Moza berdiri menunggu Gerald dengan sabar didepan toilet pria, sembari memainkan ponselnya dengan santai. Beberapa saat kemudian, pintu toilet pun terbuka dan keluarlah Gerald yang menatap Moza dengan kebingungan. Dia heran apa yang sedang dilakukan gadis itu didepan toilet pria seperti ini?
Gerald mendekati Moza. "Moza? Ngapain kamu disini?"
"Menunggumu"
"Hah? Aku tidak salah dengar? Ngapain kamu menungguku disini?" Gerald tersenyum geli mendengar jawaban yang dilontarkan oleh wanita itu.
"Ya karena aku ingin bicara denganmu"
"Mau bicara apa? Aku tidak ada waktu untuk wanita asing sepertimu. Apalagi sekarang orang tua kita juga pasti sedang asik membahas masalah bisnis. Jadi aku harus kembali kesana" Ujar Gerald dengan enggannya, yang kemudian kembali berjalan untuk meninggalkan wanita itu.
"Kamu masih menyimpan amarah ya, pada pelayan bernama Tari itu?" Tanya Moza yang membuat Gerald langsung menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan menatap Moza dengan kebingungan.
"Kamu kenapa, tiba-tiba membahas masalah itu?"
"Ya karena aku bisa melihat dari matamu, yang terlihat menyimpan amarah dan dendam saat mendengar nama gadis itu disebut-sebut" Moza berjalan beberapa langkah mendekati Gerald.
"Lalu apa maumu, menanyakan hal ini padaku?" Tanya Gerald datar.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, apa yang akan kamu lakukan, seandainya wanita itu ada dihadapanmu? Mempermalukan dia seperti dia mempermalukanmu, atau lebih dari itu...."
"Seandainya wanita itu ada dihadapanku saat ini, maka hal pertama yang akan aku lakukan adalah.... Menghancurkan harga dirinya! Menyiksanya secara fisik dan mental yang akan membuatnya hancur sehancur-hancurnya! Dan itu adalah hukuman yang setimpal untuk orang yang berani mencari masalah dengan, Geraldine Lazuardi secara sengaja!" Gerald berkata dengan nada suara dan sorot mata penuh dendam.
Membuat Moza jadi merasa ngeri melihatnya. Ternyata pria itu sangat berbahaya. Apalagi kalau sedang marah dan menyimpan dendam. Namun hal itu justru malah menguntungkannya. Karena dia bisa menghancurkan hidup Tari tanpa perlu mengotori tangannya sendiri.
"Kalau kamu mau, aku bisa membantumu untuk melaksanakan niatmu" Tawar Moza seraya tersenyum licik.
"Apa kamu bilang? Membantuku? Memangnya kamu bisa apa? Kamu kenal gadis itu?" Gerald tersenyum sinis dengan kening mengernyit bingung. Membuat Moza menjadi sedikit gelagapan menerima pertanyaannya itu.
"Mmm.... Terlalu kenal sih tidak, tapi dia pernah kuliah dikampus yang sama denganku. Tapi sekarang dia sudah berhenti. Aku kenal beberapa teman yang seangkatan dengannya. Aku yakin mereka memiliki nomor ponsel wanita itu. Kalau kamu mau, aku bisa meminta nomor wanita itu. Lalu aku akan menghubungi dan menggiringnya agar datang padamu. Lalu setelah itu, silahkan kamu bersenang-senang dengannya. Bagaimana, deal?"
Moza berbohong dan menawarkan kerjasama dengan liciknya. Setelah itu dia mengulurkan tangannya pada Gerald. Dengan sabar dia menunggu tanggapan lelaki itu atas tawarannya.
"Tapi tunggu dulu, kenapa kamu bersedia membantuku untuk membalaskan dendamku pada pelayan itu? Atau.... Kamu ada dendam pribadi dengannya, yang sebenarnya ingin kamu balaskan juga?" Gerald menatap Moza dengan curiga. Dia merasa terlalu aneh jika perempuan itu mau membantunya tanpa maksud dan tujuan tertentu pada pelayan itu.
"Aku rasa itu bukan urusanmu. Kalau kamu mau ayo, kalau tidak ya terserah. Tidak ada untung ruginya buatku" Moza menjawab dengan santainya, lalu dia melangkahkan kakinya hendak meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya terhenti saat Gerald kembali bersuara.
"Oke deal" Gerald mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Moza dengan gembiranya yang kembali tersenyum licik.
