Jam 7 pagi terlihat Bram
sudah memarkir mobilnya di dekat pintu gerbang gereja sambil matanya mengawasi
satu persatu orang-orang yang masuk ke halaman gereja untuk mengikuti ibadah.
Dia tidak mau terlewati satu orangpun, makanya dari pagi sudah standby, padahal
biasanya orang-orang datang lima belas menit sebelum ibadah dimulai.
Tepat jam 7.40 terlihat
seorang gadis cantik sendirian turun dari taxi di dekat mobil Bram parkir.
Hati Bram berdebar-debar
melihat gadis yang memakai gaun selutut
kembang-kembang tanpa lengan yang kelihatan sangat cantik. Renata... ada
desiran halus di hatinya ketika matanya terus menatap Renata yang melangkah
memasuki halaman gereja. Bram segera turun dari mobilnya dan mengikuti dari
belakan diam-diam.
Renata mengambil tempat
duduk di barisan tengah, lurus menghadap mimbar. Sedangkan Bram diam-diam
mengambil posisi di barisan samping, posisi yang sangat ideal, karena dapat
melihat dengan jelas wajah Renata tanpa dapat diketahui pemiliknya. Matanya hampir
tidak berkedip memperhatikan Renata. Apa yang diperbuat Renata tidak lepas dari
pandangan Bram.
“Kasih
itu mengampuni. Tidak ada dendam dan amarah. Naaahhhh... ini yang sering kali
susah untuk kita lakukan. Mengampuni siapapun yang bersalah dan berbuat dosa
dengan kita. Mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Tidak ada dendam,
tidak ada sakit hati. Tapi apakah kita sudah bisa mengampuni...sudah bisa
memaafkan..? Terkadang mulut bicara mengampuni, memaafkan, tapi....hati masih
menyimpan dendam, sakit hati, amarah... Apakah
kita bahagia dengan memendam sakit hati? Apakah kita merasa puas dengan amarah
kita..?Itu artinya tidak ada kasih diantara kita. Sekali lagi saya katakan,
kasih itu mengampuni. Itu harus kita berlakukan di sepanjang hidup kita...” kata
Pendeta dalam sebagian khotbahnya yang berjudul Kasih dan Pengampunan
Bram melirik ke arah
Renata. Kembali di melihat Renata mengusapkan tisue di sudut matanya. Ini yang
ke dua kalinya Bram melihat Renata meneteskan air mata, yang sebelumnya dia
lihat di restaurant saat makan siang. Ahhhh...apakah karena isi khotbah pak
pendeta tadi? Tanya Bram dalam hati. Kasih itu harus mengampuni. Haruskah
Renata mengampuni mantan pacarnya? Mengampuni orang yang sudah membuat porak
poranda hidupnya? Itukah yang membuat dia mengeluarkan air mata? Banyak
pertanyaan yang berkecamuk di kepala Bram.
Mendengar khotbah yang
disampaikan oleh pendeta, hati Renata berdesir. Ahh.... pengampunan. Satu kata, tapi sangat susah
dilakukan. Haruskah aku mengampuni? Memaafkan? Tapiiii....terlalu sakit. Aditya.....
Nama yang masih tetap tinggal di hati Renata. Nama itu yang membuat air mata
menitik dari sudut matanya. Nama yang selalu muncul dalam pikirannya, yang
menorehkan luka yang dalam di hatinya. Dan air mata itu yang sudah sempat terlihat oleh Bram.
“Ren sory aku gak jadi jalan
ya. Ada perlu mendadak nih...” Tiba-tiba Tia menelpon Rena setelah selesai
ibadah. Memang yang direncanakan Tia cuma pengen tau jam dan tempat gereja
Renata, sesuai permintaan Bram. Maka dia pura-pura janjian, dan untungnya Renata
tidak memahami akal Tia.
“Iya gak papa. Aku juga
mau langsung pulang kok. Agak pusing kepalaku..”jawab Renata
“Lho...knapa? Kamu
sakit..?”tanya Tia khawatir
“Gak kok. Paling cuma
kurang tidur.”
“Ok dech, hati-hati ya.
Kamu pulang sama siapa?” tanya Tia lagi
“Ya sendiri lah. Paling sama
abang taxi. Mau siapa lagi?
“Oooo....kirain...”jawab
Tia terputus. “Oke dech udah dulu ya Ren, sampai ketemu besok. Daaahhhh...” Tia
menutup telponnya.
Bram yang dari kejauhan
mengamati Rena hanya bergumam dalam hati. Ahhh...seandainya....
Yaaa seandainya dia sudah
kenal dengan Renata, pasti dia akan dengan senang mengantar pulang ke rumahnya.
Atau kalau perlu tidak langsung pulang, tapi jalan-jalan dulu sambil mengisi
hari minggu. Tapi belum waktunya. Kata Bram dalam hati lagi. Masih perlu waktu
lagi. Tapi begitu mengingat kata-kata Tia kalau ada direktur muda yang juga
sedang mendekati Renata, Bram kuatir juga. Apalagi mereka bisa setiap saat
ketemu di kantor, bahkan bisa janjian untuk ketemu di luar kantor. Aaahhhh......
Bram gusar dengan segala pikirannya tentang Renata. Apakah aku sudah jatuh
cinta dengan Renata?? Apakah aku takut kehilangan Renata???? Berbagai
pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Bram.
Setelah dia melihat
Renata masuk ke dalam mobil, yang dia kira pasti taksi online, Bram menuju
mobilnya dan langsung pulang ke rumah.
******
“Mas...emang tadi gereja
dimana, kok gak kelihatan. Padahal kayaknya berangkat dah pagi-pagi bener? Atau
jangan-jangan....hayoooo...kabur kemana...?” Tiba-tiba adiknya, Sasa memberondong
dengan pertanyaan setelah Bram masuk ke dalam rumah.
“Ada dechhhh... mau tau
ajaaa..anak kecil. Yang jelas kan ke gereja..” jawab Bram sambil mengaca-acak
rambut adiknya.
“Diiihhhh... sebel dech.
Kebiasaan....awasss...” jawab Sasa sambil cemberut karena rambutnya berantakan.
Dia berlari mengejar kakaknya yang sudah lebih dulu lari ke kamarnya di lantai
dua.
“Duuuhhh...ini apa-apaan
sih udah pada tua masih kejar-kejaran..?” tanya mami yang baru keluar dari kamarnya.
“Mas Bram tuh mam, iseng
mulu..” jawab Sasa cemberut.
“Emang masmu sudah
pulang. Tadi gak kelihatan di gereja?” tanya mami lagi
“Udah tuh, baru aja
masuk.”
“Bram tadi kamu di mana?
Kok gak kelihatan di gereja?” Tanya maminya begitu melihat Bram di tangga, turun
menuju ruang makan..
“Di gereja lain mam.
Kebetulan ada janji ketemu temen. Dah lama gak ketemu, jadi dia ngajak
ketemuan.” Bram menjawab. Dia berbohong, biar maminya gak banyak pertanyaan.
“Kirain mami kamu gak ke
gereja. Abis berangkat paling pagi, eh gak nongol-nongol. Ada jadwal tugas tuh
kamu sama Sasa.”
“Oke siap...” jawab Bram
sambil bersikap hormat dengan maminya sambil ketawa.
“Maassss....bagi duit
donk...” rengek Sasa manja pada kakaknya. Bram memang sangat sayang pada adik
bungsunya. Mereka ada tiga bersaudara. Yang pertama kakak Bram perempuan, Erina
atau yang biasa dipanggil Nana dan sudah menikah punya satu anak. Bram anak ke
dua dan satu-satunya laki-laki, serta si bungsu Sasa, yang kebetulan umurnya
terpaut jauh dengan Bram, 13 tahun. Jadi sangat manja dengan ke dua kakaknya.
Sasa masih kelas satu SMA.
“Emang mau beli apa lagi
sih? Kayaknya baru kemaren minta duit.?”
Tanya Bram sambil nyubit hidung adiknya. Sasa memang lebih suka ngerjain
kakaknya dan dia lebih sering minta uang ke kakaknya dari pada ke maminya.
Menurut dia, kapan lagi. Mumpung kakaknya belum punya istri. Dan Bram pun tidak
keberatan dan sering memanjakan adiknya. Tapi dia juga keras dalam mengawasi
adik perempuannya. Apalagi urusan pacar. Bram lebih cerewet daripada papi dan
maminya.
“Ada sneaker model baru
mas. Kmaren Sasa lihat di mall. Ntar malem jalan yuk, keburu diambil orang..”
rengek Sasa.
“Itu sepatu segitu banyak
masih kurang ya...?’ tanya Bram heran
“Ini beda mas... warna
dan modelnya bagus. Yaaa... please....bener ya mas....” kata Sasa dengan muka
memelas sambil menggoyang-goyangkan kedua tangan kakaknya dan kelihatan sangat
imut. Sasa memang cantik. Dengan wajah mungilnya dia masih pantas jadi anak SMP
dan kebetulan garis-garis wajahnya sangat mirip dengan Bram. Jadi siapapun yang
melihatnya akan tahu kalau mereka kakak adik. Bram sangat gemas melihat wajah
adiknya. Makanya dia tarik adiknya dan dikempit kepalanya di ketiak sambil
tertawa. Rambut adiknya diacak-acak lagi.
“Maaassss....lepasin....bau
tauuuukkk. Mamiii...toloonggg...!!!!” teriak Sasa sambil memukul-mukul punggung
kakaknya.
“Hiiihhhh...brisik...!!!”
kata Bram sambil melepaskan adiknya.
“Ampuuunn.....kenapa lagi
sih ini ber dua ribut-ribut...?” tanya papi sambil melangkah ke sofa di depan
TV.
“Mas Bram pi iseng
mulu...weeekkkk...!!!” Sasa meleletkan lidah sambil berlari ke arah papinya.
“Eeee....sudah...sudah
ayo pada makan daripada ribut terus. Nih sudah siap semua. Ayo pap makan dulu”
kata mami.
Mereka memang keluarga
yang harmonis. Hubungan orang tua dengan anak dan antar anak sangat dekat.
Saling menyayangi dan saling peduli.
“Bram anaknya tante Anie,
temen mami yang sering ke sini udah lulus kuliah lho, mami kenalin sama kamu
ya. Anaknya cantik...” tiba-tiba maminya bicara, setelah selesai makan.
“Huuukk...hukkk...” tiba-tiba
Bram tersedak mendengar omongan maminya. Sasa yang duduk di sebelah kakaknya
menyodorkan air putih ke hadapan kakaknya.
“Gak usah kaget gitu kali
mas....kayak apa aja baru denger mau dikenalin cewek.” ledek Sasa
Bram melotot mendengar
ledekan adiknya, lalu menarik kuping Sasa.
“Aduuuhhhh...sakit tau
mas...!” Sasa mendelik ke kakaknya.
“Gimana Bram...kapan kamu
ada waktu..?” tanya maminya lagi
“Ntar dulu dech mi...Bram
lagi sibuk, gak ada waktu...” Bram mengelak permintaan maminya.
“Kamu ini...kapan lagi..?
Ingat umurmu udah berapa.....ntar udah tua masih punya orok kan gak lucu. Mau
nunggu apalagi sih...?” tanya maminya lembut. Yaaa...maminya memang seorang
wanita yang lembut kalau bicara. Meskipun usianya sudah setengah abad lebih,
tapi wajahnya masih cantik, benar-benar wajah khas wanita Jawa. Papinya pun
meskipun sudah berumur, tapi garis-garis ketampananya masih ada, apalagi masih
ada darah bangsawan, sehingga wajahnya terlihat sangat berkharisma. Makanya tidak
heran kalau ke tiga anak-anaknya juga mewarisi wajah yang menawan.
“Mi.... please... kasih
waktu Bram ya..... Bram janji dech... Oke..?” jawab Bram dengan wajah dibuat
sedih
“Hmmm...kamu ini,
selaluuu... saja janji-janji terus. Kayaknya mami sampai hapal dech sama
janji-janji kamu...” jawab maminya dengan muka sedikit cemberut, meskipun nada
suaranya masih lembut
“Eeeee... bener mi, biar
aja mas Bram begini dulu. Soalnya kalau mas Bram nikah, ntar Sasa gak bisa
minta duit lagi... heeee.....” tiba-tiba Sasa memotong pembicaraan maminya.
“Hussss... kamu ini... mau
apa kamu punya kakak jadi perjaka tua....?
“Eiiitttsss... belum tua
kali mi, umur belum 30 ini...” Bram protes dibilang perjaka tua
“Iyaaa.... tapi mau
sampai kapan...? tanya maminya lagi
“Janji dech... gak lama
lagi mam. Suer....” jawab Bram sambil mengacungkan dua jarinya
Memang bukan sekali dua
kali pembicaraan seperti itu berlangsung. Dan Bram selalu saja mengelak. Bahkan
dia sampai hapal kalimat-kalimat maminya tiap kali membicarakan hal yang serupa.
Bram tidak mau memberi harapan pada maminya, yang akhirnya akan membuat maminya
kecewa. Dan memang sampai dengan saat ini dia belum benar-benar mau membuka
hatinya. Tapi..... ah... Renata...... gadis dengan wajah sendu itu.... kapan
bisa lihat wajahnya lagi ya?
“Wooiiii.... diajak ngobrol
malah bengong. Hayoooo... mikirin siapa..?” tida-tiba suara Sasa yang cempreng
di dekat telinganya membuat Bram kaget.
“Eeettt.... dah.... ngagetin
aja. Pelan-pelan napa...!!!” Bram melotot sambil mencubit hidung adiknya
“Aduuuhhh... sakiiittt...
mas. Lepasin...!!!” teriak Sasa sambil memukul kakaknya. Bram melepaskan hidung
Sasa yang terlihat memerah. Papi dan maminya geleng-geleng kepala melihat ulah
kakak adik yang kadang-kadang seperti kucing sama tikus, ribut terus. Tapi kalau
salah satu tidak kelihatan, satunya pasti mencari-cari.
“Mamimu bener Bram... kamu
mau sampai kapan begini terus... papi sudah makin tua. Sudah saatnya kamu gantiin papi di perusahaan. Jangan
asyik dengan duniamu sendiri. Asyik kerja di lapangan berhari-hari seperti
sekarang. Di rumah seminggu, ke lapangan sepuluh hari sampai dua minggu, bahkan
bisa sebulan. Paling tidak, kalau kamu gantiin papi kan gak harus turun ke
lapangan kecuali ada hal-hal mendesak dan itupun tidak lama. Apalagi ada Arya
yang bisa bantuin kamu....” kata papinya panjang lebar.
“Piii... Bram kan masih
belajar... dan....” jawab Bram
“Belajar sampai kapan
lagi...?” papinya memotong.
“Sudah berapa tahun kamu
kerja di luar? Papi rasa sudah cukup Bram. Apalagi dengan posisimu yang sekarang,
papi rasa sudah banyak ilmu yang kamu dapat. Karena untuk mencapai posisimu
itu, bukan hal yang mudah. Dan papi tau itu. Papi kan kenal baik dengan pak
Hendrawan, bos besar kamu itu. Banyak hal yang pak Hendrawan bicarakan tentang
kinerja kamu.. Dan kamu merupakan salah satu orang penting di perusahaan pak
Hendrawan karena kinerjamu yang bagus. Apa itu belum cukup buat kamu? Papi rasa
kalau kamu balik, prospeknya akan lebih bagus buat perusahaan kita, karena di
bawah kendalimu bisa bermitra dengan pak
Hendrawan, dan pak Hendrawan pasti setuju bekerjasama dengan kamu.”
“Iya pi... ntar Bram
pikirkan lagi. Papi gak usah kuatir. Bram pasti balik kok. “ janji Bram
“Lhoooo.... papi ini
gimana sih kok jadi urusannya ke bisnis, ini kan lagi ngomongin soal jodoh buat
Bram pi..” mami protes.
“Iya mi.... tapi kan masa
depan perusahaan juga mesti dipikirin juga. Dan itu tugasnya Bram.” Jawab papi
dengan sabar.
*****
Sementara di rumah
Renata.
Pulang dari gereja,
dengan muka lesu Renata memasuki rumahnya. Dia disambut sama pembantunya, mbok
Jum, yang sangat setia.
Mbok Jum mengasuh Renata
sejak dari kecil dan sudah menganggab seperti anaknya sendiri. Begitu Renata
putus dari pacarnya, dan memutuskan untuk pindah ke Jakarta, maka ibunya
menyuruh mbok Jum untuk menemani Renata yang tinggal di rumah kakak
laki-lakinya, yang kebetulan pindah tugas ke Kalimantan bersama keluarganya.
Ibunya tidak tega membiarkan Renata tinggal sendirian di Jakarta dalam kondisi
terpuruk karena dikhianati pacarnya , makanya mbok Jum pun ikut diboyong ke Jakarta
untuk menemani dan mengurus keperluan sehari-hari Renata. Mbok Jum juga sangat
kasihan dan prihatin dengan nasib yang dialami Renata. Dia tau persis bagaimana
kondisi Renata, karena dari kecil dia mengasuh, sehingga seperti ada keterikatan
batin antara Renata dengan pengasuhnya. Dia heran kenapa momongannya yang baik
hati itu dikhianati pacarnya.
“Jeng Rena sudah pulang,
kok mukanya kusut begitu, kenapa?” tanya mbok Jum begitu membuka pintu untuk
Renata.
“Gak papa mbok, cuma
sedikit pusing “
“Biar mbok kerokin ya,
mungkin masuk angin.”
“Gak usah mbok, buat
tidur juga ntar ilang sendiri.” Jawab Renata sambil duduk di sofa.
“Kalau begitu makan siang
dulu ya, terus tidur. Nanti sore kan sudah seger kembali. Mbok bikin pepes ikan mas sama sambel trasi lho,
ada lalapan juga.” Kata mbok Jum sambil tersenyum.
Renata sebenarnya malas
makan dan pengen langsung tidur. Tapi dia kasihan sama mbok Jum yang sudah
repot-repot masak untuk dirinya. Memang itulah tujuan ibunya menyuruh mbok Jum
ikut ke Jakarta. Karena sejak putus dengan pacarnya, kebiasaan Rena mengurung
di kamar, makan pun harus dipaksa-paksa. Bahkan sudah beberapa kali masuk rumah
sakit karena kondisinya yang drop dengan penyakit anemia yang menyebabkan
sering pingsan tiba-tiba.. Dan sebenarnya orang tuanya keberatan ketika Renata
memutuskan untuk pergi ke Jakarta. Tapi tekad Renata yang kuat, membuat orang
tuanya mengalah, tapi mbok Jum harus ikut.
Niat Renata, dengan pergi
ke Jakarta dia akan melupakan semua sakit hatinya. Terlebih dengan kesibukan
kerjanya yang kadang-kadang mengharuskan pergi ke luar kota untuk beberapa
hari. Dan Renata beruntung bisa sekantor dengan sahabat lamanya Tia yang sudah
terlebih dahulu bekerja di kantornya.
“Rena ganti baju dulu
mbok baru makan. Tapi pepesnya saja ya gak usah pake nasi.”
“Lhoooo.... kok makan gak
pake nasi jeng. Dikit aja ya nasinya jeng. Ntar sakit lagi lhoo.”
“Yo wis mbok bentar lagi
aku makan.” Jawab Renata sambil melangkahkan kakinya ke kamar untuk ganti
pakaian.
Mbok Jum memandangi punggung
momongannya yang cantik itu sambil berkata dalam hati, kasihan jeng Rena. Semoga
mendapat jodoh yang benar-benar baik dan bertanggungjawab.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 161 Episodes
Comments
Amarantha Chitoz
msh penasaran
2024-08-13
0
Herni
kok gak diceritain penghianatannya gmana ya🤭
ato sy yg gak ngeh ya...hehe
2021-11-12
0
Rosmanto Marvell
hadir
2021-07-16
0