Entah siapa yang telah bertengkar dengannya, sehingga dia bisa mendapatkan luka pukulan seperti ini. Tari memalingkan wajahnya, menjauhkannya dari jangkauan tangan Ranty sembari meringis kesakitan.
"Aku tidak pergi dari rumah Ran, tapi diusir!" Tari menjawab dengan emosi dan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Hah?! Diusir?! Kok bisa?! Siapa yang mengusir? Papamu?" Ranty terkejut bukan main mendengar jawaban sahabatnya. Hingga dia ingin mendengar ceritanya dengan jelas.
"Ya siapa lagi?!"
"Memangnya kamu melakukan kesalahan apa? Kok sampai diusir segala?" Ranty semakin terkejut dan penasaran saat Tari membenarkan pertanyaannya.
Setaunya selama ini hubungan Tari dan Papanya baik-baik saja, bahkan sangat dekat. Sejak ibunya masih hidup hingga meninggal 4 tahun yang lalu, dia tidak pernah mendengar jika Tari memiliki masalah dengan Papanya.
Hingga Papanya memutuskan untuk menikah lagi dengan janda beranak satu, sekitar satu tahun yang lalu. Hubungan Tari dengan istri dan putri sambung Papanya yang bernama Moza itu cukup harmonis, dan tidak pernah terlibat perseteruan.
Apalagi Moza juga salah satu teman mereka dikampus. Tari dan Moza cukup akrab. Bahkan bisa dibilang sahabat. Karena itulah mereka bisa dengan mudah beradaptasi sebagai saudara, setelah kedua orang tua mereka menjadi sepasang suami istri.
Meskipun diam-diam Ranty memiliki feeling yang tidak enak terhadap Moza. Dia merasa Moza seperti tidak tulus bersahabat dengan Tari. Tatapan gadis itu terhadap Tari seperti menyimpan perasaan iri dan dengki yang mendalam.
Maklum, Tari merupakan putri tunggal dari pengusaha tambang dan kosmetik terbesar dan ternama yang cukup sukses hingga kemancanegara. Dikampus pun dia dijuluki sebagai primadona. Lantaran kecantikannya membuat semua mahasiswa kepincut dan tergila-gila. Dia juga salah satu mahasiswi berprestasi di universitas itu.
Selain itu, dia juga memiliki sifat yang rendah hati, ramah dan humble terhadap semua orang, meski dibalik sifat keras kepalanya. Dan dia tidak pernah memilih-milih teman yang harus berasal dari kalangan yang sama dengannya.
Sedangkan keluarga Moza hanya memiliki usaha toko kelontong yang tidak terlalu besar. Ayahnya meninggal sekitar dua tahun yang lalu dipenjara, akibat tersandung kasus narkoba dan pembegalan. Menurut Ranty, mungkin itulah yang menyebabkan Moza merasa iri dengan kehidupan Tari yang terbilang sempurna.
Dan sekarang dia sangat terkejut dan tidak habis pikir. Tiada angin tiada hujan, dia mendengar wanita itu diusir oleh Papanya? Entah kesalahan fatal apa yang telah dia lakukan hingga membuat Papanya bisa semurka itu, bahkan sampai tega mengusirnya dari rumah!
"Kesalahanku adalah, karena aku terlalu bodoh. Sehingga aku bisa dengan mudah masuk kedalam perangkap kedua perempuan ular berkepala dua itu!" Tari berkata dengan tatapan menerawang. Matanya yang sayu tampak berapi-api penuh kebencian dan dendam.
"Maksudmu siapa Tar? Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan?" Ucapan Tari membuat Ranty semakin bingung dan tidak paham.
"Perempuan yang sudah aku anggap seperti ibu dan kakakku sendiri! Aku pikir mereka adalah orang tua, saudara dan sahabatku. Ternyata mereka tidak lain adalah musuh dalam selimutku!"
"Maksudmu.... Tante Claudia dan Moza? Memangnya apa yang mereka lakukan?" Ranty semakin tertarik dan penasaran.
Dengan air mata yang berlinang membasahi wajahnya, Tari memandang lurus kedepan dan menceritakan semua yang terjadi padanya.
Flashback on
Beberapa jam yang lalu. Tari sedang asik dengan laptopnya diatas tempat tidur. Dengan santainya dia mengerjakan tugas kuliahnya, sembari ngemil dan minum jus jeruk kesukaannya seperti biasanya.
"Tari!! Tari!! Tari!!" Seketika Tari tersentak saat tiba-tiba dia mendengar suara teriakan keras Papanya, yang begitu menakutkan seperti petir menggelegar memanggil-manggil namanya. Dia jadi tegang dan bingung.
