"Aku memang mengirimkannya ke Kanaya," jawab Dinda dengan jujur.
"Ya baguslah. Kamu harus melawannya. Jangan sampai kamu lemah di hadapannya!" titah Herman.
"Aku nggak lemah sama dia. Aku juga nggak takut sama mereka. Aku bisa saja memainkan skandal-skandal yang telah dibuat oleh Kanaya. Selama ini Kanaya sebagai wanita paling sempurna. Tapi dirinya bodoh dan tidak mengetahui banyaknya skandal yang sudah dimainkan. Jujur semua ini karena Kak Faris. Yang di mana Kak Faris membayar mata-mata untuk menyelidiki Kanaya. Benar saja dia sudah melakukan hal-hal yang tidak baik. Cepat atau lambat dia akan melakukan cuci tangan dan melemparkan kasus itu ke orang yang tidak melakukannya," jelas Dinda yang berapi-api memberitahukan siapa Kanaya sebenarnya.
"Hanya orang bodoh lah yang mengerti dan mencintai Kanaya. Dan itu adalah Budiman.Semenjak sekolah sudah aku peringatkan siapa dia sebenarnya. Tapi nggak pernah peduli sama sekali. Kamu masih ingat nggak? Pas kasus tentang Bu Kamila yang di Surabaya itu?" tanya Herman.
"Yang mana memangnya? Aku sedikit lupa sepertinya?" tanya Dinda balik.
"Yang pas waktu makan. Kanaya mendekatinya dan menyiramnya memakai jus jeruk di atas kepalanya. Setahuku Bu Kamila tidak melakukan apa-apa. Malahan dia menuduh Bu Kamila telah melakukan pencurian di pusat perbelanjaan. Inilah yang membuat aku geleng-geleng kepala. Untung Andara saat itu menjadi saksi ketika berada di Surabaya. Istilahnya antara tidak pernah lepas dari sang ibu. Jadi kasusnya selesai sampai itu juga. Terus yang mencuri barang itu ternyata Kanaya sendiri. Itulah kebodohan Budi ketika mencintai Wanita itu. Padahal ibunya sudah dimaki-makinya dan dituduh mencuri," jelas Herman yang membuat Dinda teringat akan masalah itu.
"Ya begitu deh. Aku tidak takut untuk menghadapinya. Bahkan Budi sendiri ke sini dan menghajarku. Kamu tahu kan kalau aku bekasnya karate dan juga pencak silat. Jika dia sampai menyentuhku. Aku Yang akan melakukannya sendiri. Karena aku sudah memiliki perjanjian kepada Pak Kartolo dan Bu Kamila," tambah Dinda yang membuat Herman terkejut.
"Apa-apaan kamu? Kamu sudah membuat perjanjian seperti itu? Sama saja kamu mencari mati sama Budi," kesal Herman.
"Jangan pernah menyalahkan aku. Aku sendiri memang bodoh pas mengambil keputusan tersebut. Akhirnya aku menikahi Budi dan tinggal satu kamar. Jujur aku ingin sekali melemparkannya keluar jendela. Kalau ngomong mesti pakai nada tinggi atau menggeram. Memangnya aku siapa di matanya?" tanya Dinda yang semakin kesal jika membayangkan Budiman sedang menari di atas kepalanya.
"Sudah nikmati saja. Kalau kamu nggak kuat sama Budiman sialan itu. Kamu ngomong sama aku. Biar aku bisa mengurus surat perceraian itu," kesal Herman.
Sebelum pergi ke luar negeri, Herman sudah mengetahui pernikahan Dinda. Namun dirinya terkejut ketika yang menjadi mempelai adalah Budiman.
Saat itu Herman ingin kembali ke Indonesia dan membatalkan kasus yang menjerat kelaminnya itu hingga keluar. Namun apa daya Dinda menghubunginya dan mengucapkan baik-baik saja. Untuk saat ini mereka memang baik-baik saja. Tanpa ada pertengkaran dan makian kepada siapapun.
Herman benar-benar terharu mendengar perkataan Dinda. Baru kali ini dirinya memiliki keponakan yang sangat baik. Dengan begitu Herman hanya bisa menyaksikan pernikahan mereka melalui hasil rekaman yang sengaja direkam oleh Pak Malik.
"Jujur. Jika kamu kuat bersamanya selama beberapa tahun ke depan. Bisa dikatakan dirimu adalah orang hebat dan mental kuat. Jika tidak kamu akan terus-terusan menangisi keadaanmu. Tapi entahlah. Semuanya kuserahkan kepadamu. Aku hanya mengingatkan kamu saja. Kalau Budiman itu diam-diam orangnya sangat temperamen sekali. Itulah kenapa kamu harus berhati-hati dengannya," jelas Herman yang beranjak berdiri.
