Tiba-tiba saja dirinya mengingat ada sebuah perjanjian dengan kedua orang tua Budi. Ia mengambil nafasnya sambil berkata, “Aku akan mendiskusikan ini dengan kedua orang tua Budi. Jalan ke depannya masih bisa belum diprediksi dengan aman.”
“Kapan kamu akan ke sana?” tanya Malik yang tidak terima kalau sang Putri masuk dalam penderitaan.
Melihat sang ayah sedang gusar, Dinda pun menjawab, “Besok pagi yah. Aku akan kembali ke kamar untuk tidur.”
Malik dan Tia terkejut dengan jawaban Dinda. Mereka tidak menyangka kalau sang Putri tidur seranjang bersama Budi. Mereka melarang Dinda untuk tidak tidur di kamar itu.
“Kamu tidur bersama Budi dalam satu ranjang?” tanya Malik.
“Tidak ayah. Aku tidak akan tidur bersama Budi. Sebelum Budi lepas dari Kanaya sialan itu. Aku tidak akan mungkin bisa dijamah olehnya,” jawab Dinda.
“Lalu?’’ tanya Malik lagi.
“Aku tidur di sofa kesayanganku. Biarkanlah Budi tidur di ranjangku. Asalkan aku tidak tidur satu ranjang bersamanya,” jawab Dinda dengan jujur.
“Kenapa kamu tidak tidur bersama kami?” tanya Tia yang memandang wajah Malik.
“Tidak perlu ibu. Aku akan tidur di kamarku sendiri. Ya sudah... Lebih baik aku tidur,” jawab Dinda sambil berpamitan kepada kedua orang tuanya.
Mereka tidak menjawab namun hanya menganggukkan kepalanya saja. Dinda keluar dari kamar kedua orang tuanya sambil mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak mungkin akan dijadikan seorang yang bisa ditindas oleh Budi. Ia akan menyuarakan suara Hati kedua orang tua Budi.
Brakkkk!
Dinda sengaja membuka pintu dengan kencang. Ketika Dinda masuk ke dalam, saat itu Budi sedang menelpon Kanaya. Tiba-tiba saja Budi tidak terima dengan sifat kasar Dinda. Lalu Budi mematikan ponselnya dan melemparkannya ke segala arah. Dengan mata tajamnya, Budi bangun dari tidurnya dan menantang Dinda.
“Kamu punya sopan nggak sih masuk ke dalam kamar pakai banting-banting pintu segala!” bentak Budi.
“kamu sadar nggak? Kalau kamu sudah menjadi pria beristri!kamu diam-diam menghubungi wanita lain dan mengatakan cinta ke dia? Apakah kamu nggak malu mengatakan itu di depan istrimu?” pencak Dinda dengan menantang.
“Cih... Istri! Janganlah kamu bermimpi menjadi istriku! Kamu memang orang yang tidak pantas menjadi istriku!” geram Budi yang tidak terima Dinda menjadi istrinya.
“Oh ya sudah... Kamu adalah pria yang tidak tahu malu. Kamu jadi pria sangat bodoh. Kamu itu sedang tertipu sama wajah cantik milik Kanaya. Tapi kamu nggak tahu kalau Kanaya itu adalah jelmaan iblis. Ya sudah kalau kamu nggak mau dengerin aku. Sekarang kamu jangan berisik. Aku mau tidur. Oh ya mobilmu sudah aku taruh di garasi. Aku sudah mengisi penuh bahan bakar itu. Jangan sekali-sekali kau menagihnya lagi!” tegas Dinda lalu berbaring di sofa.
Akhirnya Dinda terlelap dalam mimpi. Dirinya sangat lelah sekali karena ulah Budi. Ia tidak memperdulikan siapa itu Budi di dalam kamarnya. Bagaimana dengan Budi sendiri? Ia sedang mencari cara untuk menceraikan Dinda dalam waktu dekat ini. Jujur rencananya Budi akan menikahi Kanaya.
“Aku akan meminta Tio untuk mencari rumah kontrakan. Yang di mana rumah kontrakan itu seluruh orang tidak boleh ada yang tahu. Begitu juga dengan Dinda. Kalau dia sampai tahu. Dinda akan ngomong ke Mama. Lama-lama aku pusing sama Dinda dan mama. Kenapa aku bisa menikahi gadis seperti ini? Kenapa juga aku tidak menyusul Kanaya pergi ke Belanda dan menikah di sana. Betapa bodohnya aku menjadi seorang pria yang tidak tegas pada kehidupan sendiri?” geram Budi di dalam hati.
Paginya, Dinda sudah terbangun dan menyiapkan seluruh tugas-tugasnya. Sebelum berangkat Dinda melihat sebuah pesan dari Andara. Kemudian Dinda membacanya sambil tersenyum licik.
“Oh... Ternyata Budi kabur dari rumahku. Apakah aku harus membuat novel yang berjudul suamiku kabur dari rumah?” ucap Dinda dalam hati.
Memang, setelah Dinda terlelap tidur. Diam-diam Budi kabur dari rumah. Tanpa berpamitan Budi meninggalkan rumah itu menuju ke rumah Kanaya. Entah kenapa sang adik iparnya Andara mendapatkan berita seperti itu? Pada pagi itu juga Dinda meminta Andara untuk bertemu di satu tempat.
Sebelum berangkat dari rumah, Dinda mendapatkan bingkisan dari seseorang. Ia tidak sengaja membuka pintu dan melihat kardus yang terbungkus rapi. Dinda mengambilnya dan masuk ke dalam dapur sambil menatap sang ibu, “Ibu kemarin pesan apa ya? Kok pagi-pagi kurirnya sudah sampai di sini?”
Ketika sedang membalik ikan, Tia sangat terkejut dengan pernyataan Dinda. Tia membalikan badannya lalu melihat Dinda sambil menjawab,. “Mama kemarin pesan bando untuk anak panti asuhan. Tapi kata kurirnya, nanti sore barangnya sudah dikirim.”
“Oh... Tapi kenapa di depan rumah kita ada sebuah kardus besar seperti ini? Aku jarang sekali memesan barang via online. Kalau aku memesan barang via online pasti jatuhnya di kantor. Apakah ayah memesan barang via online? Seperti perlengkapan bengkel yang berada di persimpangan jalan itu?” tanya Dinda yang masih penasaran pesanan siapa itu.
“Ayahmu orangnya gagap teknologi. Ayahmu juga jarang sekali meminta ibu memesan barang-barang onderdil lewat online seperti ini,” jelas Tia.
“Ini sangat aneh sekali. Bisa-bisanya aku mendapatkan sebuah kardus besar ini?” kesal Dinda yang memutuskan untuk membuka kardus itu.
Dinda memutuskan untuk membuka kardus itu. Lalu dirinya perlahan dan melihat isi dalam kardus. Tiba-tiba saja Dinda melihat sebuah kepala boneka yang berlumuran darah. Dinda tidak memegangnya tapi hanya tertawa. Jujur, Dinda tidak takut sama sekali dengan kardus seperti itu. Diam-diam ia mengambil gambar itu dan memasangnya sebagai status di sebuah aplikasi pesan yang bergambarkan lambang telepon berwarna hijau. Dalam unggahan itu Dinda menuliskan sebuah caption, Apakah ini sebuah teror yang bisa membuat aku takut? Itu tidak bisa sama sekali. Aku tidak akan takut dengan teror itu. Terima kasih bagi yang mengirimkan kardus itu ke rumahku.jangan sampai aku melaporkan kasus ini ke aparat penegak hukum di daerah ini.”
Begitulah caption dari Dinda. Sementara sang ibu langsung lemas. Ia tidak menyangka kalau sang Putri mendapatkan teror seperti ini. Untung saja di dalam kardus itu tidak ada bom. Yang lebih parahnya lagi Tia tidak sengaja melihat sang Putri tertawa.
“Ih... Kamu itu ya? Itu teror Dinda! Kenapa kamu malah tertawa? Hidupmu tidak aman lagi,” seru Tia yang tidak terima sang Putri sedang diteror.
“Eh ada surat,” celetuk Dinda sambil meraih secarik kertas di dalam kardus itu.
“Aduh Dinda! Yang benar saja kamu. Itu teror. Kamu kok malah bahagia sekali mendapatkan teror seperti itu?” tanya Tia yang hatinya was-was dengan keadaan Dinda.
“Memang itu teror. Lalu Dinda harus ngapain?” tanya Dinda yang membuat Tia semakin bingung dengan sifatnya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments