Bab 6# Gara-gara Tegang

Entah kenapa, tubuh Dibi tiba-tiba panas. Duduk di sofa pun, bokongnya sangat gelisah. Pori porinya memproduksi dua kali keringat lebih banyak dari biasanya. Padahal, suhu ruangan terasa dingin full AC. Di luar rumah juga lagi gerimis gerimis cukup sejuk.

Tidak kuat lagi menahan gejolak yang ada di dalam tubuh lelakinya, Dibi meninggalkan Arpina di ruang tv menuju kamarnya dengan langkah langkah panjang.

Di dalam kamar, Dibi langsung membanting tubuhnya ke kasur. Niatnya, ingin membawa tidur saja rasa gejolak panas di dalam tubuhnya. Namun apa daya, semakin dicuekin maka perasaannya semakin kacau. Bagai cacing dibanjur air garam, Dibi kelojotan membolak-balik posisi rebahannya.

"Papa kenapa?"

Hais, untung Dibi belum sempat membuka benang bawahnya yang melekat sesak tiba-tiba. Gadis kecilnya main menyelonong masuk kamar tanpa ketukan pintu.

"Nggak apa apa," tentu saja berbohong. Wajah sampai ujung kuping sudah memerah karena hasrat dalam tubuhnya terus bergejolak.

Arpina sudah berdiri di dekat kasur. Alasan papa nya yang katanya tidak apa, tak ia percayai karena gerakan tubuh gelisah Dibi itu sangat mencurigakan.

"Papa sakit?" Arpina menyentuh dahi sang Papa. Tidak panas. Cuma kenapa wajah Papa memerah dan pancaran matanya seperti gelisah!

"Tidak, Nak. Otot Papa lagi tegang. Dibawa istirahat juga enakan. Kamu keluar ya."

Semakin menyiksa, Dibi berdiri dari kasur, lalu membalik tubuh Arpina ke arah pintu. Terus menerus, ia mendorong pelan punggung sang anak untuk ia usir paksa tapi masih dengan pergerakan lembut.

"Yakin, Papa tidak apa apa?" Arpina masih ragu. Bertanya kembali yang sudah berdiri di ambang pintu.

"Nggak apa apa. Sudah ya, Papa mau istirahat. Good night and have a sweet dream."

Sejurus, brak... Arpina hanya mendelik aneh ke pintu yang sudah di tutup rapat oleh Papanya. Baiklah, karena besok harus masuk sekolah baru, Arpina harus tidur lebih awal. Katanya, Papa nya cuma butuh istirahat, Arpina pun sudah cuek kembali dan harus menghormati jam istirahat sang Papa.

Kamar sudah aman dari Arpina, Dibi langsung ngacir ke dalam kamar mandi. Main hujan hujanan di bawa shower menggunakan suhu air setara dengan air kulkas. Bayangkan betapa dinginnya. Itu demi membunuh hasrat sang adik yang tegang di bawa sana.

"Shiit, kenapa tidak reda reda?" monolognya geram. Dibi itu paling anti menghina tubuhnya dengan cara bermain 'solo' apalagi pakai sabun. Ia malu pada diri sendiri kalau melakukan hal jorok seperti itu. Dan alhasil, air dingin yang terus mengguyur kulitnya dalam waktu hampir satu jam membuat Dibi menggigil. Masalah baru lagi. Dibi berujung bersembunyi di bawa selimut tebal. Adiknya memang sekarang sudah loyo, tapi oh tapi ia di landa sakit demam. Masuk angin.

"Sebenarnya apa penyebab aku begini?" Meski bibir sedang menggigil hebat, Dibi masih terus bertanya tanya dan berpikir keras masalah tubuhnya yang bisa on tiba-tiba tanpa ada sebab seperti melihat video tut... (sensor) itu.

"Kuat apa, Pak? Di kasur?"

"Shiiit... Apa kah karena jamu yang dibuatkan Bunga?" Kecurigaannya muncul setelah mengingat kalimat gadis sableng itu. Ah, pasti benar adanya gadis itu mengerjainya lewat racikan jamu tersebut. Awas saja besok kalau bertemu, Dibi akan menjitak kepala gadis itu. Tidak! Balasan itu terlalu ringan untuk Bunga. Bagaimana kalau ia terus menahan surat motor Bunga yang sempat ia tilang?