Melihat Herman berdiri, Dinda bertanya, "Mau ke mana?"
"Aku mau ke kantor. Banyak sekali pekerjaan yang harus ku kerjakan. Kapan-kapan kita akan membahas soal ini lagi," jawab Herman yang mendekati Dinda.
"Aku sebenarnya malas membahas soal Kanaya. Ingin rasanya aku ingin menghempaskannya jauh. Tapi itu tidak akan mungkin terjadi. Sebab aku harus bekerja dan bermain dengan cantik. Sudah sana pulang! Aku mau kerja juga," sahut Dinda yang mengusir Herman dari ruangannya.
Akhirnya Herman keluar dari ruangan itu sambil tertawa. Memang dirinya juga malas jika membahas tentang Kanaya. Ingin rasanya Herman menyerangnya dengan sejumlah bukti yang ada. Namun Dinda melarangnya. Dinda akan melakukan program tarik ulur. Yang di mana tarif ulur itu sangat mengasyikkan sekali.
Budiman yang baru saja sampai lobby langsung menghubungi Dinda. Untung saja ponsel milik Dinda berada di dalam mobil. Memang saat itu Dinda sengaja melakukannya. Dinda tidak ingin Budi mengganggunya ketika beraktivitas. Lalu bagaimana dengan kliennya yang lain jika ingin menghubunginya?
Tenang, Dinda sudah memiliki ponsel yang dikhususkan untuk berbisnis. Nomor itu juga tidak tersebar ke sembarang orang. Nomor itu hanya berlaku bagi orang-orang tertentu saja. Lalu Budiman, Dinda memang sengaja tidak memberikannya ke Budiman. Dengan cara inilah Dinda ingin bekerja sangat ramai sekali.
Selesai menghubungi Dinda yang tidak bisa, Budiman hampir saja membanting ponsel itu. Dengan terpaksa ia mendekati receptionist dan memintanya untuk menghubungi Dinda.
"Mbak," panggil Budiman.
Sang resepsionis yang bernama Melani segera mengangkat wajahnya. Iya tidak sengaja melihat Budiman dan menyahuti nya, "Iya Pak. Ada apa ya?"
"Tolong kamu panggilkan Dinda di divisi keuangan," jawab Budiman.
"Sebentar ya Pak. Saya panggilkan terlebih dahulu," ucap Melani.
Seketika melayani menghubungi Dinda yang berada di divisi keuangan. Lalu Melani menyuruhnya untuk duduk sambil menunggu kedatangan Dinda.
Beberapa menit kemudian, Dinda datang. Namun ini bukan Adinda yang dimaksud oleh Budiman. Ternyata Dinda ini hampir sama memiliki tubuh seperti atasannya itu. Akan tetapi Dinda tidak mempermasalahkannya.
"Ada apa Mbak? Memangnya Rifki ke sini?" tanya Dinda divisi keuangan.
"Bukan mbak. Ada yang ingin bertemu dengan mbak? Sepertinya sangat penting sekali," jawab Melani.
Kemudian Dinda sang divisi keuangan itu bingung setengah mati. Setahunya yang sering datang ke sini itu adalah Rifki sang adik.
Tidak sengaja mata Dinda tertuju ke Budi. Jujur dirinya sangat bingung sekali dengan pria yang sedang duduk itu.
"Aku nggak kenal. Entah siapa itu namanya jangan ganggu pekerjaanku," kesal Dinda sang divisi keuangan tersebut.
"Bukankah dia termasuk Paman kamu?" tanya Melani yang tidak tahu apa-apa.
Dinda sang divisi keuangan segera menghadap ke arah Budi. Saat itu juga Dinda menemuinya terlebih dahulu, "Selamat siang pak?"
Budiman mengangkat wajahnya sambil melihat wajah Dinda. Namun Budiman orangnya semuanya serba mengingat. ia menatap wajah itu sambil menggelengkan kepalanya, "DIA BUKAN DINDA!"
Mata Dinda melotot sempurna. Ia tidak terima lalu meninggalkan Budiman
"Dia bukan Dinda yang aku maksud!" geram Budiman di dalam hatinya.
Budiman memutuskan untuk berdiri dan menuju ke meja resepsionis sambil bertanya, "ke mana Dinda sebenarnya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments