Bab 7# Pecahkah Telurnya?

"Ini, Pin. Buburnya uda ada. Lekas sembuh buat Papamu ya." Meski kurang suka dengan sikap Dibi yang dibilang kurang bertetangga, Bunga tetap berbaik hati. Bukannya manusia itu harus saling menolong? Ya, anggap saja ia sedang beramal.

"Tan, buburnya panas kan?"

Bunga mengangguk polos.

"Kalau Arpina bawa, terus jatuh karena nggak kuat panas, bagaimana?" Banyak ide memang bocah cerdas ini.

"Hem, jadi intinya, Tante yang bawa masuk, gitu?" Tebak Bunga diberi senyuman manis oleh Arpina.

Eh, bisa senyum tuh bocah, padahal tadi kan sedih mewek gitu. Bunga jadi curiga.

"Kamu nggak bohong kan, Pin?"

"Ya Allah, Tan. Sumpah deh. Papa benar benar sakit. Kalau tidak percaya, ayo masuk."

Awas saja kalau Arpina cuma mengibul. Bunga berjanji tidak akan menegur itu bocah lagi. Musuhan!

Ingin memastikan, Bunga akhirnya masuk ke rumah Dibi untuk yang pertama kalinya selama menjadi tetangga, dengan Arpina yang mengomando di depannya.

Sepanjang langkahnya, Bunga disuguhkan piagam, piala dan beberapa bukti prestasi Dibi yang terpajang di beberapa titik ruangan. Tidak ada foto cewek yang Bunga harapnya bisa melihat foto Mama Arpina. "Eh, kan mantan nggak wajib dipajang kan ya?" batinnya. Ricky sang mantan kere pun, Bunga uda buang jauh jauh kenangannya, jadi pasti pak Dube pun demikian. Begitulah pikiran sederhana Bunga.

"Ini kamar, Papa." kata Arpina berhenti di depan pintu yang masih tertutup.

"Tunggu dulu, Pin. Ini kenapa aku harus nurut sama kamu ya?" heran Bunga. Harusnya kan ia menjauhi dua orang penghuni rumah tersebut.

Arpina tersenyum lalu berkata memuji Bunga. "Kan Tante orang baik mau nolong orang kesusahan." Kali ini, Arpina berkata jujur dan sepenuh hati.

Dan kejujurannya itu berhasil membuat kepala Bunga terasa gede. Gadis itu tersanjung dibuat pujian Arpina. "Ya, ini demi rasa kemanusiaan." Hati Bunga berkata demikian.

Ceklek...

Benar saja Pak Dube terlihat meringkuk di atas kasur dengan mata terpejam. Satu yang membuat Bunga tercengang adalah, kompresan bayi yang ada di dahi Dibi. Ingin tertawa tetapi takut dosa menertawakan orang yang sedang sakit. Tahan aja.

"Siapa yang nemplokin kompres itu?" bisik Bunga.

Arpina mengakuinya dengan balik berbisik. "Apa salah?"

"Tentu, Arpina. Itu buat bayi. Sudahlah, biar aku yang mengurusnya. Dapur sebelah mana, serta kotak obat juga ada di mana?"

Dengan cepat Arpina memberi tahukan ke Bunga segala pertanyaan kandidat calon ibu tirinya. Arpina semakin yakin, kalau ia tidak salah pilih gadis tersebut jadi Mama sambungnya.

Tidak butuh waktu lama, Bunga masuk ke kamar lagi membawa air kompresan, obat dan air buat minum yang tersusun di nampang.

"Sok atuh, bangunkan Papamu. Suruh sarapan lalu minum obat. Setelahnya, baru di kompres lagi," intruksi Bunga. Jelas, ia menyuruh Arpina karena Dibi itu bukan siapa siapanya yang harus ia suapin dan lainnya. Nanti kalau si Dube baper dengan kebaikannya dan berujung terpesona, serta lama lama si Dube jatuh cinta dengannya, repot lah dirinya. Nanti malah masuk ke rumahnya, nemuin Emak dan berkata mau melamar. Jangan sampai lupa, Bunga hanya mau sama yang perjaka, bukan Duda. Ingat ingat, ting!