***

Tok tok tok...

Paginya, Arpina sudah siap berpakain seragam sekolah. Karena perut butuh asupan, ia pun menggedor pintu kamar sang Papa yang belum bangun. Biasanya, ada Bi Muna-sang ART yang menyiapkan, tetapi karena masih izin sakit, otomatis meja makan masih keadaan kosong melompong. Kalau bukan sang Papa yang memasak, siapa lagi. Jadi, Arpina harus membangunkan Papanya di waktu masih dibilang pagi, pukul 05:38.

Ceklek...

Baru kali ini, Arpina melihat penampilan berantakan sang Papa. Meski di kata duda, dalam stylish, Papanya itu bisa dibilang sangat modis. Tapi pagi ini, ia melihat penampakan Dibi sangat memprihatinkan. Apakah ada angin badai yang menerpa Papanya?

"Papa masih sakit?" Arpina memindai selimut tebal yang menyelimuti tubuh sang Papa yang kembali membanting badannya ke kasur.

"Cuma demam."

Kasihan. Arpina jadi tidak tega menyuruh Dibi memasak.

"Kepala Papa sangat pusing, Pin. Telepon Bi Muna aja buat anter kamu ke sekolah. Maaf ya, Nak." Tentu saja Dibi merasa bersalah. Tetapi demi keselamatan, Dibi tidak mungkin memaksa berkendara mengantar Arpina ke sekolah dengan kepala kliyengan. Bisa bisa nanti berujung fatal pada anaknya atau pengguna jalan yang lain.

" Jangan dipikirkan itu, Pa. Arpina kan sudah besar." Sok dewasa sekali nih bocah. Padahal niatnya mau merepotkan Bunga di hari pertama kali sekolah di gedung baru.

Dengan perhatian, Arpina memeriksa suhu tubuh sang Papa menggunakan punggung tangannya di jidat itu. Panas rasanya. Spontan memegang jidatnya sendiri untuk menyamakan suhunya. Fixed, Papanya lagi sakit demam. Butuh dikompres. Seperti Mamanya dulu merawatnya, Arpina pun keluar kamar mengambil kompres. Bukan sebuah kain dan air, melainkan byebye-feve* atau alat kompres instan khusus sang bayi. Meski umurnya delapan tahun, Arpina kalau demam selalu memakai itu. Mumpung masih ada sisa yang disediakan sang Mama di kotak obatnya waktu akan berkunjung ke rumah sang Papa, jadi berujung alat itu sudah menempel di jidat Dibi.

Bayi besar.

Pria itu hanya pasrah dalam mata terpejamnya. Dibi kira, Arpina mengompresnya memakai kain.

"Tunggu ya!" Yakin sang Papa belum minum obat, Arpina bergegas keluar kamar lagi. Ngacir ke dapur. Bukan mau memasak. Lah, ia kan masih bocah yang belum bisa bekerja di dapur. Arpina cuma menarik satu mangkok kosong, lalu keluar rumah. Biasanya, ada tukang bubur ayam yang keliling di komplek sederhana itu. Ia akan memberi sarapan itu saja buat Papanya.

Celingak celinguk ke jalan, belum ada suara tang ting tung dari bunyi mangkok sendok beradu khas panggilan tukang bubur.

Sembari menunggu datang, Arpina memutuskan untuk duduk di teras. Mengeluarkan hape lalu video call sama Mamanya.

"Papa sakit, Ma?" Arpina langsung mengadu.

"Sakit apa, Sayang?"

"Demam. Gara gara otot Papa lagi tegang!" Arpina mengingat apa yang Papanya ucapkan semalam. Alhasil, ia pun mengadu polos. membuat Pelangi berpikir keras di seberang sana. Alis Mama cantiknya sampai berkerut kerut halus.

"Sakit tegang otot?" Pelangi garuk kepala yang tidak gatal. "Sudah minum obat belum?"

Arpina menggeleng pelan.

"Pin, minta tolong sama ART atau orang yang Arpina percayai di situ. Minta panggilkan dokter atau langsung bawa Papa ke rumah sakit bila perlu." Tentu Pelangi tidak mau mengambil resiko. Dari penyakit biasa, sampai sakit keras, separuhnya diawali tubuh demam. Sakit Dibi juga aneh, otot tegang kata anaknya.

"Pin, maka nya, Nak. Kamu cepat cepat lah selesaikan misimu di sana. Biar kalau Papa sakit ada yang merawat. Seperti Papa Guntur, kalau lagi sakit diurus Mamamu." Hape diambil alih oleh Papa Tirinya di seberang sana.

"Begitu ya, Pa?"

Guntur mengangguk mantap. "Tapi ingat, perempuannya yang sayang sama kamu ya, Nak. Jangan ngasal pilih."

"Iya, Pa. Uda ya. Arpina mau urus Papa dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam salam. Tapi eh tunggu..."

Arpina tertahan menekan tombol merah, siap mendengar kalimat susulan Papa Tirinya.

"Ingat selalu kabarin. Kalau ada hal serius yang terjadi sama Papamu jangan sungkan menelpon Papa atau Mama di sini. Sesibuk-sibuknya, Papa pasti akan ke sana membantu mu."

Tidak dipungkiri oleh Arpina, kalau kasih sayang Papa tirinya juga juara. Arpina tidak pernah menyalahkan Guntur atau tidak pernah mempertanyakan, kenapa Papa Tirinya itu bisa merebut sang Mama dari Papa kandungnya.

Baiklah, tadi Papa Gunturnya mengatakan kalau lagi sakit ada Mamanya yang mengurus. Lihat saja, Papa Dibi juga akan mendapat perhatian dari kandidat calon ibu tirinya yang sableng tapi insya allah baik hatinya.

Tengok ke rumah sebelah kanan. Kebetulan, Bunga ada di sana. Sedang nyapu teras sembari bernyanyi, "Ibu tiri hanya cinta pada ayahku saja."

Nyanyi apa nakutin? Arpina berdecak pelan.

"Tante...!"

Jangan hiraukan suara bocah itu. Sebenarnya, Bunga sudah melihat Arpina sedang berbicara pada seseorang lewat telepon.

"Tante, budek ya?"

Bebasin saja apa mau dikata tuh bocah. Emang enak di cuekin? Lagian kalau direspon, pasti ujung ujungnya, ia sendiri yang akan pusing dengan godaan Arpina.

Dengan cuek, Bunga kembali bernyanyi 'ibu tiri' lebih keras lagi. Biarkan Arpina berpikir dua kali setelah mendengar nyanyian yang menjelaskan kalau punya ibu tiri itu tidak enak. Kena mental nanti lu bocah.

"Tan, Papa sakit tau." Suara Arpina seperti korban teraniaya. Akting on, tetapi sebenarnya ia memang sedih karena Papanya kan betul lagi sakit. Tapi kadar sedihnya masih sedikit kok. Hiks hiks, ini lagi nangis, sebetulnya cuma mau mengambil rasa simpatik Bunga. Apakah kasihan padanya atau masih cuek? Kalau Tante itu tidak peduli, maka pupus lah harapan Arpina. Ia akan mencari lagi kandidat baru kalau....

"Sakit? Papamu sakit apa?"

Eh, cemas dia.

"Demam, Tan. Ini lagi nunggu bubur lewat buat Papa__"

"Sini, biar Tante yang belikan." Bunga menyambar mangkok yang ditaruh Arpina di tembok pembatas rumah. Lalu ngacir ke arah jalan.

Arpina yang melihat itu, mengembangkan senyum jumawanya secara diam diam. "Arpina memang nggak salah milih Tante Bunga. Hihi.."

Bukan hanya berhasil menyuruh Bunga beli bubur, Arpina juga akan membuat Bunga menyuapi Papanya. Berhasil atau tidaknya, lihat saja nanti.

Terpopuler

Comments

Asrini Zafarani

Asrini Zafarani

best banget nih bocah....arpina.. love you

2023-06-15

1

Rhiedha Nasrowi

Rhiedha Nasrowi

wahhh keknya gak lama lagi pak duda ada yang ngelonin nih😁😁

2023-02-07

0

ᵉˡ̳𝐀𝐘𝐃𝐀ᴸᴷ⸙ᵍᵏ

ᵉˡ̳𝐀𝐘𝐃𝐀ᴸᴷ⸙ᵍᵏ

cieee dah mulai perhatian Nga kok responnya anu bgt 😂😂😂

2023-02-06

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!