Sudah satu minggu Papanya berada diluar negeri untuk mengurus masalah bisnisnya, dan meninggalkannya bersama ibu dan saudara tirinya. Serta para pekerja dirumahnya. Setaunya beliau disana selama dua minggu seperti yang dikatakannya sebelum berangkat.
Tapi kenapa sudah pulang sekarang? Cepat sekali? Tidak biasanya Papanya seperti itu. Biasanya dia akan pergi dan pulang sesuai dengan jadwalnya. Ditambah lagi, dia berteriak-teriak seperti sedang marah besar. Membuatnya bergidik ngeri.
Apa Papa sedang marah padanya? Tapi dia salah apa? Atau.... Ini hanya perasaannya saja? Mungkin Papanya kelelahan karena habis perjalanan jauh. Ditambah harus memikirkan dan mengurus masalah pekerjaan. Lagipula tidak mungkin juga Papa marah padanya. Dia tidak merasa berbuat kesalahan.
Claudia dan putrinya Moza menyambut kedatangan Tristan. Mereka mendekati pria itu yang sedang berjalan dengan langkah lebar, sembari berteriak-teriak memanggil nama Tari dengan dengan wajah memerah, dan rahang mengeras saking murkanya.
"Eh Papa. Papa sudah pulang? Mama kangen. Bagaimana pekerjaan Papa di Hawai? Lancar? Kok tumben pulangnya cepat? Katanya dua minggu disana? Apa pekerjaannya selesai dengan cepat?" Claudia bergelayut manja dilengan suaminya dan berbicara dengan semanis mungkin.
"Mana Tari?!" Tanpa menghiraukan sapaan istrinya yang lembut dan romantis, Tristan malah balik bertanya dengan suara lantang dan penuh amarah.
"Tari ada dikamarnya Pa. Biar aku panggilkan ya" Jawab Moza yang lantas berbalik dan hendak berjalan. Namun langkahnya terhenti oleh suara ayah tirinya yang masih lantang.
"Tidak perlu! Biar Papa panggil sendiri! Tari!! Tari!!" Tristan melepaskan dirinya dari istrinya dan kembali meneruskan langkah dan teriakan memanggil anaknya. Hingga Tari muncul dihadapannya.
"Papa? Papa sudah pulang? Ada apa Pa? Kenapa Papa teriak-teriak segala?" Tari bertanya dengan perasaan senang dan bingung. Dia senang karena Papanya sudah pulang lebih cepat dari biasanya. Namun dia bingung melihat kemarahan diwajah pria itu terhadap dirinya. Seakan dia telah melakukan kesalahan besar.
PLAKK!!
Bukannya menjawab pertanyaan Tari, Tristan malah melayangkan tangannya dengan sangat keras kewajah putri semata wayangnya itu. Membuat Tari jatuh tersungkur dan menimpa meja didepannya. Semua benda yang ada dimeja itu jatuh berserakan dilantai. Moza dan Mamanya terkejut dan bergidik ngeri melihat adegan itu. Tari bangkit berdiri.
"Pa, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba Papa menamparku?" Tari menatap Papanya dengan semakin kebingungan sembari memegang pipinya yang terasa nyeri dan sakit akibat tamparan barusan.
"Kamu bertanya kenapa Papa menamparmu?! Seharusnya Papa yang bertanya, apa yang ada dalam pikiranmu, sampai kamu bisa melakukan perbuatan yang menjijikkan dan memalukan seperti itu?!! Perbuatan yang membuat Papa malu, memiliki anak sepertimu!!" Tristan meraung-raung dengan mata melotot berapi-api.
"Apa maksud Papa?! Aku tidak mengerti apa yang Papa katakan! Tolong jelaskan apa salahku!" Tari berkata dengan kesal. Dia tidak habis pikir kenapa Papanya bisa semarah itu terhadapnya. Selama 20 tahun dia hidup, baru kali ini dia merasakan kemarahan besar Papanya yang bahkan sampai main tangan!
PLAKK!!
Tamparan keras yang berasal dari tangan Papanya kembali diterima Tari. Kali ini jauh lebih keras dari sebelumnya.
Claudia dan Moza menjadi dua penonton yang menyaksikan perseteruan itu dengan senyum tipis yang tersungging dibibir mereka, tanpa ada niat untuk melerai atau membantu Tari yang kembali jatuh tersungkur kelantai. Tampaknya mereka tau apa yang terjadi hingga membuat Tristan bisa semurka itu, sampai tega menghajar putri kesayangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
tintakering
jangan lupa readback dan tianggalkan jejak thor🙏
2023-06-18
1
tintakering
maen tampar aje bapaknya🤔
2023-06-18
2