*TUJUH*
HATI
YANG TERLUKA#
Setelah pertemuan ke dua,
ketiga dan selanjutnya, membuat Bram semakin yakin kalau dia telah jatuh cinta
dengan Renata dan tidak bisa lagi melepas Renata dari hatinya. Dia ingin
mengungkapkan isi hatinya pada Renata, tapi sepertinya Renata masih menjaga jarak.
Dan memang Renata masih seperti kemarin-kemarin. Yang masih tetap dengan rasa
sakit hatinya. Dia belum bisa melupakan pengkhianatan itu. Bahkan semakin lama
Bram mendekati, Rena semakin merasa luka itu makin menganga karena ingatan akan
perlakuan Adhit yang sangat menyakitkan, apalagi ada makhluk yang namanya
laki-laki mendekati, yang sebenarnya ingin Rena jauhi. Bram masih menunggu
waktu yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya pada Renata, tapi dia akan
menunjukkan kesungguhannya dengan perbuatan, dengan caranya.
Seperti siang itu waktu
Rena makan berdua dengan Tia, kembali Tia menyinggung tetang keberadaan Bram.
“Ren... mas Bram kayaknya
bener-bener serius dengan kamu. Dia gak mau main-main.. Bahkan sejak pertama
dia liat kamu, dia bilang sudah tertarik sama kamu. Kamu gimana Rennn...?”
tanya Tia dengan hati-hati. Dia tidak ingin Rena tersinggung dan marah, karena
memang sejak kejadian itu, Renata jadi lebih sensitif.
“Aku gak tau Tia. Rasanya
masih sulit untuk berdamai dengan hatiku. Aku gak percaya lagi dengan yang
namanya cinta. Semua omong kosong..!!!”
“Kenapa kamu tidak
mencobanya Ren...?”
“Mencoba untuk kembali
disakiti....??? No...Tia....!!!” kata Renata sambil menggoyang-goyangkan lima
jarinya tanda menolak.
“Ren aku melihat ada ketulusan
di mata mas Bram. Aku sepertinya sangat yakin dia tidak akan menyakitimu, apalagi
dia juga pernah merasakan dikhianati... jadi dia pasti sudah tau seperti apa
rasanya sakit itu. Setelah sekian tahun dia menutup hati, baru sekaranglah dia
mulai terbuka lagi. Aku sama mas Arya kenal betul siapa mas Bram. Apalagi mas
Arya, dari SMP mereka bersahabat, sangat-sangat paham isi hati mas Bram....”
kata Tia sambil memegang ke dua tangan sahabatnya. Dia mencoba meyakinkan hati
Renata.
“Ayo... Ren.. kamu berhak
bahagia. Perjuangkan itu. Atauuu... paling tidak beri kesempatan mas Bram untuk
membuktikan kesungguhannya...”
“Aku sepertinya takut
untuk memberikan harapan pada mas Bram....., karena aku gak yakin pada diriku
sendiri. Aku ragu-ragu Tia” jawab Renata dengan wajah sedih.
“Kamu belum mencobanya
Ren. Ayolah.... jangan putus asa...”
“Sulit Tia. Aku memang
merasa nyaman ada di dekat mas Bram. Apalagi dengan perhatian dan sikapnya.
Tapi untuk cinta.... rasanya sulit Tia”
“Atau kamu lebih memilih
pak Erwin..? Karena kulihat dia juga pantang mundur meskipun kamu udah
menghindar terus...”
“Ngaco kamu...!!”
“Aku gak ngaco Ren. Yang
aku lihat... pak Erwin memang bener-bener naksir kamu. Mata kan gak bisa diboongin
Ren. Apa kamu gak ngerasa, atau pura-pura gak ngerasa??? Berapa kali coba kita
satu tim dengan pak Erwin? Perlakuannya ke kamu beda Ren, kelihatan banget
kalau dia naksir kamu....”
Renata menghela nafas
panjang. Memang dia juga merasa kalau Erwin mencoba mendekatinya. Pada saat pergi
bareng dalam satu tim ke luar kota, perhatian dan perlakuan Erwin begitu
kelihatan kalau sedang jatuh cinta. Hanya saja Erwin memang tidak pernah
mengungkapkannya. Atau belum, barangkali.
“Atau... jujur aja... sebenarnya kamu masih mencintai Aditya dan.....”
“Aku gak tahu Tia... apakah
ini cinta atau benci. Rasanya perbedaannya tipis. Karena terus terang... aku belum
bisa melupakan dia... Tapi..... setiap mengingat dia.... rasa sakit itu
muncul....” jawab Renata dengan mata memerah menahan tangis. Tia merasa kasihan
juga dengan sahabatnya ini.
