Keesokan harinya, Arya berangkat bekerja dan berharap bisa bertemu dengan Calista di kantor. Semenjak semalam, ia menghubungi Calista, tapi tidak mendapatkan jawaban.
Begitu tiba di kantor, ia pun tidak juga melihat Calista. Ia kembali menghubungi, tetapi ponsel Calista tidak bisa dihubungi."
"Seketika Arya merasa khawatir dengan Calista dan takut jika berbuat hal yang tidak diinginkan.
'Aku minta tolong salah satu sopir di rumah saja untuk menjemputku dan mengantarkan ke rumah Calista.' Sebuah ide tercetus dalam benaknya karena tadi ia tidak membawa mobil saat pikiran kacau.
Namun, niatnya untuk pergi ke rumah Calista pun harus dibatalkan karena harus bertemu dengan klien.
Menjelang makan siang, Arya membuat janji temu dengan seorang klien di salah satu restoran yang ada di daerah ibu kota.
Sepuluh menit menunggu, seorang pria seusia sang ayahnya dengan perawakan tinggi dan kecil, berdiri di depan Arya, menyapa pria itu.
“Selamat siang Mr. Arya.”
Arya mendongak dan melihat pria itu. Seketika Arya termangu dengan ekspresi shock.
Sosok pria yang datang bersama klien, membuat wajahnya berubah tegang seketika. Arya kenal siapa pria tersebut.
“Selamat siang, Mr. Willy.” Arya berdiri dan mengulurkan tangan pada kliennya tersebut. Ia berhasil kembali menguasai keadaan. “Silakan duduk.”
“Terima kasih,” balas pria bernama Willy tersebut.
“Oh, ya. Kenalkan, ini adalah salah satu karyawan kepercayaan saya. Namanya Bagus.”
Kini, dua pria itu pun saling berjabat tangan dan mengenalkan diri masing-masing, layaknya orang yang tidak pernah saling mengenal sebelumnya.
Arya bisa melihat jika Bagus menatapnya datar. Ia kemudian beralih pada klienya yang sudah duduk berhadapan dengannya.
“Saya pikir Anda sendiri, Mr. Willy,” ucap Arya yang berusaha untuk menyembunyikan perasaan kesal.
“Saya sengaja membawa Bagus ikut bersama karena hari ini supir pribadi sedang sakit. jadi, menyuruhnya menggantikan."
"Saya juga butuh bantuannya untuk melihat beberapa bangunan yang akan Anda tawarkan. Bagus ini pandai dalam memilih bangunan. Apalagi putriku sangat cocok dengan pilihannya."
"Entah bangunan mana yang cocok untuk putri saya nantinya," imbuh Willy menjelaskan dan terdengar memuji.
“Tidak masalah, Mr." Arya menyodorkan sebuah brosur pada kliennya dan diterima.
Bukannya melihat, pria itu justru memberikan brosur tersebut pada Bagus.
Sembari melihat brosur tersebut, Willy meminta Arya untuk menjelaskan.
Kemudian Arya terus menjelaskan apa keuntungannya.
Arya ikut menatap pada Bagus dan menunggu jawaban pria tersebut. Apakah akan mengatakan 'tidak' karena pria itu masih dendam padanya yang telah merebut Putri darinya.
Ya. Bagus bisa saja melakukan itu dan memanfaatkan kesempatan ini untuk mempermalukan Arya.
Dari awal, saat Willy mengatakan jika Bagus adalah salah satu karyawan kepercayaannya dan akan membantu menentukan apakah ia jadi membeli hunian yang ditawarkan Arya atau tidak.
Perasaan Arya sudah langsung tidak enak.
“Sepertinya, apartemen ini sangat cocok untuk nona Angel. Ia ingin memastikan lebih lanjut, jadi bisa melihat langsung lokasinya.” Bagus menutup brosur yang ia baca dan kemudian menatap Arya yang bengong.
“Apakah kami bisa melihat lokasinya?” tanya Willy kemudian.
“Tentu saja. Saya siap mengantarkan kapan saja. Jika Anda mau, setelah makan siang pun akan bisa mengantarkan Anda,” jawab Arya meyakinkan.
"Mungkin Anda bisa mengantar saya lebih dulu,” ucap Willy. Kemudian beralih pada Bagus. "Setelah makan siang, pergi saja tidak apa-apa."
"Kasihan kalau istrimu harus menunggu lama.” Ucapan Willy di sela makan siang mereka, membuat Arya yang sedang menyantap makan siangnya segera mendongak.
Arya menatap pria yang duduk di samping Willy. ‘Istri? Bukankah istri Bagus adalah Putri?’
Arya bertanya dalam hati. Pikirannya mulai tidak tenang. 'Apa mungkin mereka sudah membuat janji lagi?'
“Terima kasih Mr. Willy. Mohon maaf, saya tidak bisa ikut mengantar Anda,” ucap Bagus yang terlihat begitu sungkan.
"Tidak apa-apa. Kasihan istrimu. Ia juga lebih membutuhkanmu,” balas Willy.
Mereka kembali menikmati makanan di atas meja.
Meskipun terlihat tidak berselera makan, tetapi Bagus berusaha untuk menghargai atasannya dan juga klien pria itu.
Beberapa saat kemudian, mereka berpisah di parkiran restoran.
Sebelumnya Willy sudah menawarkan agar Bagus membawa mobil miliknya saja untuk mengantar istrinya ke rumah sakit, tetapi pria itu menolak dan memilih untuk menggunakan taksi saja.
Bagus sudah pergi, hanya meninggalkan Arya dan atasannya di sana.
“Sayang sekali tidak bisa ikut bersama kita. Saya lihat memang memiliki insting dan ketelitian yang bagus,” puji Arya di depan Willy. Itu hanyalah sekadar ucapan basa-basi yang ia lontarkan.
“Iya, tapi bagaimana pun, keluarga lebih penting dari segalanya. Ia harus segera mengantarkan istrinya ke rumah sakit.”
“Ke rumah sakit?” Arya seketika memandang ke arah kliennya dengan tatapan terkejut, membuat Willy mengerutkan kening dengan perubahan ekspresi Arya.
"Oh, maaf. Semenjak ibu saya masuk rumah sakit dan mengalami koma, selalu takut jika mendengar tentang rumah sakit,” kilah Arya menyembunyikan keretkejutannya.
“Oh, begitu! Sepertinya pegawaiku sangat menyanyangi istrinya.
Saat perjalanan menuju ke sini, ia mendapat telpon dari orang yang bekerja di rumah dan memberitahu jika istrinya mendadak sakit.”
“Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan istrinya,” sanggah Arya dan mendapat anggukan dari Willy. Ia berusaha untuk fokus pada pekerjaan lebih dulu.
'Kenapa Putri tidak memberitahunnya kalau sedang sakit?' Seketika perasaan Arya menjadi kesal pada wanita itu karena Bagus lebih dulu diberitahu dibandingkan ia.
***
Bagus mengingat beberapa saat lalu, mendapatkan panggilan dari Amanda. Ia langsung menerima panggilan tersebut.
"Tuan Bagus, nyonya Putri demam tinggi," ucap Amanda di balik telpon.
"Apa? Lalu bagaimana keadaannya sekarang?” Bagus bertanya dengan raut wajah yang terlihat panik. “Baiklah. Kamu jaga Xander dulu, biarka ia istirahat sampai aku kembali.” Kemudian menutup sambungan telponnya.
Entah kenapa Bagus tidak bisa untuk membenci Putri. Meskipun wanita itu melakukan penolakan secara terang-terangan dan menyakiti hatinya, tetapi hatinya selalu tergerak untuk membantu dan memastikan kebagaiaan wanita itu.
Bodoh. Mungkin orang lain yang tahu kisahnya akan memaki dan mengejek p kebodohannya. Namun, sekeras apapun mencoba untuk membenci Putri, rasa itu tidak ada sama sekali.
Kecewa? Tentu saja ia kecewa. Pria mana yang tidak kecewa saat dikhianati oleh orang yang dicintai. Namun, dibandingkan menyalahkan Putri, ia lebih menyalahkan dirinya sendiri.
Bagus merasa belum bisa menjadi suami yang baik untuk Putri, sehingga membuat wanita itu berpaling dan mencari kebahagiaan dari pria lain. Ia merasa gagal mendidik Putri untuk menjadi seorang istri yang baik.
Cinta tidak harus memiliki, bukan?
Menjaga tidak harus selalu bersama, bukan?
Itulah yang ada dalam pikirannya. Bagus menjaga Putri dengan cinta yang ia punya tanpa harus hidup bersama dengan wanita itu.
Memaksa Putri dan tetap mempertahankan rumah tangganya juga percuma, karena yang wanita itu inginkan hanyalah perpisahan. Wanita yang dicintainya mengatakan akan sangat bahagia jika Bagus menceraikannya.
Biarlah ia tetap membiarkan cintanya untuk Putri utuh seperti dulu. Tidak ada niat untuk berpaling dan mencari pengganti wanita itu.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 298 Episodes
Comments