"Aduh, Tante. Arpina kan mau sekolah. Ini hari pertama Arpina loh. Kalau telat dan berujung di hukum, bagaimana coba? Tolongin urus Papa ya, Please." Tangan Arpina mengatup menyatu untuk memohon. Tampang polos memelas seperti anak teraniaya pun ia pamerkan agar Bunga mau menurut. "Hari ini saja. Mau ya, Tante? Hiks..." Akting nangis mulai lagi.

Karena hati Bunga memang terlalu baik, terpaksa ia mengiayakan saja.

"Janji, ya?"

"Iya, aku janji!"

"Dosa loh kalau melanggar janji!" Arpina terus menegaskan.

"Cerewet nih, bocah. Ita, janji tak suer suer."

Arpina tersenyum diam diam lalu keluar kamar. Mengintip dari celah pintu, sengaja ingin mem-video Bunga yang mengurus Papanya dan berniat memamerkan hasil rekam itu ke Papa Gunturnya.

Camera on.

"Pak Dibi, bangun makan dulu." kata Bunga pelan. Dibi hanya setengah sadar, mengira itu adalah suara Arpina. Sedikit aneh sih pada panggilan anaknya yang menggunakan 'Pak Dibi.' Ah, pasti itu hanya halusinasi. Itu bukan suara Bunga. Titik!

Dengan patuh, Dibi membuka mulutnya tanpa niat membuka matanya yang loyo dan juga mengantuk karena semalaman efek jamu tersebut ternyata sempat kambuh lagi dan alhasil tidurnya terganggu.

Orang sakit lahap juga ya. Bunga dalam diamnya sempat heran. Tapi bersyukur juga sih karena Dibi menurut manis seperti kucing anggora.

Arpina tersenyum di balik pintu. Merasa cukup dalam merekam, Arpina pun bergegas keluar rumah sembari mengirim hasil videonya ke Guntur dengan notes, "Bagaimana menurut, Papa? Pilihan Arpina cocok nggak?"

Send.

"Lumayan, Pin. Tapi itu, wajahnya kok nggak keliatan, Nak. Papa jadi penasaran wajah cewek itu."

Arpina tersenyum membacanya. Lalu kembali membalas, "Lihatnya nanti saja kalau sudah sah. Intinya mah cantik dan lucu seperti Arpina. Heheh... Dah, ah. Arpina mau sekolah."

Arpina bergegas berbelok ke rumah samping yang tak lain adalah rumah Bunga. Setelah berhasil merepotkan Bunga, bocah yang tidak pernah kehabisan ide itu, sekarang berniat merepotkan si Emak Dahlia. Bilang lah kalau Arpina itu terlanjur songong songong manis dan tak tau diri karena selama kedatangannya, Bunga sering dibuat pusing dan repot.

"Pagi, Mak."

"Pagi, Neng. Wah, mau sekolah ya? Tapi gedungnya kan bukan di sini."

Arpina cengengesan. Si Emak kalau bercanda suka benar.

"Atau mau cari Tante Bunga ya?" Tentu saja si Emak Dahlia ramah. Lah, ia mupeng gila punya menantu Beken seperti Papa Arpina. Emak yakin, kalau Bunga menikah dengan tuh laki keren, pasti anaknya akan bahagia. Entah apa juga alasannya sampai ia berpikir demikian. Mungkin hanya filling seorang Emak. Lagian, si Dube itu sopan padanya dan selama tinggal bertetangga, Dibi tidak pernah berbuat negatif seperti membawa perempuan lain gitu ke rumahnya, baik belum adanya Arpina pun. Tapi entah kalau di luar sana. Intinya mah, selama kebusukan ada di depan mata, Emak Dahlia tetap memuja Dibi sebagai Dube.

"Nggak, Emak. Tante Bunga kan ada di rumah ku. Lagi nyuapin Papa bubur."

"Hah...? Be-benar?" Emak shock mendengarnya. Tetapi bukan shock marah tetapi wajahnya terlihat bahagia. Meski sedikit ragu dengan pernyataan Arpina.

Tapi saat Arpina memperlihatkan video, Emak baru percaya. Senyum pun semakin lebar. Cih, katanya anaknya itu ogah punya calon duda, tapi kok bisa so sweet gitu.

"Gimana, Mak. Serasi nggak?"

"Hahaha... Serasi sekali!"

Dua koplak itu malah bertos ria. Selesai tertawa bersama, Arpina pun akhirnya mengatakan keinginannya, "Emak, Arpina mau berangkat sekolah. Tapi butuh diantar. Masalahnya Bi Muna juga sakit __"

"Hayo, Emak antar." Tanpa ba bi bu lagi, Emak langsung setuju. Keduanya sudah seperti cucu dan nenek. Naik motor bersama dengan Arpina berpelukan erat di pinggang Emak Dahlia. Tenang, meski sudah berumur, Emak itu jago naik motor.

Sementara di dalam kamar Dibi, pria itu pun sudah berhasil menelan pil obat yang disuapin Bunga. Biar janji ke Arpina lekas selesai, Bunga pun memeras kain yang akan mengkompres dahi Dibi biar panasnya itu cepat turun.

"Eh, tapi byebye-feve*nya harus dicopot dulu," gumamnya. Sejurus... Krakat...

"Aduh." Sial, si Dube bangun ulah tangannya yang tidak pelan pelan menarik obat tempel khusus bayi yang sebelumnya ditempelkan Arpina.

"Kamu?!" hardik Dibi menangkap tangan Bunga. Rasa sakitnya ia abaikan demi bisa membalas Bunga yang sudah mengerjainya perihal jamu, sampai sampai ia terkapar sakit double in.

"Le-lepas, Pak. Sa-saya di sini __"

"Karena mau tanggung jawab? Ya, kamu harus tanggung jawab tentang jamu buatan mu." Dibi menyeringai. Ada rasa puas melihat wajah pucat Bunga yang tidak bisa lepas dari genggamannya. Ia akan menjahili gadis sableng ini biar kapok mencari gara gara padanya.

"Eh, Ba-bapak mau apa? Le-lepasin tangan ku, Pak."

Dibi tidak menurut. Masih memegang kuat tangan Bunga, Dibi berusaha untuk duduk dari rebahannya. Lalu segera menjelaskan efek jamu yang Bunga berikan padanya secara gamblang.

"Saya ingin kamu tangguh jawab atas penyiksaan semalam."

"Ta-tanggung jawab seperti apa?" gagap Bunga. Ia menatap ngeri wajah Dibi yang hanya berjarak satu jengkal. Pria ini tidak meminta 'anu' kan? Iihhh.... Bunga bergidik ngeri membayangkan Dibi berbuat di luar nalar pada tubuhnya. Tidak ingin terjadi apa-apa, spontan Bunga menendang 'itu' nya Dibi menggunakan lipatan dengkulnya.

Alhasil ... "Arrg...!" Dibi melolong keras sembari memegangi asetnya. Ngilu sekali rasanya. Wajahnya pun kian memerah menahan sakit itunya.

"Maaf, Pak. Duh, pecah kah telurnya?" Bunga masih sempat bertanya konyol. Eh, setelah sadar kalau bisa saja Dibi semakin murka dan tidak ada kata ampun bagi nya, Bunga lebih memilih kabur.

"Awas kamu, Bunga!"

Gadis itu mendengar suara penuh ancaman Dibi. Bunga takut tetapi nanti harus bersembunyi di mana? Mereka kan tetangga. Aduh, masalah ini mah, masalah!

"Sial, sakit sekali. Padahal aku cuma iseng menakutinya. Mana nafsu aku meniduri gadis abg sepertinya. Atas sampai bawah, rata semua. Tak ada yang menarik!"

Terpopuler

Comments

astri

astri

arpina keci" banyak ide ya 😂😂

2023-04-17

1

Rhiedha Nasrowi

Rhiedha Nasrowi

ketawa aja gak papa neng,. ,aku pun tertawa juga🤣🤣🤣🤣

2023-02-07

1

ᵉˡ̳𝐀𝐘𝐃𝐀ᴸᴷ⸙ᵍᵏ

ᵉˡ̳𝐀𝐘𝐃𝐀ᴸᴷ⸙ᵍᵏ

lebih tepatnya lato2 Nga 😂😂😂

2023-02-06

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!