“Tapi Ren.... mau sampai
kapan....? Kamu gak bisa terus-terusan seperti ini. Hidup harus terus berjalan
Ren.... Tidak hanya berhenti sampai di sini, sampai dengan rasa sakit hati.
Coba buka mata hatimu. Ada mas Bram yang saat ini serius sama kamu, kalau memang ternyata hatimu menolak pak
Erwin. Mas Bram mencintai kamu Ren....”
*Flashback on*
“Tia.. aku
sungguh-sungguh mencintai Renata. Aku tidak main-main Tia. Setelah sekian tahun
aku menutup mata dan hati, baru sekaranglah aku menyadari kalau rasa cinta itu
ada, dan rasa itu tertuju ke Renata. ..” Kata Bram dengan serius di suatu sore ketika
main ke rumah Tia. Bram memang sudah
lama kenal Tia, karena kakak Tia teman Bram dan juga Arya.
“Mas Bram serius..? Tidak
mempermainkan Renata? Aku kasian sama dia mas, dia sudah tersakiti... dan aku
gak rela kalo mas Bram mempermainkan dia....”
“Tia aku memang tadinya
tidak yakin akan perasaanku, bahkan dari pertama melihat dia di rumah makan aku
sudah merasakan itu. Tapi aku menyangkal... tapi... semakin lama dan semakin
kuat aku menyangkal perasaan itu... aku semakin tidak bisa melupakan dia.
Bahkan perasaan itu makin kuat. Aku sangat-sangat tersiksa...” kata Bram dengan
wajah frustasi, mengingat sikap Renata yang dingin dan cuek setiap kali
bertemu. Renata seperti menjaga jarak, menurut pemahaman Bram.
“Trus mas Bram maunya aku
harus gimana?”
“Paling tidak beri
keyakinan kalau aku serius dan sungguh-sungguh sama dia..”
“Mas Bram gak ingin
ngomong sendiri..?”
“Ingin Tia... bahkan sangat
ingin. Tapi aku mau mencari moment yang pas. Dan aku juga harus melihat suasana
Renata dulu gimana. Sebenernya sudah dari kemaren-kemaren aku pengen
ngomong.... tapi.. kupikir-pikir aku mau tunjukkan dulu kesungguhanku, bukan
hanya sekedar omongan”
“Oke dech mas aku coba
ajak Rena ngobrol. Tapi kalo mas Bram main-main... aku orang pertama yang akan
ngamuk meskipun aku sudah anggab mas Bram seperti kakak sendiri..”
“Kamu boleh pegang
omonganku Tia. Aku sangat berharap dialah wanita terakhir yang akan hidup bersama
aku sampai menua. Kamu harus percaya Tia” kata Bram memohon
*Flashback off*
“Apalagi yang kamu pikir
Ren...? Kalian sudah sama-sama satu iman. Mas Bram berasal dari keluarga
baik-baik dan sudah mapan, bahkan sangat-sangat mapan. Dan yang penting, dia sangat
serius sama kamu..”
“Kamu bisa belajar mencintai
dia Ren.... pelan-pelan...”
Renata membuang nafasnya.
Dia tidak tahu harus menjawab apa, karena memang hatinya belum bisa menerima
Bram, juga laki-laki yang lain, entah sampai kapan.
“Gimana Ren..?” tanya Tia
lagi hati-hati biar Renata gak ngambek lagi seperti kemarin.
“Tauk Tia... aku gak ngerti
mesti ngomong apa.... Oke yuk balik..udah siang, masih banyak kerjaan...”
Renata mencoba mengalihkan topik pembicaraan dan mengajak balik ke kantor.
“Oke... tapi tolong pikirkan
baik-baik. Aku tidak memaksa sih, tapi paling tidak.... denger omonganku... dan
ingat... ada dua laki-laki yang saat ini
kebetulan bersamaan ingin mendapatkan perhatian dan cinta darimu. Tolong
pikirkan itu Ren....” jawab Tia sambil bangkit dari kursi.
Setelah sampai di kantor,
mereka kembali dengan kesibukan masing-masing. Renata masih tetap berkutat
dengan laptopnya dan dokumen-dokumen yang ada di atas meja, begitu juga dengan
Tia. Rasanya hari ini begitu banyak dokumen yang harus dikerjakan Renata, tidak
seperti biasanya. Untung masih sempat makan siang di luar tadi.
“Ren ponsel kamu kemana..?”
tanya Tia tiba-tiba yang sudah berdiri di belakangnya.
“Emang kenapa?” tanya
balik Renata dengan heran
“Mas Bram dari tadi
nelpon tuh..chat juga katanya gak dibales. Sengaja kamu matiin ya..???”
Rena baru ingat ponselnya
dimasukikan ke dalam laci dan mode silent. Kemudian dia buka lacinya, dan
ternyata ada 3 kali Bram nelpon dan chat. Kemudian ponsel ditaruh di atas meja
tanpa membaca chat dari Bram terlebih dahulu. Renata kembali melanjutkan
pekerjaannya dengan serius, dokumen masih menumpuk di depannya dan laptop masih
tetap menyala. Namun tak lama ponsel Renata ada nada panggilan, ternyata dari
Bram. Dengan malas Renata mengangkat ponselnya pada panggilan yang ketiga.
“Halooo.. iya sore mas,
ada apa? Sory tadi ponsel di dalam laci, gak denger.”
“Rena... pulang jam berapa
nanti, aku jemput ya..”
“Mungkin agak sorean mas, masih banyak kerjaan.
Gak usah repot-repot mas. Aku naik bus aja..”
“Reennn... please... aku
gak repot dan gak akan pernah ada kata-kata repot..”
“Tapi mas........”
“Renata... jangan
menolak. Aku gak terima penolakan. Okey...???.” Bram memotong kata-kata Renata
“Terserah mas Bram aja.....” jawabnya singkat
sambil membuang nafasnya. Renata tidak mau berdebat dengan Bram.
“Oke Ren, jam 5an ya aku
sampai. Kalo telat-telat dikit gak papa ya... takut macet. Sekarang kan hari
Jumat.” Bram menjawab dengan suara girang, dan Renata pun mengangguk. Tentu
saja Bram tidak melihat anggukan Renata.
“Renn.... kamu masih di
situ...??” tanya Bram karena tidak ada jawaban dari Renata
“Eee... iya mas...” jawab
Renata gugup.
“Jam 5an aku sampai di
kantor ya....” kembali Bram mengulang kata-katanya.
“Iya mas....” jawab
Renata singkat.
Dia tidak tahu mesti ngomong
apa. Dia sebenarnya tidak ingin memberi harapan pada Bram karena hatinya memang
belum bisa menerima siapapun termasuk Bram, tapi untuk menolak permintaan Bram,
dia juga merasa sulit. Apalagi Bram begitu baik, dengan sikapnya yang sopan dan
lembut, dan kadang-kadang konyol juga dengan candaannya. Bahkan mbok Jum pun
sudah sangat tertarik dengan Bram yang sudah beberapa kali main ke rumahnya dan
berharap Bram lah yang menjadi jodoh Renata. Itu yang menjadi doa-doa mbok Jum untuk momongannya. Tapi hati Renata
benar-benar terlanjur tersakiti dan sulit untuk disembuhkan.
“Oke tunggu aku ya... Aku
tutup dulu, mau lanjutin kerja. Daaaa” Bram mengakhiri pembicaraan.
Kembali Renata menghembuskan
nafasnya dengan berat, dan Tia melihat itu.
“Kenapa mas Bram Ren, kok
pakai tarik nafas begitu...?”
“Ntar mau jemput pulang
kantor...”
“Oke siiippp. Berjuanglah
untuk berdamai dengan hatimu... cobalah pelan-pelan membuka diri untuk mas Bram.
Dia mencintaimu Ren... dan berniat serius dengan kamu.”
Renata tidak menjawab omongan
Tia, dia hanya mengangkat ke dua bahunya dan kembali sibuk dengan pekerjaannya,
tapi pikirannya sulit diajak konsentrasi. Entah apa sebabnya. Berkali-kali
Renata menghela nafas panjang. Apa ini gara-gara Bram, atau orang lain..?
Entahlah...
Jam 05.15 ponsel Renata
kembali berbunyi, rupanya panggilan dari Bram
“Halooo... Ren aku bentar
lagi sampai ya... kira-kira sepuluh menitan. Sory agak macet...”
“Ya mas... gak papa. Aku ntar
tunggu di lobby...”
Renata kemudian beres-beres
mejanya. Merapikan dokumen yang masih menumpuk dan mematikan laptopnya, sambil
menoleh ke arah Tia
“Tia mau bareng pulang...?”
“Gak trims, bentar lagi
mas Arya juga jemput. Kebetulan dia bisa pulang cepet.”
“Oke aku turun duluan ya...”
“Siiippp. Ren... inget
omonganku ya....”
“Heeemmmm....”
“Aku serius
Renata.......”
“Iyaaa... Tiaaaa.... bawel...
Yuk ah....!!!!”
Tia mau menjawab lagi,
tapi Renata buru-buru kabur, karena dia paham kalau Tia ngomong pasti gak ada
habisnya. Makanya dia mending keluar duluan, Tia pun tidak bisa ngomong
apa-apa.
Sampai di lobby Bram
belum datang dan Renata duduk di sofa yang ada di loby menunggu Bram. Lima
menit kemudian Bram sudah sampai.
“Sory... Ren nunggu lama
ya....” kata Bram setelah Renata masuk ke dalam mobilnya
“Gak papa mas, aku juga
baru aja turun kok..”
“Tia gak ikut
sekalian ?”
“Gak.. katanya mas Arya
mau jemput....”
“Tumben Arya bisa pulang
cepet. Biasanya sampai malem tu anak.”
“Ya kali pas lagi gak
banyak kerjaan...”
Kemudian sunyi lagi. Yaaa... Renata akan diam
kalau gak diajak ngobrol dulu. Dan Bram harus banyak akal untuk memancing agar Renata
mau ngomong.
“Ren mau nemenin nyari
kaos buat main tenis dulu.....?” tanya Bram hati-hati setelah mobil melaju di
jalanan
“Oke terserah mas Bram
aja..”jawab Renata sambil menoleh ke arah Bram
“Kamu gak papa kan pulang
agak maleman... gak ada acara...?”
“Gak mas.. ayuk aja...”
Bram sangat senang
mendengar jawaban Renata. Memang itu yang dia harapkan, kembali bisa jalan
dengan Renata. Bram terus melajukan mobilnya. Mereka menuju ke sebuah mall besar
yang ada di tengah kota untuk mencari kaos yang dibutukan Bram. Setelah ketemu
toko yang dituju, Bram memilih-milih kaos yang cocok. Renata mengikuti di belakangnya,
tapi tak lama kemudian...
“Mas aku kesebelah bentar
ya.... ada yang mau dilihat.” Kata Renata.
“Aku temani dulu ya,
nyari apa yang kamu butuhkan....” jawab Bram sambil meletakkan kaos yang tadi
dia pegang.
“Gak usah mas.... cari
aja kaosnya. Aku gak lama kok... biar cepet, gak kemaleman”
“Kamu gak papa sendiri..?”
tanya Bram lagi
“Its okey...” kata Renata
kemudian keluar dari toko. Rupanya dia menuju toko parfum yang tidak jauh dari
tempat Bram, karena stok parfum di rumahnya sudah hampir habis. Beberapa kali
mencoba aroma parfum, rupanya tidak ada yang cocok sesuai dengan seleranya. Renata
menggembalikan parfum yang baru saja dicoba kepada sales dan akan keluar dari
toko.
“Kenapa gak jadi...?”
tiba-tiba Bram sudah ada di sampingnya, yang membuat Renata kaget.
“Gak ada yang cook. Merk
yang biasa aku pakai gak ada stok. Udah dapet kaosnya mas?” Renata balik
bertanya.
“Nih... ada.. “kata Bram
sambil menunjukkan paperbag yang dibawa. “Emang parfum apa yang biasa kamu
pakai? Mana tau minggu depan aku ke Singapore ada yang cocok” tanya Bram.
“Gak mas... kapan-kapan
aja aku cari sama Tia.”
“Atau kita cari sekarang
di tempat lain, mumpung masih di sini. Kalau gak salah di sebelah sana ada lagi
toko parfum Ren.” Kata Bram sambil jarinya menunjuk ke arah sebelah kiri
mereka.
“Gaaakkk... gak usah mas.
Masih ada sedikit kok di rumah. Belum abis sama sekali.” Rena tetap menolak
“Okelah kalau begitu,
sekarang gimana kalau kita cari makan dulu..... gak papa kan...? Biar sampai
rumah tinggal istirahat saja.”
“Eeemmm... terserah...”
“Mau makan apa..?”
“Apa aja..”
“Jangan apa saja dong. Sekali-kali
kamu yang nentuin ingin makan apa...”
“Mas Bram pengennya makan
apa...?” tanya Renata lagi.
“Tuuhhh... kan.... balik
lagi nanya...” kata Bram sambil geleng-geleng kepala.
“Abissss... aku bingung
mau makan apa...???”
“Oke kita ke lantai empat
saja. Di situ banyak pilihan. Bagaimana...????”
“Ayuukkkk....”
Merekapun berjalan menuju
tempat makan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Amarantha Chitoz
baij banget ya nih cowok.../Drool/
2024-08-13
0
#Nana#
mas Bram sabar bngettt.....
2020-10-07
3