Sejujurnya Gerald merasa enggan harus berurusan, apalagi sampai terlibat persekongkolan dengan orang yang baru saja dikenalnya. Namun sepertinya memang tidak ada salahnya dia menerima tawaran wanita ini. Mungkin memang perempuan ini bisa membantunya untuk memberi pelajaran pada pelayan sialan itu.
🍁🍁🍁🍁🍁
Setelah satu bulan berada di Swiss, akhirnya Fajar kembali ke Indonesia. Suasana hatinya masih tetap sama seperti semula. Yaitu suasana sunyi, sepi dan hampa. Sekalipun saat masih berada di Swiss maupun sesudah kembalinya ke Indonesia, dia sudah berusaha menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.
Namun tetap saja dia masih belum mampu menyingkirkan Zahra dari hati dan pikirannya. Dia sangat sadar diri jika wanita itu sudah tidak mungkin lagi bisa diraihnya. Karena hati dan tubuhnya sudah terlanjur terpaut pada lelaki lain.
Dan dia takut perasaan sia-sia ini semakin lama hanya akan semakin membuatnya tersiksa. Sampai kapan perasaan ini terpendam dalam hatinya? Tidak bisakah perasaan ini terkubur dan lenyap tak tersisa? Berapa lama waktu yang dia butuhkan?
Dia mendengar kabar jika Omanya sudah kembali dari Swiss, dan sekarang beliau memutuskan untuk menetap di Magelang bersama cucu dan mantan menantu kesayangannya. Entah mereka tau atau tidak, jika selama ini dia juga tinggal di Magelang.
Dia tidak ada waktu untuk memikirkan mereka. Lagipula selama ini mereka juga tidak pernah menganggapnya. Dan didunia ini dia hanya sendirian. Tidak ada orang yang mencintai ataupun menginginkannya.
Tidak ada yang bisa dia ajak untuk berbagi kebahagiaan dan kesedihan. Bersama dalam suka dan duka. Semua meninggalkannya. Orang tua, istri, keluarga bahkan sekarang wanita yang dia cintai setelah kepergian istrinya.
Hanya Bu Zaitun, satu-satunya orang yang selalu berada disisinya. Berusaha menjadi ibunya dan menghiburnya. Dia sangat bersyukur dengan kehadiran wanita paruh baya itu.
Sekalipun beliau tidak bisa membuatnya melupakan kesedihan, dan keterpurukan yang saat ini sedang dirasakannya. Namun setidaknya masih ada orang yang peduli padanya seperti anaknya sendiri, saat dia sedang merasa sendirian.
Setiap malam tiba, Fajar selalu menghabiskan waktu untuk menyendiri, sembari menghabiskan berbotol-botol minuman hingga membuatnya teler. Hanya itulah cara yang bisa dia lakukan untuk mengalihkan pikirannya dari stress yang berkepanjangan, meskipun hanya untuk sejenak.
Hal itu sudah menjadi rutinitasnya selama sebulan ini di Swiss, maupun sekarang saat dia sudah kembali lagi ke Magelang. Atau lebih tepatnya, setelah Zahra kembali pada suaminya. Sama seperti saat dulu dia ditinggal mati oleh istrinya, Shreya.
Seperti malam ini, saat dia sampai dirumah setelah pekerjaannya dirumah sakit dan perusahaan selesai. Dia kembali menikmati kesendiriannya dengan ditemani botol minuman keras seperti biasanya. Dia mengambil salah satu botol kaca itu dan membukanya.
Baru saja bibir botol itu hendak menyentuh bibirnya, aktivitasnya harus terhenti saat ponselnya tiba-tiba berdering. Fajar mengambil ponsel itu dengan sebal. Namun perasaan sebalnya seketika berubah menjadi sendu, saat dia mengetahui bahwa yang menghubunginya adalah Om Helmi!
Dia bingung antara harus menjawab panggilan itu atau mengacuhkannya. Karena dia yakin seratus persen, saat dia mengangkat ponselnya, pasti pembicaraan mereka nanti tidak akan jauh-jauh seputar Zahra, yang hingga saat ini masih terikat dengannya sebagai istri palsunya.
Padahal untuk saat ini dia sedang berjuang keras untuk melupakan wanita itu dan melanjutkan kehidupannya. Rasanya dia masih belum siap untuk membicarakan apapun yang berhubungan dengan perempuan itu. Sekalipun hatinya sangat merindukannya, dan ingin sekali mendengar kabar tentangnya. Apalagi melihat wajah cantiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments